Intisari-online.com -Satu minggu setelah pengeboman Israel di Gaza, setidaknya 192 warga terbunuh termasuk 58 anak kecil.
Dilaporkan dari Middle East Monitor, kantor berita AP dan Al Jazeera juga diratakan dengan tanah.
Di Mesir, otoritas mengisukan instruksi kepada media untuk fokus kepada kekerasan Israel di Yerusalem dan Gaza.
Diksi yang dipakai adalah "perlawanan Palestina", dan mereka diminta menulis perlawanan itu dengan arah positif.
Sholat Jumat lalu oleh Imam Ahmed Omar Hashim meminta Arab dan pemimpin Muslim untuk berhenti diam saja dan menyelamatkan Palestina.
Khotbah sholat Jumat itu disiarkan di seluruh saluran berita pro-rezim.
Arahan yang berbeda beredar luas di media sosial WhatsApp yang menyebar oleh para intelijen dan editor media besar di tahun 2020.
Pesan yang beredar di WhatsApp meminta mereka untuk menyebut 'perjanjian abad ini' (DOC) sebagai 'rencana perdamaian' daripada DOC, yang dikatakan sudah dilihat oleh proyek arahan Amerika untuk mengamankan kepentingan Israel.
Tahun 2019, media pemerintah menyelesaikan animo terhadap warga Palestina untuk melegalkan peningkatan kerjasama keamanan antara Mesir dan Israel.
Selain itu juga mempelopori kampanye kotor melawan Ramy Shaath, pendiri pegerakan BDS dari Mesir, untuk melegalkan penahanannya.
Dalam beberapa hari, pengamat mencatat pemerintah Mesir memang menyetir retorika mereka menjadi belokan mendadak.
Di tengah toleransi atas solidaritas Palestina yang subur oleh pemerintah penerus Mesir, sudah rahasia umum jika bukan itu kepentingan utama rezim yang saat ini memimpin Mesir.
Saat warga tewas dan terluka membanjiri Rumah Sakit Shifa di Gaza saat pengeboman Israel di Gaza, tahun 2018 lalu Kementerian Kesehatan Palestina memanggil Mesir meminta disumbangi obat ke RS di Gaza.
Kemenkes Palestina juga meminta kru medis dan ahli bedah memindahkan yang terluka ke RS di Mesir.
Turki adalah negara yang menjawab panggilan ini, tapi ketika pesawat mereka sampai untuk memindahkan korban-korban, otoritas Mesir memblokir mereka mendarat di bandara Mesir.
Namun tidak kali ini.
Senin kemarin 17/5/2021 tiga warga Palestina yang terluka sampai di Sinai Utara.
Tiga RS di dalam Sinai Utara telah disiapkan untuk merawat yang terluka.
Ada 50 ambulans di Rafah yang dipakai untuk memindahkan pasien dan Mesir telah mengirim 15 mobil penuh bensin dan 13 berisi makanan.
Dokter di Gaza mengatakan jika Mesir telah perbolehkan 35 ahli bedah dan 17 truk berisi peralatan medis untuk berangkat ke Gaza.
Baca Juga: Dukung Mati-matian Sejak Israel Berdiri, AS Tiba-tiba Sebut Tidak Dapat Mendukung Israel Selamanya
1000 dokter dari Mesir telah didaftarkan menjadi relawan dengan Perhimpunan Medis Mesir tapi belum ada yang masuk ke Gaza.
Analis melihat perubahan Mesir ini adalah cara Kairo memainkan posisinya sebagai mediator utama di wilayah itu terutama dengan Israel dan Palestina.
Mesir telah mengalahkan Turki atau negara-negara yang telah normalisasi hubungan dengan Israel, terutama Uni Emirat Arab (UEA).
Imam Ahmed yang tinggal di Sinai, mengatakan jika ini semua adalah upaya Presiden Mesir Abdel Fattah Al-Sisi agar tetap relevan.
Ini juga upayanya agar tetap bersekutu dengan administrasi Biden.
"Jangan lupa jika Sisi berkuasa karena Israel dan ia bisa lakukan apapun yang ia suka dengan warga Mesir karena ia mitra, sekutu, dan teman Israel."
Meski retortika pemerintah demikian, beberapa warga Mesir tunjukkan jika keadaan di lapang tidak berubah banyak.
Jumat lalu, Omar Morsi mengatakan kepada ibunya ia akan bergabung dengan jamaah sholat Jumat di Masjid Omar Makram sebeum ke alun-alun tunjukkan solidaritasnya dengan warga Palestina di Gaza dan Sheikh Jarrah.
Pasukan keamanan menahan Omar karena dia mengibarkan bendera, beberapa jam kemudian mereka juga menahan jurnalis wanita Nour Al-Huda, yang juga membawa bendera Palestina dan sorban di sekitar lehernya.
Nour dilepaskan beberapa jam kemudian tapi Omar masih ditahan sampai kemarin dibebaskan.
Otoritas juga menahan salah satu dokter yang menjadi relawan merawat warga Palestina yang terluka oleh serangan udara, karena dituduh membeberkan rahasia militer.
Bendera-bendera Palestina telah dirampas dari para pedagang di jalanan Kairo oleh polisi.
Sementara itu warga Mesir di sekolah, universitas dan di jalan akan sekali-sekali melaksanakan protes teratur mendukung Palestina, selama pengeboman itu, di bawah rezim yang saat ini membasmi semua itu.
Demonstrasi terakhir adalah 2017 ketika sekelompok aktivis, jurnalis dan murid universitas berkumpul di tangga Gabungan Jurnalis memprotes pemindahan kedubes AS ke Yerusalem.
Mereka dibekuk dan ditangkap, beberapa harus menjalani 2 tahun penjara.
Seberang Jalur Gaza adalah tempat kota Rafah, Mesir, dulunya pernah berdiri.
Baca Juga: Menguak Cara Kerja Terowongan Bawah Tanah Gaza yang Jadi Jalur Penyelundupan Senjata ke Tangan Hamas
Kota itu menjadi puing-puing oleh serangan militer Mesir melawan populasi lokal.
Setidaknya 10 ribu pasukan dipaksa melarikan diri dari rumah mereka.
Para "pejuang perlawanan" di media pemerintah telah diajak untuk dibicarakan sebagai teroris yang mendukung afiliasi Daesh lokal di Sinai, sisi perbatasan Mesir.
Nasib Sinai Utara menjadi pengingat apa yang mampu dilakukan pemerintah Mesir ke warga mereka sendiri.
Baca Juga: Luluh Lantak Akibat Konflik Israel dan Palestina, Joe Biden Janji Bangun Ulang Gaza, Ini Sarannya!
Sinai Utara juga menimbulkan pertanyaan serius mengenai apakah pemerintah melakukan perubahan narasi yang jujur.
Ketika fakta di lapangan benar-benar berubah barulah mungkin yakin Mesir adalah mediator jujur dengan niat baik.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini