Hanya Berjarak 3 Jam dari Desa 'Pemborong' Mobil, Warga di Desa Ini Justru Harus Menderita Selama Lebih dari 1 Dekade karena 'Ulah' Lumpur Lapindo

Tatik Ariyani

Penulis

Desa Sumurgeneng membeli mobil beramai-ramai - Seorang pria berziarah kubur di tanggul penahan lumpur

Intisari-Online.com -Sejumlah warga Desa Sumurgeneng, Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban, Jawa Timur, mendadak kaya.

Setelah sepakat menjual tanah kepada PT Pertamina untuk pembangunan kilang minyak itu, sejumlah warga ramai-ramai memborong mobil secara bersamaan.

Warga yang memborong mobil secara bersamaan dan berkelompok itu merupakan warga Dusun Pomahan dan Dusun Sumurgeneng.

Mereka membeli mobil setelah menerima pembayaran tahap akhir dari hasil konsinyasi yang dititipkan di Pengadilan Negeri Tuban.

Baca Juga: Setelah Bertahun-tahun, Lapindo Baru Bayar Rp5 miliar dari Total Rp773,3 Miliar Utangnya Kepada Negara, Belum Termasuk Bunga

Nantinya, lahantersebut digunakan untuk pembangunan grass root refinery (GRR) kilang minyak yang melibatkan Pertamina-Rosneft perusahaan asal Rusia.

Berbicara mengenai keberadaan tambang, mungkin akan mengingatkan kita pada peristiwa Lumpur Lapindo.

Lumpur Lapindo hanya berjarak sekitar 3 jam dariDesa Sumurgeneng, namun bak nasibnya berbanding terbalik, warga korban Lumpur Lapindo justru harus menderita dalam waktu yang lama.

Baca Juga: Pemerintah Terpaksa Talangi Ganti Tugi Korban Lumpur Lapindo Rp781 Miliar

10 tahun lumpur Lapindo menyembur di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur lalu, kepulan asap putih yang membubung di udara menandakan semburan masih aktif.

Tak ada yang tahu kapan berhenti, tetapi miliaran meter kubik lumpur yang dikeluarkan telah membuat banyak perubahan dan mencerminkan sikap masyarakat, negara, dan Lapindo terhadap bencana.

Harwati (40) duduk di dalam gubuk di atas tanggul kolam lumpur Lapindo titik 21 Desa Siring, Kecamatan Porong, Kamis (26/5/2016).

Seraya menunggu pengunjung, korban lumpur yang bekerja sebagai tukang ojek sepeda motor di kawasan semburan itu menyantap sebungkus nasi berlauk mujair asap.

Asap lumpur Lapindo yang berbau menyengat dan tidak sedap tak mengendurkan selera bersantap Harwati. Berbagi dengan Sudarwati (35), sesama tukang ojek, dia melalap makanannya hingga tandas.

Mujair asap khas Desa Penatarsewu, tetangga Desa Siring itu, memang terkenal gurih.

"Hari ini sepi pengunjung. Ojekan juga sedikit sehingga tak semua tukang ojek dapat giliran. Saya sudah dua hari belum dapat uang. Nasi bungkus ini traktiran teman," ucap janda dua anak itu.

Selain sebagai korban lumpur, Harwati juga dikenal sebagai calo ganti rugi di desanya. Tugasnya menekan korban lain agar mau melepas tanah dan rumahnya dengan harga terendah.

Baca Juga: Warga Desa Pemborong Mobil Wajib Baca, 5 Miliarder Ini Justru Berakhir Melarat di Hari Tuanya, Jangan Sampai Bernasib Sama

Biasanya korban ditakuti dengan tidak akan dibayar kalau tidak nurut.

Calo-calo seperti Harwati bergerilya dari lingkungan rumah tangga, RW, desa, kecamatan, kabupaten, hingga pemerintah pusat.

