Selain itu, sebagian besar narkoba berdampak pada sistem dopamin, di mana dopamin mengendalikan emosi, motivasi, dan perasaan senang.
Otak kita terprogram untuk memastikan kita mengulangi kegiatan yang menyenangkan.
Maka, ketika kita melakukan sesuatu yang menyenangkan, kita mendapatkan sedikit dopamin, ini mengingatkan kita untuk melakukannya lagi melalui otak.
Narkoba mengaktifkan dopamin dalam jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan kegiatan pengaktif dopamin lainnya, seperti makan dan seks.
Akibat hal itu, ada dorongan dari dalam yang kuat untuk mengulangi penggunaan narkoba.
Ketika dopamin dalam jumlah besar dilepaskan, otak mengalami kesulitan menjaga produksinya dan dapat kehabisan dopamine pada sementara waktu.
Kemudian, ketika dopamin habis karena penggunaan yang kronis, seseorang mungkin bisa merasa datar selama berbulan-bulan, bahkan ketika mereka berhenti menggunakan narkoba.
Hal itu pun bisa menjadi motivasi penggunaan narkoba untuk kembali merasakan kesenangan.
Pecandu juga akan merasakan gejala putus obat ketika berhenti mengonsumsi narkoba.
Otak kita sangat plastis dan, seiring berjalannya waktu, otak beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda, lingkungan yang diciptakan oleh narkoba.
Otak menyesuaikan terhadap peningkatan dopamin dan neurokimia lainnya dengan mengurangi produksi normal.
Seiring waktu, beberapa orang yang bergantung pada alkohol atau narkoba mengatakan bahwa mereka mengkonsumsinya hanya untuk membuat mereka merasa “normal”.
Baca Juga: Tak Hanya Mobil Balap, Manusia pun Butuh 'Bahan Bakar' yang Tepat saat Berolahraga
(*)
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Khaerunisa |
Editor | : | Khaerunisa |
KOMENTAR