Intisari-online.com -Timor Leste tidak pernah lepas dari pemberitaan bahwa mereka diperalat oleh Australia untuk menjadi sumber ladang minyak Australia.
Selama ini Timor Leste tidak pernah tampak melawan monopoli minyak yang dilakukan oleh Australia, padahal sudah tampak jelas kecurangan Australia dalam hal ini.
Australia tumbuh menjadi negara yang pongah merasa berhak atas Timor Leste karena membantu kemerdekaan Timor Leste.
Namun meski misi niat baik itu terjadi, hubungan kedua negara terus memburuk karena pengerukan minyak dan gas di Laut Timor oleh Australia.
Melansir The Conversation, perjanjian yang ditandatangani akhir Maret 2019 lalu menciptakan batas maritim antara dua negara itu untuk pertama kalinya.
Batas tersebut diharapkan efektif pada Agustus 2019, mengikuti ratifikasi oleh kedua parlemen, sebuah pencapaian lain dalam sejarah Timor Leste.
Namun isu panas tetap ada, ketika Perdana Menteri Scott Morrison sampai ke Dili membahas hal tersebut, ia masih menghadapi panggilan sidang pengadu yang membuktikan operasi mata-mata Australia terhadap Timor Leste.
Seperti yang dikatakan oleh eks Presiden Timor Leste Jose Ramos Horta, "Jika Australia tidak tunjukkan kepemimpinan politik, kepemimpinan moral dalam isu ini, setiap kali kami berbicara kepada pemimpin Australia aku akan merasa mereka punya perekam suara atau kantorku telah disadap."
Konflik minyak dan gas
Sejak merdeka, hubungan Timor Leste dengan Australia telah ditutupi oleh satu faktor penting: minyak dan gas dalam perbatasan maritim mereka.
Hubungan memburuk tahun 2012 ketika Timor Leste menantang Perjanjian Susunan Maritim Tertentu di Laut Timor (CMATS) yang disepakati dua negara tahun 2006.
Kesepakatan itu mengatur moratorium 50 tahun dalam negosiasi batas maritim, atau 5 tahun setelah eksploitasi ladang minyak Greater Sunrise berakhir, yang ternyata terjadi lebih cepat.
Tuduhan merebak tahun 2013 ketika mantan agen ASIS (kini dikenal dengan Saksi K) membeberkan jika Australia telah memata-matai pejabat Timor Leste selama negosiasi perjanjian CMATS.
Timor Leste segera menuntut kasus tersebut dan meminta sidang di Den Haag menantang kesepakatan yang dikatakan ingin dilaksanakan atas niat baik.
Australia malu dengan pemaparan tersebut, tapi berniat mempertahankan perjanjian dan fokus dalam perjanjian pembagian hasil.
Namun, Timor Leste berargumen jika sumber daya minyak dan gas di Laut Timor akan ada di sisi lain garis tengah dan kemudian mereka mendorong batasan permanan ditarik antar dua negara.
Saat hubungan memburuk, kunjungan kementerian menurun dalam 5 tahun.
Karena Australia telah meninggalkan pengadilan internasional sebagai upaya menyelesaikan batas maritim tahun 2002, Timor Leste hanya punya satu pilihan terakhir.
Tahun 2016, mereka mengawali penggunaan proses konsiliasi UNCLOS: mediasi wajib tidak mengikat antara negara yang sedang bersengketa secara maritim.
Panel konsiliasi terdiri dari 5 hakim menemukan kesepakatan CMATS dalam menentukan batas maritim terbilang invalid.
Hal ini meruntuhkan kebijakan luar negeri Australia yang dibangun puluhan tahun fokus kepada mempertahankan klaim mereka di Laut Timor sejalan dengan kesepakatan perbatasan Indonesia-Australia.
Australia bisa saja berusaha keras karena temuan pengadilan itu tidak mengikat.
Tetapi pada titik ini, oposisi Partai Buruh berargumen bahwa perbatasan laut dengan Timor-Leste harus dinegosiasikan kembali sesuai dengan hukum internasional, memberikan tekanan tambahan pada pemerintah untuk menyelesaikan perselisihan tersebut.
Perselisihan terpisah atas klaim China di Laut China Selatan, yang juga diselesaikan pada tahun 2016 , juga membuat posisi Australia semakin tidak dapat dipertahankan.
Dunia mendesak China untuk menghormati putusan pengadilan maritim internasional, sehingga akan sulit bagi Australia untuk tidak melakukan hal yang sama.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini