Penulis
Intisari-online.com -China sudah berhasil memenangkan perang dagang dengan Amerika Serikat.
Tentunya untuk sosok yang sudah memenangkan satu laga, memenangkan laga yang sama akan lebih mudah.
Namun bagi pakar agaknya hal itu tidak berlaku untuk China.
Mengutip opini oleh Clyde Russel kolumnisReuters, China malah mungkin akan kalah dalam perang dagangnya dengan Australia.
China sedang membayar biaya tinggi untuk upayanya menghukum Australia.
Melarang atau membatasi impor komoditas tertentu justru dihitung akan merugikan China sendiri.
Sementara itu Australia masih bertindak pintar menghindari ramifikasi finansial serius sejauh ini.
Mungkin mengejutkan bahwa otoritas di Beijing, yang sudah menyaksikan bagaimana perang dagang dilaksanakan oleh mantan Presiden AS Donald Trump justru menjadi senjata makan tuan untuk negaranya, akan mencoba hal yang sama untuk Australia.
Trump memulai perang dagang dengan cuitan di Twitter pada Maret 2018 saat administrasinya merampingkan tarif perang dagang terhadap barang-barang China.
Trump menulis "Perang dagang itu bagus dan mudah dimenangkan".
Ia memang benar, tapi secara berkebalikan dari yang ia harapkan, dan ternyata negara yang meluncurkan perang dagang justru menjadi yang kalah, dan negara target justru menjadi pemenang.
Batubara adalah target tertinggi China di ekspor Australia.
Beijing secara efektif melarang impor dari Australia sebagai bagian dari upayanya menekan Canberra dalam beberapa isu.
Isu tersebut antara lain seruan investigasi asal virus Corona dan larangan terlibatnya Huawei dari pengembangan jaringan 5G di Australia.
Impor China untuk batubara Australia telah runtuh, dengan data pelabuhan dan pelacakan kapal Refinitiv menunjukkan hanya 687 ribu ton dikirim Desember kemarin.
Angka itu turun drastis dari puncak impor 2020 pada Juni lalu yang mencapai 9.46 juta ton.
Namun data itu juga tunjukkan keseluruhan ekspor Australia tidak seluruhnya menderita.
Pada Desember Australia berhasil mengirimkan sebanyak 33.82 juta ton, dan Desember menjadi bulan terbaik dari angka pengiriman batubara itu di tahun 2020.
Permintaan terus meningkat dari Jepang, Korea Selatan dan Taiwan.
Australia juga rupanya berhasil mengirimkan batubara lebih banyak ke pelanggan lain seperti India, Vietnam dan Thailand.
Batubara menyimpan lebih dari ukuran volume saja, harganya juga bisa sangat berpengaruh dalam perang dagang dua negara.
Harga ini lama kelamaan membantu Australia dan melawan China.
Ekspor batubara Australia sudah bernilai mencapai 3.7 miliar Dollar Australia (39,5 Triliun Rupiah) Desember lalu, tertinggi sejak Mei tahun lalu, menurut data dari Biro Statistik Australia.
Harga patokan batubara termal Australia, Newcastle Weekly Index, seperti yang dinilai oleh agen pelaporan harga komoditas Argus, berakhir pada 87,52 Dollar per ton pada 22 Januari.
Harga itu naik 89% dari level terendah tahun 2020 di 46,37 Dollar yang dicapai pada bulan September.
Kenaikan harga batu bara melalui laut membuat China lebih mahal untuk membeli batu bara impor.
Pada gilirannya, hal itu memungkinkan harga domestik tetap tinggi karena mereka tidak menghadapi persaingan dari produsen luar negeri.
Harga batubara termal di Qinhuangdao telah turun dalam beberapa hari terakhir, berakhir pada 873 yuan (135,14 Dollar) per ton pada 26 Januari, turun dari level tertinggi baru-baru ini di 1.038 yuan.
Tetapi bahkan dengan penurunan baru-baru ini, patokan China masih sekitar 87% lebih tinggi dari level terendah tahun 2020 sebesar 467 yuan per ton dari Mei.
Angka ini jauh di atas kisaran 520-570 yuan yang diyakini lebih disukai oleh pihak berwenang karena memastikan tambang tetap menguntungkan tetapi biaya bahan bakar untuk utilitas tidak terlalu tinggi.
Keuntungan Australia juga tidak hanya dalam batubara saja, bahkan ekspor sereal meningkat juga pada Desember lalu.
China menerapkan tarif impor sebesar 80,5% untuk jelai Australia akhir Mei lalu, menjatuhkan perdagangan antara dua negara.
Namun saat petani jelai Australia hampir rugi karena itu, mereka berhasil mengganti pasar atau menanam tanaman lain.
China juga memiliki larangan tidak resmi untuk impor bijih besi dan konsentrat dari Australia.
Australia adalah penyuplai terbesar kelima untuk bijih besi bagi China.
Dengan ketersediaan bijih besi global yang sedikit China dipaksa untuk membayar lebih agar suplai terus ada.
Pada waktu yang sama pelelehnya harus membayar kurang dari biasanya untuk perawatan dan biaya lain, karena materialnya saja tidak ada.
Pembelajaran yang tidak dipetik China dari senjata makan tuan Donald Trump adalah, jika masih memerlukan barang yang mereka beri tarif mahal, maka mereka sendiri yang harus membayar lebih.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini