Intisari-Online.com - Disepakati pada 7 Mei 1949 antara Indonesia dan Belanda, apa yang menjadi latar belakang Perjanjian Roem-Royen?
Perjanjian Roem-Royen merupakan salah satu upaya untuk menyelesaikan sengketa kedaulatan Indonesia dan Belanda.
Setelah Indonesia merdeka, terjadi konflik Indonesia-Belanda, di mana Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia dan ingin kembali berkuasa di bekas wilayah jajahannya.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik ini, namun terus menemui kegagalan.
Bahkan, perjanjian yang ditandatangani sebelumnya, yaitu Perjanjian Renville, dilanggar oleh Belanda.
Belanda secara sepihak tidak lagi terikat dengan perjanjian Renville pada 1 Desember 1948. Kemudian pada 19 Desember, ia melancarkan serangan militer ke ibukota Indonesia di Yogyakarta, yang dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II.
Aksi Belanda tersebut dikecam dunia. Akhirnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun menginisiasi perundingan lain untuk menyelesaikan konflik tersebut yang menghasilkan perjanjian Roem Royen.
Itulah yang melatarbelakangi diselenggerakannya Perjanjian Roem-Royen. Lalu, apa yang disepakati dalam perjanjian ini?
United Nations Commission for Indonesia (UNCI) merupakan komisi PBB yang membawa perwakilan kedua negara ke meja perundingan pada 17 April 1949.
UNCI merupakan komisi yang melanjutkan tugas komisi sebelumnya, Komisi Tiga Negara (KTN), sekaligus mengawasi penyerahan wilayah Indonesia ke pemerintah republik.
Komisi tersebut melapor secara rutin ke Dewan Keamanan PBB.
Tugas UNCI juga memantau pemilu dan menjamin kebebasan berkumpul, berbicara, dan pers.
UNCI dibentuk setelah Komisi Tiga Negara dianggap gagal mendamaikan Indonesia dan Belanda dengan Perjanjian Renville.
Dalam perundingan yang menghasilkan Perjanjian Roem-Royen, delegasi Indonesia diketuai Mohammad Roem. Sementara Belanda diwakili Herman van Roijen (Royen).
Nama tokoh yang mewakili kedua negara itulah yang kemudian menjadi nama perjanjian tersebut.
Perundingan yang dimulai pada 14 April 1949 ini berlangsung alot.
Alotnya Perjanjian Roem Royen karena perundingan ini tidak pernah memberikan kepuasan yang cukup antara kedua belah pihak.
UNCI pun mengusulkan untuk menghadirkan Wakil Presiden Mohammad Hatta dari pengasingan di Bangka.
Selain kehadiran Mohammad Hatta, kehadiran Sri Sultan Hamengkubuwono IX begitu penting untuk Indonesia dalam perundingan ini, karena pernyataannya yang sangat menguatkan Indonesia.
Saat itu Sri Sultan Hamengkubuwono IX mengatakan 'Jogjakarta is de Republiek Indonesie' (Yogyakarta adalah Republik Indonesia).
Tokoh yang terlibat diperjanjian Roem Royen dari Indonesia antara lain Ali Sastroamijoyo, Dr. Leimena, Ir. Juanda, Prof. Supomo, Latuharhary dan Sultan Hamengkubuwono IX.
Sementara, tokoh dari Belanda yang dikirimkan antara lain Blom, Jacob, dr. Gede, dr. Van, Dr. Koets, Dr. Gieben dan Van Hoogstratendan.
PBB sendiri mengirimkan wakilnya yakni Merle Cochran dari Amerika Serikat sebagai ketua, Critchley dari Australia serta Harremans yang berasal dari Belgia.
Setelah melalui perundingan yang berlangsung alot, dihasilkan beberapa poin kesepakatan antara Indonesia dan Belanda.
Adapun hasil perjanjian Roem-Royen adalah sebagai berikut:
Setelah mendudukkan Indonesia dan Belanda dalam perundingan Roem-Royen, selanjutnya UNCI memainkan peranan penting dalam membawa kedua pihak ke dalam Konferensi Meja Bundar (KMB).
Konferensi tersebut yang pada akhirnya mengakhiri sengketa kedaulatan Indonesia, dengan Belanda bersedia mengakui kemerdekaan Indonesia.
Perjanjian Roem-Royen sendiri menjadi kesepakatan yang mengantarkan Indonesia lebih dekat dengan peristiwa pengakuan kedaulatan.
Setelah penandatanganan perjanjian ini pula, Soekarno dan Hatta dibebaskan dan kembali ke Yogyakarta pada 6 Juli 1949.
(*)