Advertorial
Intisari-online.com -Siapa sangka, seorang wanita muda cantik yang merupakan cucu konglomerat media Amerika Serikat (AS) justru menjadi komplotan perampok dan dipenjara karenanya.
Cerita ini adalah kisah yang menimpa Patricia Campbell Hearst, cucu dari William Randolph Hearst.
Pemberitaannya meluas ke mana-mana, dan awalnya ia mendapat banyak simpati karena dianggap sebagai korban politik.
Namun siapa sangka, ia akhirnya berakhir mendekam di bui.
Kisah bermula lewat penculikannya, Patricia atau Patty berada di dapur apartemennya ketika dua lelaki berkulit hitam dan seorang wanita berkulit putih menerobos masuk ke dalam sambil menodongkan senjata api.
Mereka bergerak cepat melumpuhkan tunangannya, Steve Weed, dengan memukulkan botol anggur ke kepalanya dan meringkus Patty.
Tubuh Patty diempaskan ke atas lantai. Kedua matanya ditutup.
Berada di bawah ancaman, ia pun tak berani berbuat macam-macam.
Ia mendengar suara tembakan senjata diikuti jerit ketakutan para tetangga ketika tubuhnya digotong keluar dari apartemennya.
Ia lalu dimasukkan ke dalam bagasi mobil yang kemudian membawanya pergi.
Peristiwa penculikan, 4 Februari 1974, itu pun dengan cepat menyebar dan menjadi pemberitaan media massa seluruh dunia.
Patty Hearst adalah cucu dari pemilik penerbitan surat kabar nasional berpengaruh di Amerika Serikat, William Randolph Hearst.
Usianya baru 19 dan ia hanya seorang mahasiswa biasa yang tak pernah terlibat dalam aktivitas politik atau kekerasan apa pun.
Dengan latar belakang itulah, dalam konferensi pers yang dilangsungkan beberapa jam setelah kejadian, keluarga Hearst mengaku bingung atas penculikkan yang menimpa Patty.
“Kami tidak tahu siapa mereka dan kami belum mendapat kabar apa pun dari mereka,” ujar ayah Patty, Randolph Hearst.
Beberapa waktu kemudian datanglah titik terang.
Sebuah stasiun radio lokal menerima paket berisi rekaman suara Patty yang sedang dalam penyanderaan.
Dalam rekaman, Patty menyatakan dirinya baik-baik saja. Meski ada sejumlah luka namun telah diobati dan kondisinya kini mulai membaik.
Ia pun menjelaskan, dirinya saat ini ditahan oleh sekelompok orang bersenjata.
“Tidak ada kemungkinan aku bisa bebas sampai mereka melepaskanku,” ujar Patty dalam rekaman.
Jeda sejenak, lalu terdengar suara seorang lelaki yang mengaku sebagai pimpinan kelompok bersenjata tersebut.
“Apa pun yang terjadi pada anakmu sepenuhnya menjadi tanggung jawabmu,” ujar Jenderal Cinque.
Menurut Robert Blackburn, seseorang yang pernah menjadi korban penembakan kelompok bersenjata ini, nama asli Cinque adalah Donald DeFreeze yakni seorang narapidana kulit hitam yang memiliki para pengikut setia dan amat berbahaya.
Mereka tergabung dalam Symbionese Liberation Army (SLA), suatu kelompok yang mempunyai misi menghancurkan fasisme.
Misi ini tersurat jelas dalam slogan mereka, “Kematian serangga-serangga fasis yang memangsa kehidupan orang-orang.”
Blackburn sendiri tertembak dalam aksi penyerangan SLA terhadap Sekolah Oakland pada 6 November 1973 yang menewaskan Kepala Sekolahnya, Marcus Foster.
SLA menikmati publikasi peristiwa penculikan Patty secara besar-besaran oleh media.
Setiap kali rekaman suara Patty dirilis akan selalu mendapat tempat di pemberitaan utama.
Rekaman tersebut juga menjadi satu-satunya media penghubung antara Patty dan keluarganya.
Randolph Hearst pun dibuat semakin khawatir akan keselamatan putrinya.
Dalam sebuah jumpa pers ia menyampaikan keinginannya untuk bernegosiasi langsung dengan para penculik.
“Kami tidak berniat untuk membalas dendam asalkan Patty kembali dengan selamat,” ujar Randolph.
Beberapa hari kemudian datang jawaban dari pihak SLA, mereka menuntut Hearst memberi makan kaum miskin California sebagai prasyarat negosiasi pembebasan Patty.
Program ini menghabiskan uang jutaan dollar namun ayah Patty menyetujui.
Belakangan program sosial ini nyaris berujung pada kerusuhan massal di sejumlah tempat.
Nahasnya lagi, SLA mengaku tidak terkesan dengan apa yang telah dilakukan Randolph.
“Uang yang telah digelontorkan itu tidak cukup menunjukkan niat baik mereka, itu sekadar remah-remah yang dilemparkan kepada orang-orang miskin,” ujar Jenderal Cinque.
Debut Tania
Randolph Hearst terus berupaya mengontak pihak SLA namun tak ada respons.
Hingga suatu hari, awal April 1974, SLA merilis rekaman suara Patty yang terbaru. Namun isinya sungguh mengejutkan.
“Aku diberi pilihan untuk dibebaskan di area yang aman atau bergabung dengan pasukan SLA dan berjuang untuk kebebasanku dan semua orang yang terampas kemerdekaannya. Aku telah memilih untuk tinggal dan berjuang,” ujar Patty.
Dalam rekaman itu, ia pun memperkenalkan nama barunya, Tania, serupa dengan nama kekasih tokoh sosialis Kuba, Che Guevara.
Rekaman tersebut tentu saja mengundang reaksi masyarakat. Mereka bertanya-tanya apa yang menyebabkan perubahan sikap Patty tersebut.
Apakah ia berpartisipasi secara sukarela atau di bawah tekanan? Apakah ia telah dicuci otak?
Atau apakah bersama SLA ia menemukan kebebasan dari kungkungan hidupnya sebagai anggota keluarga milyuner Hearst?
Sementara ayah Patty sendiri mengaku tidak mempercayai isi rekaman tersebut.
Namun dua minggu kemudian, Randolph Hearst harus menelan kenyataan pahit.
Putrinya itu diketahui ikut dalam aksi perampokan bersenjata di Bank Hibernia, San Fransisco.
Polisi mendapati gambar Patty dalam rekaman kamera pengaman bank tersebut.
Patty yang berpakaian serba hitam itu tampak memegang senapan laras panjang, berdiri di sebelah Cinque yang berdiri paling depan memimpin aksi perampokan.
Dalam aksinya itu mereka melukai dua orang penjaga dan membawa lari uang senilai AS$ 10 ribu.
Meski begitu, keluarga Hearst masih tak mempercayainya dan bersikeras bahwa Patty hanyalah korban.
“Lihat gambar tersebut, lihat senjata yang ditodongkan ke arah Patty!” ujar Randolph.
Dua kali dua puluh empat jam, pasca perampokan Bank Hibernia, seorang petugas polisi bernama Rodney Williams menerima paket berisi rekaman suara Patty.
Ia menyatakan bahwa SLA telah merampok Bank Hibernia dan membantah segala tudingan yang menyebut bahwa ia diancam ataupun telah dicuci otak.
“Senjataku terisi peluru dan tidak sekalipun temanku menodongkan senjata ke arahku."
"Seperti juga halnya pencucian otak yang merupakan ide konyol yang sukar dipercaya,” ujar Patty dengan suara yang terdengar penuh amarah.
Alibi cuci otak
Terbunuhnya Myrna Opshal tidak saja mengubah hidup Beckey Fischer tetapi juga kelompok SLA.
Sejumlah anggota mulai menentang kepemimpinan Bill Harris secara terbuka.
Pada musim gugur tahun 1975, kelompok tersebut memutuskan pindah ke San Fransisco dan semenjak itu mulai timbul perpecahan di antara mereka.
Pasca perampokan Bank Hibernia, keberadaan Patty semakin misterius.
Ia lebih banyak bermain di belakang layar dalam aksi-aksi bersenjata yang dilakukan SLA.
Namun masyarakat tetap mengenalnya sebagai Tania Seorang Revolusioner.
Hingga September 1975 petugas polisi federal FBI berhasil menemukan tempat persembunyian pasangan Bill dan Emily di mana Patty Hearst juga tinggal di situ.
Ketiganya berhasil diringkus.
Randolph Hearst menyewa pengacara Terence Hallinan untuk membela anaknya.
Hallinan pun segera mengunjungi Patty di sel dan ia terkejut dengan sikap Patty yang dengan yakin menyatakan dirinya merupakan bagian dari SLA.
Begitu pun dalam rekaman percakapan dengan seorang temannya yang datang berkunjung, Patty terdengar sebagai pribadi yang berbeda.
Meski begitu, kepada pers, pihak keluarga membantahnya.
“Kami berbicara banyak hal seputar urusan keluarga dan semuanya berlangsung menyenangkan. Sama sekali tak ada yang berubah dengan dirinya,” ujar Randolph.
Sementara pengacara Hallinan telah menyiapkan materi pembelaan bagi Patty yakni konsumsi obat-obatan secara paksa yang dibarengi dengan penyekapan yang mengerikan selama dua bulan di kamar mandi, sesudah itu barulah Patty dicekoki dengan berbagai ideologi SLA.
Namun rupanya keluarga Hearst tidak setuju.
Menurut mereka, akan lebih baik jika materi pembelaan hanya menyinggung unsur paksaan dan cuci otak.
Namun kali itu Hallinan tak sependapat.
Ia pun berupaya meyakinkan keluarga Hearst, argumen tersebut bukanlah pembelaan yang baik.
Karena tetap tidak setuju, akhirnya keluarga Hearst memutuskan mengganti Hallinan dengan seorang pengacara berbayaran mahal, F. Lee Bailey, yang sepaham dengan mereka.
