Tak Mudah Pulih dari Trauma Tsunami Aceh 2004, Jadi, Angkat Topi untuk Para Relawan!

Tim Intisari

Editor

Bukan perkara mudah menghilangkan trauma Tsunami Aceh 2004. Dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk memulihkannya (U.S. Navy via Wikipedia Commons)
Bukan perkara mudah menghilangkan trauma Tsunami Aceh 2004. Dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk memulihkannya (U.S. Navy via Wikipedia Commons)

Dua puluh tahun yang lalu, tepat sehari setelah Natal, Aceh diguncang tsunami dahsyat. Tak terhitung anak-anak yang kehilangan orangtua dan terganggu jiwanya. Bagaimana nasib mereka setelah itu?

Penulis: Irwansyah Putra untuk Majalah Intisari edisi Januari 2013, tayang kembali dengan beberapa penyesuaian

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Gempa tektonik berkekuatan 8,9 SR yang berpusat di Samudra Hindia (2,9 Lintang Utara dan 95,6 Bujur Timur) itu menewaskan lebih dari 230.000 orang. Tak hanya Aceh yang menjerit, Indonesia dan dunia pun menangis.

20 tahun berlalu sudah. Kini, Aceh telah bangkit dari dukanya.

Meski begitu, mereka tak akan pernah melupakan salah satu tsunami terdahsyat yang pernah terjadi di muka Bumi itu. Terutama anak-anak, yang mengalami langsung bencana dan kehilangan orang-orang tercintanya.

Nazar, misalnya, yang kala bencana terjadi masih duduk di kelas V SD. Di otaknya masih terekam jelas memori pahit tsunami.

Sampai kapan pun, dia tak bisa melupakannya. Pada Minggu pagi itu (26/12/04), seperti biasanya bocah yang tinggal di Desa Syiah Kuala, Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh, tersebut menghabiskan waktu dengan menonton film kartun di televisi.

Dia tidak pernah menyangka hari itu akan menjadi hari terakhirnya menikmati hari libur bersama ayah, ibu, kakak, dan adiknya.

Saat sedang asyik menonton, cerita Nazar, dia merasakan getaran hebat yang menggoyang rumahnya yang hanya berjarak sekitar tiga kilometer dari bibir pantai Kuta Malaka. Dia bersama keluarganya pun berhamburan ke luar rumah.

"Kami semua keluar dan berkumpul di halaman rumah. Saya melihat semua rumah di sekitar rumah kami bergoyang-goyang," kenang Nazar.

Selang beberapa menit, getaran gempa itu berhenti, Nazar hanya terduduk di tanah sambil memperhatikan tingkah orang-orang di sekitarnya yang panik usai diayak gempa.

Belum habis panik itu reda, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari lautan. Seluruh warga berhamburan meninggalkan perkampungan menjauh dari pantai.

Gelombang merambat ke permukiman begitu cepat. Keluarga Nazar tak sempat berlari jauh. Ayah, ibu, dan seluruh anggota keluarga Nazar memilih menaiki sebuah perahu yang tertambat di belakang rumah.

"Kami semua naik perahu, tapi perahu itu kemudian terbalik. Kami semuanya hanyut dibawa air. Saya tidak ingat lagi setelah digulung air," katanya.

Nazar selamat dari tsunami setelah ditemukan bergantungan di sebuah pohon di Desa Tibang yang berjarak sekitar empat kilometer dari rumahnya.

"Yang selamat hanya saya dan satu orang kakak saya. Ayah, ibu, kakak dan dua orang adik saya tidak ditemukan," kata Nazar yang ketika diwawancara oleh Intisari berusia 19 tahun, bertepatan dengan 8 tahun Tragedi Tsunami Aceh.

Takut melihat laut

Kisah pilu tersebut sangat memukul Nazar. Meski kini telah lancar menceritakan tiap detail peristiwa itu, dia tak bisa menutupi rasa traumanya.

Saat bercerita, kadang-kadang Nazar menarik napas dalam-dalam. Dia juga mengaku trauma dengan gempa.

"Kalau ada gempa, saya langsung pergi dari rumah, takut kalau terjadi tsunami lagi. Biarpun getarannya kecil tapi saya lari dulu dari rumah, kalau tidak ada tsunami baru nanti pulang lagi," kata Nazar yang setelah lulus SMA meneruskan pendidikan di salah satu perguruan tinggi swasta di Kota Banda Aceh.

Selain trauma dengan gempa, Nazar juga takut melihat laut. Untuk mengobati traumanya itu, dia mencoba kembali menikmati pantai.

"Dulu setelah bencana tsunami, saya tidak berani ke pantai. Saya sangat takut, tapi sekarang saya sudah berusaha untuk tidak takut lagi," katanya.

Usai bencana, Nazar sempat mengungsi di kawasan Aceh Besar dan tinggal di salah satu tempat penampungan yang disediakan salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Di sana, dia disekolahkan oleh LSM tersebut hingga kemudian pulang kembali ke sanak saudaranya di kawasan Kajhu, Aceh.

Hingga kini, dia terus berupaya untuk tegar dan bangkit meski mengaku masih membutuhkan dukungan saudara-saudara, lembaga, dan pemerintah.

Berbeda dengan Nazar, Haslinda (ketika diwawancara Intisari pada 2013 lalu berusia 18 tahun) lebih beruntung. Saat tsunami menerjang pada delapan tahun silam, dia selamat dengan cara mengamankan diri di lantai dua rumahnya di kawasan Punge Banda Aceh.

Meski tidak ada anggota keluarga intinya yang hilang dalam musibah itu, Haslinda mengaku tak bisa melupakan peristiwa itu. "Kalau ada gempa sekali-kali, saya takut sekali. Khawatir kalau terjadi tsunami lagi," ujarnya.

Melupakan peristiwa bencana dan teringat kepada orang-orang terdekat bukan hal yang mudah. Banyak orang yang butuh waktu panjang untuk memulihkan dirinya dari trauma.

"Saat ini, saya berupaya untuk melupakan peristiwa delapan tahun lalu. Banyak orang yang membantu kami setelah bencana tsunami. Saya pasrah dan tawakal,” kata Haslinda.

Nazar, salah satu korban selamat Tsunami Aceh 2004. Butuh waktu bertahun-tahun bagi Nazar untuk berani kembali menengok laut (Irwansyah Putra/Intisari)
Nazar, salah satu korban selamat Tsunami Aceh 2004. Butuh waktu bertahun-tahun bagi Nazar untuk berani kembali menengok laut (Irwansyah Putra/Intisari)

Cerdik dalam merayu

Dodi Sanjaya, salah seorang relawan dan pendamping di Yayasan Kita (Yakita), mengaku telah berjuang sekuat tenaga untuk membantu anak-anak korban tsunami. Pada awal masa tanggap darurat, Dodi cs menyediakan tempat bermain bagi anak-anak malang tersebut.

"Kami mengajari anak-anak korban tsunami bermain musik dan menggambar. Sebenarnya, itu hanya untuk membuat mereka tidak larut dalam kesedihan dan dapat ceria kembali," kata Dodi.

Tidak mudah untuk mendampingi anak-anak yang baru saja kehilangan orangtua dan orang-orang terdekatnya. Mereka trauma dan harus dirayu dengan telaten agar mau belajar dan bermain bersama.

"Kadang-kadang ada anak-anak yang terus-menerus menangis, ada yang termenung sendirian. Kita harus punya banyak akal merayu mereka," ujarnya.

Nurjannah Nitura, salah seorang psikolog di Banda Aceh, mengatakan bahwa anak-anak korban tsunami banyak yang mengalami post trauma stress disorder atau gangguan kesehatan mental akibat peristiwa yang mengerikan.

Mereka sering ketakutan seakan-akan bencana tsunami tersebut akan terulang kembali.

"Misalnya ketika terjadi gempa dengan skala yang kecil, mereka akan ketakutan. Ini juga salah satu dari belum sembuh totalnya trauma akibat bencana awal. Istilahnya, traumanya belum didaur ulang," ujarnya.

Menurut Nurjanah, sebenarnya cukup banyak lembaga dan organisasi dunia seperti Unicef yang membantu memulihkan anak-anak Aceh dari trauma akibat bencana. Tapi, pendekatan yang dilakukan berbeda-beda.

Ada yang menggunakan pendekatan lewat bermain. Ada juga yang melakukan pendekatan kearifan lokal.

Meski begitu, anak-anak Aceh tergolong memiliki ketahanan mental yang kuat. Mereka dapat segera pulih dari trauma dari bencana dahsyat itu walaupun belum total.

"Dari hasil penelitian-penelitian itu (lembaga-lembaga asing), anak Aceh memiliki ketahanan mental yang kuat karena faktor dukungan dari lingkungan masyarakat yang kuat, juga faktor keagamaan yang kuat," kata Nurjannah.

Peran Pemerintah

Pihak pemerintah juga tak mau ketinggalan. Pemkot Banda Aceh, misalnya. Wakil Walikota Banda Aceh ketika itu, Hj Illiza Sa’aduddin Djamal, mengatakan, setelah bencana yang meluluhlantakkan kota, Pemkot bekerja sama dengan LSM dan organisasi untuk memberikan layanan konseling trauma.

Langkah tersebut diyakini mampu menanggulangi stres dan depresi berat, baik itu orangtua maupun anak-anak. Konseling trauma dapat membantu korban mengatur emosinya sehingga bisa menerima kenyataan hidup.

"Alhamdulillah saat ini anak-anak korban tsunami di Aceh pada umumnya sudah tidak lagi mengalami trauma yang hebat, bahkan mereka tidak takut terhadap laut dan kejadian saat bencana bencana sudah pulih," katanya.

Tapi mereka kadang-kadang masih mengenang dan teringat dengan orang terdekat yang menjadi korban bencana itu.

"Masyarakat Aceh termasuk anak-anak sejak dari kecil sudah diajarkan nilai-nilai spiritual. Jadi, mereka memegang teguh sifat tawakal menyerahkan semua kepada Allah," terang Illiza.

Selain memberikan layanan konseling trauma, Pemkot Banda Aceh ketika itu juga terus berupaya menyosialisasikan sarana dan prasarana penyelamatan dan evakuasi saat terjadi bencana dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat.

Mereka membuat taman dan tempat bermain sehingga warga, terutama korban tsunami dapat terhibur.

Bersatunya seluruh komponen masyarakat dalam mengusir problem trauma tsunami memang mulai membuahkan hasil. Setelah delapan tahun sejak bencana itu terjadi, anak-anak Aceh sudah terlihat tak berduka lagi, meskipun tentu saja tidak akan pernah bisa melupakan peristiwa memilukan tersebut.

Artikel Terkait