Intisari-Online.com -Tanpa banyak diketahui, hubungan Indonesia dan Australia tengah memanas dan ini bisa saja berujung pada luluh lantaknya Jakarta.
Hal ini terungkap setelahLowy Institute merilis kabar tentang adanya pandangan berbeda antara Indonesai dan Australia terkait batas perairan.
Pembicaraan ini sendiri, seperti diungkapkan olehThe Australian Financial Review, sebenarnya sudah berlangsung sejak 2019.
Hanya saja, pandemi Covid-19 yang menyerang hampir seluruh negara di dunia, termasuk Australia dan Indonesia, membuat perundingan terhambat.
Perundungan batas maritim antara kedua negara ini sendiri bisa dipastikan akan sangat rumit dan sangat mungkin membuat kedua belah pihak bersitegang.
Apalagi, pemicu dari sengketa batas ini sendiri adalah negara yang memiliki hubungan historis kurang baik dengan Indonesia, yaitu Timor Leste.
Sebab, pada 2018, Australia dan Timor Leste menandatangani Perjanjian Perbatasan Maritim Laut Timor.
Sejak itulah, Perjanjian Perth 1997 yang dikenal sebagai Traktat Perth tentang Zona Ekonomi Eksklusif, mulai kembali diperbincangkan.
Di bawahUnited Nations Convention on The Law of the Sea (UNCLOS), yang sering disebut Konvensi PBB tentang Hukum Laut,ZEE menyediakan hak bagi negara pemilik perairan tersebut untuk memancing dan menangkap ikan serta memanen sumber daya yang ada di dalam perairan tersebut.
Lalu kini,Australia dan Indonesia setuju Traktat Perth akan memerlukan beberapa amandemen teknis mengikuti Traktat Timor Leste, yang akan berdampak pada titik pertigaan batas ZEE bertemu.
Namun, pembicaraan seperti ini pada umumnya tidak akan menguntungkan kedua belah pihak.
Bahkan,besar kemungkinannyabahwa yang akan menuai keuntungan adalah Indonesia, sementara Australia akan sangat dirugikan.
Sebab, umumnya yang digunakan dalam kesepakatan batas ZEE adalah prinsip "garis tengah" yang sangat disukai Indonesai dan hukum internasional kontemporer pada umumnya.
Jika ini yang dilakukan, maka ada harta karun berupa hidrokarbon (minyak dan gas) di dasar laut yang akan menjadi sengketa.
Apalagi sejak membahas mengenai batas laut pada 1971 dan 1972,Australia dan Indonesia telah mengembangkan pandangan berbeda mengenai prinsip apa yang seharusnya dipakai dalam menarik batas dasar laut.
UNCLOS memang mengatur prinsip perpanjangan alami berdasarkan Pasal 76, yang dikualifikasikan oleh Pasal 83, mengamanatkan pencapaian "solusi yang adil".
Artinya secara praktis, jika Indonesia berupaya membuka kembali masalah batas dasar laut, langkah ini kemungkinan akan lebih konsekuensial daripada sekedar amandemen teknis terhadap Traktat Perth.
Pasalnya ada kesenjangan besar antara batas dasar laut pilihan Australia dan Indonesia dibandingkan dengan garis ZEE.
Batas-batas dasar laut menguntungkan Australia karena "perpanjangan alami" akan mendorong batas itu jauh lebih dekat ke garis pantai Indonesia, beda dengan garis tengah yang sudah disepakati di Traktat Perth.
Hal inilah yang pada akhirnya bisa memicu ketegangan antara Indonesia dan Australia yang bisa saja berujung pada konflik senjata.
Jika hal tersebut sampai terjadi, maka Australia bisa dipastikan akan 'menekan tombol' dari senjata rahasianya.
Sebuah senjata yang menurut banyak pihak diyakini mampu meluluhlantakan Jakarta lama sekejap tanpa harus membuat Australia risau menghadapi balasannya.
Senjata yang dimaksud adalah jet tempur F-117.
Memang Australia memiliki rudal-rudal penjelajah, namun, penggunaan senjata tersebut diperkirakan akan membaut Indonesia dapat memberikan balasan.
Ya, apapun jenis senjatanya, semoga tidak ada yang sekalipun digunakan, sampai kapanpun.