Persidangan perdana Patty Hearst, 4 Februari 1979, mendapat perhatian luas lantaran masyarakat penasaran pada Patty yang semula menjadi korban malah berbalik arah mendukung komplotan yang menculiknya.
Sesuai skenario yang diinginkan keluarga Hearst, di persidangan Patty menyangkal semua perkataan dan perbuatan yang dilakukannya atas nama Tania.
“Dua bulan saya disekap dalam kamar mandi dengan mata tertutup dan mengalami berbagai intimidasi, ancaman hingga pelecehan seksual berkali-kali. Saya bahkan tidak dapat berpikir untuk kebaikan diri saya sendiri karena pikiran saya sudah diprogram,” ujar Patty.
Ia pun menyangkal semua pernyataan-pernyataannya dalam rekaman yang menunjukkan simpati kepada rekan-rekan seperjuangannya di SLA, termasuk kedekatannya dengan salah seorang anggota SLA bernama Cujo.
“Lelaki itu sama jahatnya dengan semua anggota SLA lainnya. Lagi pula terlalu menyakitkan bagi perempuan yang pernah dilecehkan jika ada yang beranggapan bahwa kejadian itu bisa berubah menjadi kisah asmara,” ujarnya.
Pengacara Patty juga menghadirkan sejumlah ahli psikiatri untuk memperkuat argumentasinya.
Menurut mereka, saat itu Patty berada dalam tekanan fisik yang ekstrim sehingga mengalami kemerosotan mental dan mengalami cuci otak sehingga mau menerima ideologi politik SLA.
Namun Jaksa James Browning membalasnya dengan menghadirkan pakar lain yang menyatakan, keikutsertaan Patty merupakan kehendaknya sendiri sebagai wujud pemberontakannya.
Dalam persidangan, Jaksa Browning pun menunjukkan rekaman video di mana Patty tampak bersemangat ketika ikut ambil bagian dalam aksi perampokan bank bersama rekan-rekannya.
Ketika akan meninggalkan bank, ia pun tampak tersenyum kepada Cinque.
Para juri pun rupanya tak termakan dengan pembelaan cuci otak yang disampaikan pihak Patty dan menyetujui argumen yang disampaikan jaksa.
Patty dinyatakan bersalah dan mendapat hukuman 25 tahun penjara untuk keterlibatannya dalam perampokan bank dan 10 tahun penjara untuk kasus penembakan.
Namun setelah menjalani hukuman selama 22 bulan, ia beruntung mendapatkan keringanan hukuman menjadi tujuh tahun penjara dari Presiden Jimmy Carter.
Kasus Patty Hearst sendiri hingga kini masih menjadi perdebatan.
Apakah mungkin dalam kondisi ekstrem tertentu kepribadian seseorang memang bisa berubah secara drastis? Tidak ada yang bisa menjawabnya secara pasti.
Sikap Adaptif Manusia
Dr. Robert Jay Lifton dalam bukunya Thought Reform melakukan observasi terhadap para narapidana Komunis Cina pada 1950.
Hasil penelitiannya menunjukkan terjadi pergantian identitas kepribadian pada sejumlah tahanan tersebut terkait penerimaan dan penolakan mereka terhadap komunisme.
Menurut Lifton transformasi kepribadian seperti itu dimungkinkan terjadi lantaran kelenturan dan sifat adaptif manusia.
Jika tekanannya cukup kuat, orang-orang yang dihadapkan pada lingkungan dan nilai-nilai baru bisa saja mengubah seluruh pandangan mereka terhadap sesuatu.
Flo Conway dan Jim Seigelman dalam Snapping: America;s Epidemic of Sudden Personality Change juga menyuarakan pendapat senada.
Baca Juga: Sifat Dewasa dan Tenang Bisa Terpancar Jika Anda Gunakan Warna Ini
Menurut mereka, pengkondisian pikiran melalui teknik-teknik tertentu dapat mengganggu kemampuan otak seseorang untuk memproses informasi yang mengarah pada perubahan cara pandang dan tekanan mental.
Dalam kasus Patty, kepribadiannya dirusak secara metodik sampai ia mengalami perubahan kepribadian secara dramatis dan traumatis.
Dari hasil wawancara Conway dan Seigelman dengan Patty, tiga tahun setelah penculikan, keduanya menilai Patty menunjukkan gejala sebagai korban pengkultusan.
Dia kerap tertawa dan menangis pada kondisi-kondisi yang ganjil, menunjukkan emosi yang tak stabil disertai kecemasan berlebihan.
Patty juga tak mampu mengisahkan secara detail pengalamannya selama disekap dan hanya menyebut itu sebagai kenangan yang samar.
Menurut Conway dan Seigelman sikap yang menghindar tersebut menujukkan adanya trauma hebat yang dialaminya sehingga ia merasa takut untuk mengisahkan tindak kriminal yang terjadi padanya. (Rahmi Fitria)
Artikel ini telah terbit di Majalah Intisari dengan judul “Tania Sang Revolusioner”
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini