Intisari-online.com -Australia dihadapkan pada keadaan kurang menguntungkan setelah China melakukan sanksi kepada negara tersebut.
Sanksi itu berimbas pada pemblokiran produk Australia yang diekspor ke China.
Batu bara, bijih besi, gandum, barley, bahkan daging Australia sudah ditolak oleh China.
Meski kecewa, Australia tetap yakin jika China masih akan kembali lunak dan menerima produk impor dari Australia lagi.
Namun rupanya rencana China tidak serepot itu.
Dilansir dari South China Morning Post, China disebut-sebut sudah mendapatkan negara pemasok bijih besi yang bisa menggantikan kesetiaan Australia.
Pegunungan Simandou, yang terletak jauh di wilayah tenggara Guinea adalah rumah dari cadangan bijih besi berkualitas tinggi.
Melihat tambang mentah itu, China langsung tergiur dan yakin hal itu yang akan menghentikan ketergantungan mereka kepada impor Australia.
Proyek ini masuk ke dalam megaproyek Belt and Road Initiative di benua Afrika, yang saat ini menjadi obyek penting bagi China.
Diperkirakan proyek ini akan menghasilkan sebanyak 2.4 milyar ton bijih besi grade di atas 65.5%.
Namun pakar mengatakan kiriman dari Guinea memang akan menambah keragaman bijih besi yang dibeli China, tapi tidak bisa menghapuskan Canberra sepenuhnya.
Australia sendiri adalah sumber dari 60% impor bijih besi China.
Tambang Simandou sendiri juga masih harus diperbaiki.
Meski kehadiran bijih besi komersial kelas unggulan di sana dikonfirmasi tahun 2002, tambang tersebut belum dikembangkan.
Hal ini karena tidak ada jalur kereta untuk memindahkan simpanan bijih besi ke laut untuk diekspor.
Proyek ini juga terhalang dengan ketidakpastian politik dan jebakan hukum.
Salah satu masalah paling klasik di negara-negara Afrika adalah ketidaksepakatan siapa yang akan mengembangkan simpanan bijih besi itu.
W Gyude Moore, rekan senior kebijakan di Pusat Perkembangan Global dan mantan menteri ketenagakerjaan Liberia, mengatakan meskipun bijih besi Guinea salah satu bijih besi dengan kualitas terbaik, ada masalah besar yang membayanginya.
"Masalahnya selalu adalah tidak adanya bangunan untuk membantu ekstraksi bijih besi, jalur kereta trans-Guinea dan pelabuhan laut dalam di Conakry."
Firma swasta telah berulang kali menjelaskan biaya infrastruktur dibandingkan harga komoditasnya, ujar Moore.
Namun tahunn 2019 kemarin sudah banyak perusahaan mulai terlibat dalam pembangunan tambang tersebut.
Konsorsium dukungan China, SMB-Winning, memenangkan kontrak sebesar 15 miliar Dollar untuk mengembangkan blok 1 dan 2, setelah miliuner Israel Beny Steinmetz mengakhiri ketegangan 7 tahun dengan pemerintah Guinea dengan melepaskan klaimnya pada separuh tambang tersebut.
Raksasa tambang Anglo-Australia Rio Tinto juga memiliki sebagian yaitu 45% dari blok 3 dan 4.
Kemudian firma China Chinalco memiliki hanya 40% dan sisanya dimiliki pemerintah Guinea.
Proyek ini diharapkan selesai tahun 2025.
Konsorsium SMB-Winning, yang ingin mengirimkan bijih besi dari Guinea dalam 5 tahun, mengajak firma maritim Singapura Winning Shipping, perusahaan logistik Guinea-Perancis UMS, produsen aluminium China Shandong Weiqiao dan pemerintah Guinea sendiri.
Kemudian produsen baja terbesar China, Baowu Group, juga merencanakan untuk berinvestasi di tambang tersebut menurut laporannya.
Conakry, ibukota Guinea, tahun lalu menyetujui rencana oleh konsorsium SMB-Winning untuk membangun jalur kereta api 650 km dan pelabuhan di laut untuk memudahkan pengiriman bijih besi tersebut.
China mendukung proyek Simandou ketika Menteri Industri mengatakan Beijing akan mengembangkan satu atau dua tambang bijih besi luar negeri yang signifikan tahun 2025.
Dalam rencana lima tahun untuk sektor baja, China mengatakan tujuannya adalah menyediakan sumber baja sebanyak 20% dari perusahaan luar negeri.
Kini pakar yakin dengan ketegangan dengan Australia, China akan mengebut bantuan untuk pembangunan tambang tersebut.
Namun tambang Simandou yang paling optimalnya menghasilkan 200 juta ton per tahunnya, akan masih kalah dengan tambang Australia Barat yang bisa menghasilkan lebih dari 800 juta ton per tahun.
Bijih besi juga terbilang menghubungkan Australia dan China, yaitu negara pengekspor terbesar dihadapkan dengan negara pengimpor terbesar di dunia.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini