Intisari-online.com - Pada tahun 1977, setahun lebih setelah pendudukan Indonesia di Timor Leste pada 7 Desember 1975, situasi Timor Leste cukup menyedihkan.
Didokumentasikan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor Leste, invasi dan perlawanan kuat kelompok Fretilin, disertai pelanggaran HAM parah, termasuk pembantaian terjadi.
Setelah kejadian tersebut, sejumlah besar orang Timor melarikan diri ke wilayah yang dikendalikan Fretilin.
Indonesia dianggap menghancurkan tanaman dan menargetkan persediaan makanan mengarah pada peningkatan privatisasi dan hilangnya nyawa akibat kelaparan.
Dalam hal ini kekejaman yang dilakukan Indonesia ditutupi oleh Australia, karena negeri kangguru memiliki hubungan mesra dengan pemerintahan Orde Baru, Presiden Soeharto.
Soeharto dianggap penting oleh pemerintahan Fraser, untuk memerangi Partai Komunis di Indonesia.
Meskipun segala cara dilakukan termasuk menghilangkan ribuan nyawa hanya demi memberangus orang-orang komunis.
Sama seperti pemberangusan komunis di Indonesia, pendudukan di Timor Leste juga dianggap sebagai hal serupa.
Melalui Radio Australia dan sarana lainnya, setelah penyatuan Vietnam, dan jatuhnya Laos dan Kamboja ke dalam rezim Marxis tahun 1975.
Pemerintah Fraser mendukung segala cara penghancurkan Komunis, karena bertentangan dengan ideologi Barat.
Tujuan ini juga didukung Amerika dan melihat Indonesia sebagau pusat dari tujuan itu di Asia Tenggara.
Keinginan untuk merundingkan kesepakatan untuk memungkinkan eksploitasi sumber daya minyak Laut Timor memberikan dorongan lebih lanjut untuk posisi ini.
Bantuan militer kepada Indonesia terus berlanjut setelah invasi, termasuk penyediaan pesawat Nomad, yang digunakan di Timor Timur.
Dalam konteks inilah James Dunn, mantan perwira intelijen militer dan diplomat yang pernah menjadi konsul di Timor Portugis pada awal 1960-an, menerbitkan The Dunn Report on East Timor pada Februari 1977.
Laporan tersebut, berdasarkan wawancara yang dilakukan Dunn dengan para pengungsi Timor-Leste.
Baca Juga: Tak Berguna, Proyek Super Mahal Timor Leste Ini Justru Bikin Negara Masuk Jebakan Utang China
Di Portugal, laporan rinci tentang pelanggaran hak asasi manusia yang parah, termasuk pembantaian, kekerasan seksual, kelaparan yang disengaja, dan pelanggaran lainnya.
Dunn menyimpulkan bahwa setidaknya ada 100.000 kematian adalah "kredibel" karena pembunuhan yang meluas di pegunungan.
Pemerintah Fraser dan Departemen Luar Negeri (DFA) menyambut laporan itu dengan cemas.
Meskipun pada tahap itu pemerintah Fraser belum mengakui penggabungan TimorLeste ke dalam Indonesia, hal itu berada pada jalur yang tidak ambigu untuk melakukannya.
Reaksi domestik dan internasional terhadap Laporan Dunn merupakan ancaman, dan tujuannya untuk mendukung dan melindungi rezim Suharto di arena internasional.
Oleh karena itu, pemerintah Fraser berusaha untuk secara terbuka menyangkal realitas situasi di Timor Leste dan untuk menetralkan pekerjaan Dunn dan aktivis lainnya.
Menanggapi pertanyaan di parlemen tentang laporan pada 16 Maret, Menteri Luar Negeri Andrew Peacock mengabaikan tuduhan yang sebenarnya.
Baca Juga: Budaya Negara Timor Leste dari Olahraga hingga Wawata Topu yang Terkenal
Ia menekankan kurangnya status resmi laporan tersebut, dan memperingatkan agar tidak membiarkan masalah tersebut menciptakan "kesalahpahaman" dengan Indonesia.
Pejabat DFA juga menunjukkan bias secara refleks mendukung rezim Suharto dan menolak kritik terhadapnya.
Meskipun laporan tersebut didasarkan pada kesaksian langsung dari saksi mata yang telah menyatakan kesediaan untuk berbicara kepada pertanyaan internasional.
Notasi pada salinan laporan DFA oleh petugas kedutaan Jakarta Woolcott dan Hogue menggambarkannya sebagai "desas-desus."
Namun, pada awal 1977, Dunn menyampaikan pesannya ke sejumlah negara Eropa, termasuk Prancis, Inggris, Swedia, Belanda, dan Portugal, serta ke Amerika Serikat.
Di setiap media, dia mendapat perhatian media dan diterima di tingkat tinggi, termasuk oleh pejabat senior kementerian luar negeri di Belanda, Prancis, dan Swedia, anggota parlemen terkait di Inggris, dan rekan mereka di Kongres AS.