Dalam perjanjian itu, China bisa membatalkan kontrak jika tidak setuju dengan kebijakan politik negara peminjam, atau dalam kasus memburuknya hubungan diplomasi.
Studi itu juga menemukan bahwa 30 persen kontrak utang China mensyaratkan negara peminjam untuk menyimpan uang jaminan di bank milik pemerintah China.
Bias anti-China?
Praktik pinjaman gelap dari China dikhawatirkan akan marak menyusul krisis ekonomi yang dipicu pandemi corona.
Negara-negara miskin akan terpaksa mengambil kredit bermasalah demi menyelamatkan perekonomian.
"Mengingat risiko yang besar, syarat dan kondisi kontrak utang China menjadi kepentingan dunia internasional,” demikian lanjut para peneliti.
Tapi tidak semua menyetujui anggapan bahwa Beijing adalah kreditur lalim.
"Narasi ‘diplomasi jebakan utang' menggambarkan China sebagai kreditur yang jahat dan negara seperti Sri Lanka sebagai korban,” tulis Deborah Bräutigam dari Johns Hopkins University dan Meg Rithmire dari Harvard Business School, dalam sebuah artikel untuk The Atlantic.
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Muflika Nur Fuaddah |
KOMENTAR