Intisari-Online.com - Timor Leste merupakan sebuah wilayah bekas jajahan Portugis.
Portugis pertama kali datang ke Timor Leste pada abad ke-16 atau sekitar tahun 1520.
Kedatangan Portugis untuk menjajah wilayah Timor Leste.
Belanda dan Jepang sempat datang ke Timor Leste untuk menguasai wilayah tersebut.
Perang antar negara sempat terjadi dan kemudian dibuat perjanjian.
Portugis lalu memberikan bagian barat Timor Leste ke Belanda.
Jepang sempat menguasai Timor Leste dari 1942 hingga 1945.
Setelah Jepang kalah pada perang dunia II, Portugis kembali menguasai Timor Leste hingga 1975.
Pada 1975 di Timor Leste terjadi konflik perang saudara.
Gubernur Portugis di Timor Leste, Lemon Pires meminta Pemerintah Portugis untuk mengirimkan bantuan.
Tapi permintaan itu tidak ada jawaban, sehingga gubernur menarik pasukan ke salah satu pulau di Timor Leste, yakni Pulau Kambing.
Pada 28 November 1975, Timor Leste mendeklarasikan kemerdekaan dari Portugis.
Kemerdekaan wilayah Timor Leste diumumkan oleh Front Revolusi untuk Timur Leste Merdeka (Fretilin) yang merupakan salah satu partai di Timor Leste.
Fretilin mendeklarasikan negara Timor Leste sebagai Republik Demokratik Timor Leste.
Indonesia datang ke Timor Leste Tidak berselang lama setelah Timor Leste mendeklarasikan kemerdekaan dari Portugis, pasukan Indonesia datang pada 7 Desember 1975.
Pada 1976, Indonesia menyatakan jika Timor Leste menjadi bagian negara Indonesia sebagai Provinsi Timor Timur.
Pemerintah Indonesia terus berupaya untuk melakukan pembangunan di Timur Leste.
Namun ada golongan yang tidak puas dan melakukan tindakan separatis.
Diberitakan Kompas.com (28/11/2019), setelah lepas dari Portugis terjadi kekosongan kekuasaan di Timor Leste.
Kekosongan diisi oleh partai pro kemerdekaan dari akar rumput, yakni Fretilin.
Mereka mengambil peran semi-pemerintah.
Namun tindakan itu mendapat reaksi keras dari partai-partai lain yang memiliki misi masing-masing.
Pada waktu itu partai di Timor Leste ada tiga, yakni Fretilin, Uni Demokrat Timur (UDT), dan Associacao Popular Timorense (APODETI).
Fretilin ingin Timor Leste merdeka dan berdaulat sepenuhnya.
UDT ingin kemederkaan Timor Leste secara bertahap, sedangkan APODETI justru Timor Leste berintegrasi dengan Indonesia.
Keinginan yang berbeda itu menimbulkan perpecahan dan terjadi perang saudara.
Konflik tersebut menimbulkan banyak korban, termasuk dari rakyat sipil.
Kemudian, UDT dan APODETI meminta bantuan Indonesia untuk merendam situasi ini.
Indonesia akhirnya mengirimkan pasukannya ke Timor Leste.
Upayakan damai
Kedatangan pasukan Indonesia ke Timor Leste justru semakin memperkeruh konflik.
Korban-korban dari kedua pihak berjatuhan.
Upaya meredakan konflik terus dilakukan Pemerintah Indonesia.
Indonesia membawa masalah ini ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Sebelumnya Indonesia melakukan perundingan dengan Portugis.
Bahkan kedua negara membuat perjanjian referendum di Timor Leste pada 5 Mei 1999.
Perjanjian kedua negara tersebut dikenal sebagai New York Agreement.
PBB ikut mengawal dalam masalah ini dan membentuk United Nations Mission in East Timor (UNAMET) pada 11 Juni 1999.
Dewan Keamanan PBB juga menetapkan resolusi 1246 yaitu kesepakatan antara Indonesia, Portugis, dan PBB untuk menggelar referendum.
Memisahkan dari Indonesia Pada 30 Agustus 1999 digelar referendum di Timor Leste.
Ada dua pilihan dalam referendum, yakni menerima otonomi khusus untuk Timor Lestes dalam NKRI atau menolak otonomi khusus.
Hasil referendum menunjukkan sebanyak 94.388 penduduk atau 21,5 persen memilih tawaran otonomi khusus.Sementara, 344.580 penduduk atau 78,5 persen memilih untuk menolaknya.
Hasil referendum itu membuat Timor Leste menjadi sebuah negara baru.
Karena dianggap berjasa bagi kemerdekaan Timor-Leste, nama Habibie pun diabadikan di negara itu menjadi nama untuk sebuah jembatan yang ada di Kota Dili.
(*)