Intisari-Online.com - Situasi keamanan di Afghanistan berubah cepat dengan evakuasi warga, staf kedutaan oleh negara masing-masing, ketika Taliban menguasai Kabul.
Dalam situasi ini, Mullah Abdul Ghani Baradar,disebut-sebut bakal diusung Taliban sebagai “presiden” Afghanistan yang akan datang.
Baradar lebih dikenal sebagai kepala politik dan wajah paling populer dari kelompok ekstremis bersenjata itu.
Sebagai pemimpin urusan politik kelompok pemberontak itu, Baradar sebelumnya menjadi perwakilan bagian dari tim perundingan di Doha dengan pemerintah Amerika Serikat (AS).
Berdasarkan informasi interpol, Baradar diketahui lahir di desa Weetmak di distrik Dehrawood, provinsi Uruzgan Afghanistan, pada 1968.
Ia juga dikenal sebagai bagian dari cabang Popalzai dari suku Durrani, sama seperti mantan presiden Afghanistan Hamid Karzai.
Seperti kebanyakan orang Afghanistan, kehidupan Baradar berubah selamanya karena invasi Soviet ke negara itu pada akhir 1970-an.
Periode ini diyakini menjadi salah satu masa yang membentuk sifat pemberontaknya.
Pada 1980-an, bersama mujahidin Afghanistan dia ikut bertempur melawan Soviet.
Pertemuannya dengan ulama bermata satu Mullah Omar juga diyakini terjadi ketika keduanya berjuang berdampingan dalam masa ini.
Setelah Rusia diusir pada 1992, Afghanistan jatuh ke dalam perang saudara antara panglima perang yang bersaing.
Di tengah kekacauan dan korupsi perang saudara yang meletus setelah penarikan Soviet, Baradar mendirikan madrasah di Kandahar bersama Omar.
Keduanya kemudian mendirikan gerakan Taliban pada awal 1990-an.
Pengendali dana
Setelah membantu mendirikan gerakan Taliban pada 1994, Mullah Baradar mengembangkan peran sebagai ahli strategi dan komandan militer.
Sebagai tokoh kunci Taliban, ia diyakini memimpin pemberontakan dan mengelola pendanaannya sehari-hari.
"Istrinya adalah saudara perempuan Mullah Omar. Dia mengendalikan uang. Dia melancarkan beberapa serangan paling mematikan terhadap pasukan keamanan kami," kata seorang pejabat Afghanistan yang tidak mau disebutkan namanya kepada BBC.
Dia memegang tanggung jawab penting di hampir semua perang besar di Afghanistan, dan tetap menjadi komandan tertinggi formasi Taliban di wilayah barat (Herat) serta Kabul.
Dipicu oleh semangat keagamaan, kebencian yang meluas terhadap para panglima perang dan dukungan substansial dari badan Intelijen Antar-Layanan Pakistan (ISI), Taliban meraih kekuasaan pada 1996 di Afghanistan.
Kekuasaan itu diraih setelah serangkaian penaklukan yang menakjubkan atas ibu kota provinsi yang mengejutkan dunia, sama seperti gerakan yang telah dilakukan dalam beberapa pekan terakhir.
Pada saat Taliban digulingkan, dia adalah wakil menteri pertahanan mereka.
Seperti para pemimpin Taliban lainnya, Baradar menjadi sasaran sanksi Dewan Keamanan PBB, yang mencakup pembekuan aset, larangan bepergian, dan embargo senjata.
'Liberal' di kalangan fundamentalis
Menyusul runtuhnya Taliban pada 2001, Baradar diyakini menjadi salah satu orang dalam sekelompok kecil pemberontak, yang mendekati pemimpin sementara Hamid Karzai.
Suratnya kepada Karzai saat itu dilaporkan menguraikan kesepakatan potensial, yang akan membuat para militan mengakui pemerintahan baru.
Selama 20 tahun pengasingan Taliban, Baradar memiliki reputasi sebagai pemimpin militer yang kuat dan operator politik yang halus.
Para diplomat Barat memandangnya sebagai orang yang paling resisten terhadap kontrol ISI, dan paling setuju dengan kontak politik dengan Kabul.
Sebelum penangkapannya pada 2010, ia membuat beberapa pernyataan publik.
Salah satu dari pernyataan itu disampaikan pada Juli 2009, ketika dia tampaknya terlibat dalam pertukaran email dengan majalah Newsweek.
Dalam pernyataannya, dia bereaksi terhadap gelombang pasukan AS di Afghanistan dan mengatakan bahwa Taliban ingin menimbulkan kerugian maksimum pada Amerika.
Dia juga bersumpah untuk melanjutkan "perjuangan" kelompoknya sampai pengusiran musuh dari tanah Afghanistan.
Sejak lama, dia dikenal berkomitmen jika penarikan pasukan asing dari Afghanistan merupakan syarat dasar untuk memulai pembicaraan damai.
Namun, pemerintahan Obama menurut Guardian lebih takut pada keahlian militernya daripada kecenderungannya moderat yang dibicarakan banyak orang.
(*)