Intisari-online.com -Putra Aburizal Bakrie, Ardi Bakrie ditangkap oleh polisi terkait kasus penyalahgunaan narkotika.
Ia ditangkap bersama istrinya, Nia Ramadhani.
"Saya membenarkan NR dan AB (ditangkap), sementara dilakukan (pemeriksaan) di Polres Jakpus," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus, Kamis, saat ditanya tentang penangkapan Nia dan Ardi dikutip dari Kompas.com.
Namun, Yusri belum bersedia membeberkan lebih jauh mengenai kasus itu.
"Nanti siang setelah dzuhur saya akan konferensi pers (terkait penangkapan Nia dan suaminya) di sana (Mapolres Jakarta Pusat)," ujar Yusri.
Kabar yang beredar, polisi juga menyita barang bukti berupa sabu.
Terkait hal ini, Yusri juga membenarkannya.
Namun berapa banyak barang bukti yang disita polisi belum dapat Yusri beberkan.
Ia menegaskan penjelasan lebih lengkap akan disampaikan Polres Metro Jakpus setelah memeriksa pasutri tersebut.
'Dosa besar' keluarga Bakrie
Keluarga Bakrie terkenal sebagai keluarga konglomerat terkemuka di Indonesia.
Namun kekayaan mereka yang berlimpah itu tidak pernah bisa bersih dari 'dosa' yang membuat banyak orang kehilangan tempat tinggal mereka.
Dosa tersebut adalah bencana lumpur Lapindo.
Kejadian itu terjadi pada 29 Mei 2006, 16 tahun lalu.
Saat itu lumpur panas dari tanah wilayah Jawa Timur menyembur, buah dari aktivitas di Sumur Banjarpanji 1, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.
Aktivitas tersebut merupakan aktivitas pengeboran gas milik PT Lapindo Brantas.
Baca Juga: Runtuhnya Kejayaan Grup Bakrie di Pasar Modal Indonesia
Namun apes, bukannya gas yang didapat malah justru yang keluar semburan lumpur panas yang menenggelamkan ribuan hektar wilayah pemukiman warga.
Mengutip arsip Harian Kompas 30/5/2006, lumpur bersuhu 60 derajat celcius disertai gas itu menyembur sejak subuh pukul 04.30 WIB di areal persawahan desa.
Gas yang ikut keluar sangat beracun sampai dua warga dilaporkan keracunan akibat menghirup gas, yang akhirnya ketahuan mengandung hidrogen sulfida.
Saat itu sekolah di desa itu sampai diliburkan 2 hari akibat kejadian tersebut.
Sampai sekarang, penyebab semburan lumpur itu masih misterius.
Demikian pula dengan dana utang Lapindo yang terus ditagih pemerintah senilai 1,91 Triliun Rupiah.
Dilansir dari Kompas.com April lalu, Kemenkeu terus-terusan menagih utang anak usaha Lapindo Brantas Inc., PT Minarak Lapindo.
Mereka merupakan perusahaan yang bertanggung jawab, yang merupakan perusahaan milik keluarga Bakrie.
Sampai saat ini utang Lapindo masih belum terbayar, saat itu utang Bakrie kepada pemerintah masih Rp 773,8 miliar.
Pemerintah menalangi pembayaran utang Lapindo kepada warga yang kehilangan tempat tinggalnya, dengan melunasi pembelian tanah dan bangunan warga korban luapan lumpur Lapindo, Sidoarjo.
Direktur Jenderal Kekayaan Negara Rionald Silaban menyampaikan, pemerintah sejatinya meminta perusahaan konglomerasi Bakrie itu melunasi utangnya.
"Lapindo masih kita teliti pada dasarnya apa yang ada di catatan pemerintah itu yang akan kita tagihkan," kata Rionald dalam Bincang Bareng DJKN secara virtual, Jumat (30/4/2021).
Hasil audit BPK tahun 2019 menunjukkan total utang Lapindo Brantas danMinarak Lapindo kepada pemerintah sendiri mencapai Rp 1,91 triliun.
Rinciannya antara lain utang pokok Rp 773,38 miliar, bunga Rp 163,95 miliar, dan denda Rp 981,42 miliar.
Pembayaran baru dilakukan sekali yaitu pada Desember 2018 senilai Rp 5 miliar saja.
Pemerintah menghendaki pembayaran tunai, tapi tidak menolak jika dilakukan pembayaran dengan aset.
Baca Juga: Pemerintah Terpaksa Talangi Ganti Tugi Korban Lumpur Lapindo Rp781 Miliar
Mantan Dirjen Kekayaan Negara Isa Rachmatarwata mengatakan pemerintah akan melakukan perhitungan valuasi dari aset yang ditawarkan jika mereka memilih membayar utang dengan penyerahan aset.
Menurut Isa, pihak Lapindo menawarkan aset pada wilayah yang terdampak kebocoran lumpur.
"Itu akan kami lihat, kami valuasi, dan sebagainya, nanti kalau memang nilainya ada, cukup, enggak ada masalah kami ambil juga. Kalau tidak mencukupi, menghendaki cara lain," sambung dia.