Intisari-online.com -Unjuk rasa yang dilakukan oleh warga Palestina pada Mei lalu di Yerusalem jarang disorot oleh dunia.
Unjuk rasa itu dilaksanakan pada 18 Mei 2021 lalu.
Kala itu, warga Palestina menyeru unjuk rasa di Yerusalem dan kota-kota mayoritas Palestina di Israel.
Mereka memprotesi pelanggaran HAM Israel melawan warga Palestina di wilayah Palestina.
Unjuk rasa bernama "Karameh" atau martabat itu menutup aktivitas komersial untuk mengecam pelanggaran militer Israel di Gaza.
Serta unjuk rasa untuk pengusiran keluarga-keluarga Palestina di wilayah Sheikh Jarrah, Yerusalem Timur yang melanggar hukum internasional.
Gabungan siswa Palestina juga bergabung dalam protes itu dan berjanji bolos kelas untuk solidaritas.
Pengumuman unjuk rasa besar-besaran itu telah menuntun kesamaan dengan unjuk rasa 1936 di Palestina yang masih dikuasai Inggris.
Bagaimanakah keadaannya saat itu?
Sejarah mengenai Palestina ini jarang dibahas.
Unjuk rasa itu terjadi sebelum pembentukan negara Israel dan "kekacauan" Nakba di Arab.
Saat itu, kekuatan Palestina begitu kuat.
Melansir Middle East Eye, beginilah kondisi Palestina saat itu.
Di bawah mandat Inggris
Tahun 1936 menandai Palestina menjadi mandat kolonial Inggris selama hampir 20 tahun.
Di bawah kesepakatan Sykes-Picot tahun 1916, Perancis dan Inggris membagi petak besar Suriah Besar dan Irak yang dulunya bagian dari Kesultanan Ottoman.
Mereka membagi wilayah itu untuk milik mereka sendiri.
Namun, mandat Palestina tidak hanya mengandung kepentingan kolonial Inggris di wilayah itu.
Tidak diketahui pemimpin wilayah Arab dan populasi Palestina yang lebih luas saat itu, Inggris malah telah menjanjikan Deklarasi Balfour 1917 yang mengatakan mereka akan mendukung pembentukan "rumah nasional untuk warga Yahudi" di wilayah Palestina.
Saat itu Eropa mulai dikuasai Jerman oleh Adolf Hitler, tahun 1933 kekuasaannya mulai tumbuh dan pembantaian terhadap warga Yahudi dimulai.
Pembantaian Holocaust tersebut membuat banyak warga Yahudi meninggalkan Eropa menuju Palestina.
Antara 1922 dan 1940, populasi Yahudi tumbuh lima kali lipat dari 83.790 sampai menjadi 467.000, sepertiga dari total populasi Palestina saat itu yang ada 1.5 juta.
Sementara itu kepemilikan lahan Yahudi meningkat lebih dari dua kali lipat dari 148.500 menjadi 383.500 akre dalam waktu yang sama.
Imigrasi Yahudi menjadi cikal bakal ketegangan antara otoritas Inggris dan warga Palestina.
Terutama karena pindah tangan lahan kepada komunitas Yahudi entah lewat Inggris atau dengan menciptakan kondisi yang memfasilitasi perebutan lahan atau pembelian lahan dari pemilik lahan non-Palestina.
Otoritas Inggris menerapkan aturan yang memperbolehkan pengambilan lahan Palestina untuk tujuan militer, semata-mata hanya untuk diserahkan kepada warga Yahudi.
Kondisi diperburuk dengan dampak sosio-ekonomi kebijakan Inggris kepada warga Palestina.
Banyak yang diusir dari desa-desa mereka oleh pemilik lahan, produksi pertanian mereka dipajaki, sementara yang pindah ke kota hidup dalam kemiskinan.
Hal ini yang menyebabkan warga Palestina marah kemudian memulai unjuk rasa.
April 1936 menandai titik balik penolakan Palestina terhadap Mandat Inggris.
Pada 19 April 1936, Komite Nasional Arab yang baru dibentuk di Nablus menyeru warga Palestina untuk melakukan unjuk rasa, menunda pembayaran pajak dan memboikot produk Yahudi untuk melindungi kolonialisme dan imigrasi Yahdui.
Dua hari sebelumnya, terjadi insiden di mana warga Palestina membunuh dua warga Yahudi di dekat Tulkarem, menyebabkan konfrontasi antara Yahudi dan Palestina.
Pada 25 April, persatuan komite nasional lokal membentuk Komite Tinggi Arab yang dipimpin oleh Mufti Agung Yerusalem Amin Husseini, yang menjadi badan politik menasehati Palestina di bawah Mandat Inggris.
Gerakan unjuk rasa ini sangat terkenal, sebagian besar masyarakat Palestina ikut saat itu, baik dari pedesaan, perkotaan pria, wanita dan sangat luas.
Kampanye solidaritas juga muncul di Timur Tengah, yaitu di kota-kota seperti Kairo, Beirut dan Damaskus.
Fakta bahwa penduduk Palestina pada saat itu sebagian besar terdiri dari petani membantu mempertahankan pemogokan, beberapa orang Palestina mengatakan, dengan memberi mereka tingkat swasembada tertentu dalam makanan dan kebutuhan dasar - sementara fellahin Palestina menjadi pusat perjuangan.