Mereka tega memanfaatkan derita tetangga, orangtua, dan saudara demi memperkaya diri.

"Waktu itu calo-calo diperlakukan istimewa oleh Lapindo," kata Harwati.

Keistimewaan lain, pembayaran ganti rugi aset para calo ini langsung dilunasi. Perlakuan itulah yang menggoda Harwati. Dia pun akhirnya berhenti jadi calo setelah rumah orangtuanya dilunasi dan mereka bisa membeli tanah di Desa Candi Pari, Porong.

"Lebih baik kerja ngojek, uangnya berkah dimakan anak saya, meski hasilnya pas-pasan, paling banyak Rp 1,2 juta per bulan," ujar perempuan yang akhirnya memilih berjuang bersama korban lumpur tersebut.

Bencana selalu mengakibatkan perubahan sosial di masyarakat. Namun, bencana akibat lupa memasang casing atau selubung bor saat mengebor di sumur Banjar Panji 1 milik Lapindo Brantas Inc itu menyebabkan perubahan sosial yang luar biasa.

Krisis identitas

Baca Juga: Boro-boro Borong Mobil Seperti Warga Desa di Tuban, Suku Amungme di Papua Justru Tersingkir dari Gemerlap Emas Freeport yang Dikeruk dari Tanahnya

Semburan Lumpur Lapindo 29 Mei 2006 volume 100.000-150.000 meter kubik per hari atau 12.500 truk tangki per hari.

Data BPLS volume sekarang 30.000–50.000 meter kubik per hari. Pusat semburan 150-200 meter dari sumur pengeboran BJP 1, Kecamatan Porong.

Total korban lumpur di dalam peta (yang rumahnya sudah terkubur) dan di luar peta (yang belum terkubur) sebanyak 90.000 jiwa. Mereka berasal dari 19 desa terdampak yang ada di Kecamatan Tanggulangin, Kecamatan Jabon, dan Kecamatan Porong. Puluhan ribu jiwa itu mengalami krisis identitas kependudukan sebab mereka hanya memegang KTP lama yang mandul untuk mengakses pelayanan sosial, kesehatan, dan pendidikan.

Solikah (38), warga Desa Siring, yang kini tinggal di Desa Candi Pari, ditolak saat berobat di Puskesmas Porong karena desanya sudah hilang. Petugas puskesmas bilang, pasien akan dilayani setelah punya identitas baru.

"Pindah kependudukan itu tidak mudah dan tidak murah. Korban lumpur baru terima pelunasan ganti rugi akhir 2015, bahkan masih ada yang belum terima sampai sekarang. Untuk mengurus pencairan, masih butuh surat-surat lama," tuturnya.

Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengakui sengkarutnya data kependudukan korban lumpur di Sidoarjo. Persoalan inilah yang menyebabkan korban lumpur tak bisa mengakses jaminan sosial, seperti Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, dan Program Keluarga Harapan.

"Bagaimana Kementerian Sosial bisa menyalurkan bantuan kepada mereka kalau Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sidoarjo tak pernah mengusulkan," ujarnya.

Selain hak sosial, hak politik dan hak ekonomi juga diberangus. Saat pilkada tahun 2015, korban lumpur tak ikut mencoblos karena desanya sudah hilang. Pelaku usaha mikro juga tidak bisa mendapatkan pinjaman modal usaha karena identitas dan tempat tinggal berbeda. Apalagi banyak yang masih kontrak.

Baca Juga: Tak Ingin Ada Tentara Lain yang Jadi Korban, Ayah Prada Ginanjar: Cukup Anak Saya yang Terakhir Jadi Korban, Jangan Ada Tentara-tentara Lainnya

Wisata

Bupati Sidoarjo Saiful Ilah mengatakan, keberadaan korban lumpur tercerai-berai setelah kehilangan tempat tinggal. Dengan alasan sulit melacak keberadaan mereka, pemkab pun enggan mengurus. Mereka dianggap sebagai obyek jual beli tanah yang menerima ganti untung.

"Ke depan, semburan lumpur akan saya jadikan obyek wisata. Sekarang saja pengunjungnya sudah banyak. Saya yakin lumpur itu akan jadi berkah bagi Sidoarjo. Hanya sekarang belum tahu caranya," kata bupati dari Partai Kebangkitan Bangsa yang menjabat dua periode itu.

Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat, juga bersikap sama. Mereka sekarang giat mengusir warga di 13 desa di luar peta terdampak, dengan alasan tanah sudah dibeli pemerintah. Nilai beli 10 tahun lalu dan sekarang sama.

"Bukannya tak mau pindah, tapi kehidupan kami di sini. Toko ini napas ekonomi keluarga. Sementara uang penggantinya tak cukup buat membeli tanah dan membangun rumah. Per meter persegi tanah dan bangunan dihargai Rp 1,5 juta, sedangkan harga pasar Rp 3 juta-Rp 4 juta per meter persegi," ujar Samsul, warga Porong.

Amien Widodo, anggota Pusat Studi Kebumian, Bencana, dan Perubahan Iklim pada Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, yang juga mantan Ketua Tim Kajian Teknis dan Sosial Lumpur Lapindo, mengatakan, harus dilakukan evaluasi dari segala sisi terkait dengan 10 tahun semburan lumpur Lapindo. Dari segi teknis, misalnya, penanganan semburan dilakukan dengan mengalirkan luberan lumpur di darat ke Sungai Porong dan Selat Madura.

"Dampaknya pasti banyak dan kerusakan ekosistem jelas terjadi. Di darat, tidak ada satu rumput pun yang tumbuh di atas lumpur yang memadat selama 10 tahun," ucap Amien.

Dari segi geologis, terdapat penurunan permukaan tanah di sekitar pusat semburan. Itu tampak jika membandingkan tinggi permukaan tanggul titik 21 Desa Siring dengan tinggi kubah masjid di seberang jalan. Dulu tanggul berada di atas kubah, sekarang tanggul sejajar dengan genteng masjid.

Dari segi sosial, negara harus memulihkan hak-hak sosial masyarakat. Menempatkan warga korban dan masyarakat sekitar sebagai subyek bencana, dan bukan obyek. Negara harus memberdayakan mereka supaya kelak mampu mengenali ancaman di sekitarnya dan tangguh menghadapi bencana.

Penolakan keras warga terhadap rencana pengeboran sumur baru Lapindo di Desa Kedungbendo, Tanggulangin, pada Februari 2016 adalah cermin ketidakpekaan negara, terutama Pemkab Sidoarjo, terhadap permasalahan sosial warganya. Trauma semburan lumpur 10 tahun silam yang dialami warga dianggap selesai dengan bagi-bagi bahan pokok.

Amien menyayangkan sikap pemerintah yang tak menganggap semburan lumpur sebagai bencana karena berarti mengabaikan pentingnya mitigasi. Terlepas bencana alam atau industri, mitigasi penting untuk mencegah korban jiwa dan material serta merumuskan kebijakan yang akan menyelamatkan masa depan bangsa.

Sebagai gambaran, pakar statistik ITS, Krenayana Yahya, menghitung, sampai tahun lalu kerugian ekonomi semburan lumpur telah menembus angka Rp 60 triliun. Nilai itu setara dengan 46 tahun pendapatan asli daerah Kabupaten Sidoarjo sebesar Rp 1,3 triliun pada 2015.

Kabar terbaru, sebuah pulau terbentuk dari endapan lumpur hasil buangan ke Sungai Porong, Sidoarjo.

Disebut Pulau Lusi oleh warga setempat, daratan baru ini memiliki luas sekitar 93,4 Hektare.

Menariknya, endapan lumpur itu kemudian ditanami dengan tumbuhan mangrove yang ternyata berkembang cukup baik.

Artikel Terkait