Intisari-Online.com - Tanggal 1 Juli 1863, merupakan hari dihapuskannya perbudakan di Koloni Belanda, Suriname dan Antillen.
Belanda termasuk Bangsa Eropa terakhir yang menghapuskan perbudakan.
Sebelum Belanda, Denmark telah menghapuskannya pada tahun 1803.
Sementara Inggris pada tahun 1834 dan Perancis pada tahun 1848.
Meski, di Suriname sendiri, perbudakan tidak begitu saja lenyap pada tahun 1863.
Bahkan, dibutuhkan waktu satu dekade, di mana pekerja perkebunan diharuskan melanjutkan pekerjaan mereka selama sepuluh tahun lagi berdasarkan kontrak.
Dalam kurun waktu itu, pemilik budak diberi kompensasi oleh negara, sebesar 300 gulden untuk setiap orang yang mereka bebaskan.
Hal yang terjadi setelah dihapuskannya perbudakan itu, salah satunya berdampak bagi didatangkannya buruh dari wilayah jajahan Belanda, termasuk Indonesia.
Baca Juga: Memahami Pancasila sebagai Kepribadian Bangsa Indonesia, Yuk Simak
Sekitar 33.000 buruh murah dari Jawa didatangkan oleh Belanda ke Suriname dengan beberapa kali pengangkutan.
Penghapusan budak membuat perekonomian di koloni Belanda menjadi tidak menentu.
Belanda dan Inggris pun mengadakan perjanjian untuk mendatangkan imigran atau buruh kontrak untuk perkebunan Suriname yang masih sangat membutuhkan tenaga buruh.
Perjanjian itu ditandatangani tahun 1870, lalu tiga tahun kemudian, para buruh buruh kontrak (imigran) Hindustan pertama dari India didatangkan.
Itu berlangsung hingga tahun 1914, sambil didatangkan pula buruh kontrak dari Jawa.
Tanggal 9 Agustus 1890, kelompok imigran Indonesia pertama berjumlah 94 orang didatangkan ke Suriname.
Kelompok tersebut direkrut oleh De Nederlandsche Handel Maatschappij, untuk dipekerjakan di perkebunan tebu dan perusahaan gula Marienburg.
Empat tahun kemudian, tepatnya 1894 perusahaan yang sama mendatangkan lebih banyak lagi imigran dari Jawa, yaitu sebanyak 582 orang.
Selanjutnya mulai tahun 1897 kedatangan para imigran dari Indonesia ini dikelola langsung oleh pemerintah Hindia Belanda.
Banyaknya imigran Suriname dari Jawa semakin meningkat.
Sejak tahun 1890 hingga 1939, jumlah imigran Indonesia asal Jawa tersebut mencapai 32.956 orang.
Lebih dari 30 ribu orang Jawa itu didatangkan ke Suriname dengan menggunakan 34 kali pengangkutan.
Baca Juga: Tak Lama Setelah Tentara AS Pergi, Afghanistan Minta Bantuan Rusia, China dan India, Untuk Apa?
Banyak Buruh Jawa Memilih untuk Tetap Tinggal
Para buruh Jawa yang didatangkan ke Suriname memiliki hak untuk kembali ke negara asalnya atau repatriasi, jika telah habis masa kontraknya.
maka, dalam periode tahun 1890 – 1939, tercatat 8.120 orang yang telah kembali ke tanah air
Pada tahun 1947, terjadi lagi gelombang repatriasi tercatat 1.700 orang.
Repatriasi massal terakhir pada 1954, ketika sekitar 1.000 orang Jawa meninggalkan Suriname untuk kembali ke Indonesia.
Namun, di antara buruh Jawa di Suriname, ada yang memilih tetap tinggal dan tidak kembali ke Tanah Air.
Setelah hubungan kontrak mereka dengan pemilik perkebunan telah berakhir, mereka bekerja sebagai pekerja bebas.
Bahkan, ketika masa kejayaan perkebunan tebu mulai merosot, mereka melakukan cara lain untuk bertahan.
Banyak dari mereka beralih profesi dari buruk perkebunan menjadi buruh industri.
Mereka pun berpindah ke pusat-pusat pertambangan bauksit seperti Moengo, Paranam dan Biliton.
Seiring berjalannya waktu, orang Jawa yang bertahan di Suriname bukan hanya jadi buruh.
Ada di anatra mereka yang juga menjadi politisi bahkan menteri.
Itulah sejarah keberadaan orang-orang Suriname Jawa yang tak lepas dari penghapusan perbudakan di Koloni Belanda.
(*)