Penulis
Intisari-online.com -Amerika Serikat (AS) kembali mengincar perusahaan-perusahaan China untuk dimasukkan ke dalam daftar hitam mereka.
Salah satunya adalah Xiaomi, yang kemudian pada Jumat ini mengalami penurunan nilai saham.
Daftar hitam pada hari-hari terakhir Presiden Donald Trump berkuasa itu adalah penutup bagi empat tahun kebijakan diplomatik dan perdagangan agresif AS terhadap China di bawah Trump.
Dengan hanya enam hari sebelum Trump meletakkan jabatannya, AS membuat serangkaian pengumuman yang menargetkan perusahaan-perusahaan China, termasuk raksasa minyak CNOOC, Xiaomi, dan media sosial favorit TikTok.
Mengutip Channel News Asia, Xiaomi, yang tahun lalu mengambil alih posisi Apple sebagai produsen smartphone terbesar ketiga di dunia, adalah salah satu dari sembilan perusahaan baru yang Pentagon klasifikasikan sebagai "perusahaan militer Komunis China".
Cap tersebut berarti, investor AS tidak akan bisa membeli saham Xiaomi dan pada akhirnya produsen smartphone itu harus divestasi, kecuali Presiden AS mendatang Joe Biden membatalkan kebijakan Trump tersebut.
Xiaomi adalah salah satu perusahaan terbesar yang masuk daftar hitam sejauh ini dan sahamnya anjlok lebih dari 10% di Bursa Hong Kong pada Jumat (15/1) setelah pengumuman.
Raksasa chip AS Qualcomm adalah investor utama.
AS sudah lama melaksanakan hal ini terkait dengan perang dagang dua negara.
Perang dagang menjadi isu panas antara China dan AS dari tahun 2019 lalu.
Lantas apakah perang ini sudah menampakkan hasilnya?
Rupanya melihat neraca perdagangan dua negara lalu dibandingkan sudah tampak jelas siapa pemenang dari perang dagang China AS.
CNN melaporkan, China menjadi pemenang perang dagang.
Hal ini tercermin dari data surplus neraca perdagangan China yang meningkat di tahun lalu meskipun tengah terjadi pandemi Covid-19.
China yang merupakan negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia mencetak surplus perdagangan senilai US$ 78 miliar di bulan Desember 2020, menurut data resmi bea cukai China yang dirilis, Kamis (14/1).
Surplus perdagangan China secara keseluruhan di tahun 2020 mencapai rekor US$ 535 miliar, naik 27% dari 2019. Sementara itu, ekspor China naik ke level tertinggi sepanjang masa.
"Di tengah semua keributan tentang pemisahan dan de-globalisasi, agak tidak terduga, pandemi telah memperdalam hubungan antara China dan seluruh dunia," tulis Larry Hu, kepala ekonom China untuk Macquarie Capital, dalam sebuah laporan penelitian yang dikutip CNN.
Louis Kuijs, kepala ekonomi Asia di Oxford Economics, mengaitkan keuntungan China di perdagangan ini sebagian besar dengan pengelolaan pandemi corona di negara itu, yang meletus di kota Wuhan di China lebih dari setahun yang lalu.
Dia menambahkan, China diuntungkan dari banyaknya permintaan akan alat pelindung dan elektronik karena orang-orang di seluruh dunia bekerja dari rumah.
"Setelah pulih dari krisis Covid-19 sendiri, China terbuka untuk bisnis dan pandemi memicu permintaan besar di Amerika Serikat (AS) dan negara lain untuk barang terkait Covid-19," kata Kuijs.
Baca Juga: Ambisi Xiaomi Tahun 2021, Kalahkan Penjualan Apple dan Huawei
Hubungan perdagangan China dengan Amerika Serikat (AS) menjadi lebih tidak seimbang meski AS bersikap keras terhadap China.
Surplus perdagangan China dengan AS naik menjadi US$ 317 miliar pada tahun 2020, meningkat 7% dari tahun sebelumnya dan jumlah tertinggi kedua dalam catatan, menurut Iris Pang, kepala ekonom untuk China di ING.
Jumlah surplus neraca dagang itu hanya US$ 7 miliar di bawah level tahun 2018, ketika Presiden AS Donald Trump meluncurkan perang dagang dengan China.
"Dilihat dari lonjakan impor AS dari China pada tahun 2020, tampaknya adil untuk mengatakan bahwa perang perdagangan Trump dengan China telah gagal," kata Kuijs.
Kabar suplus perdagangan ini datang beberapa hari sebelum China mengumumkan angka produk domestik bruto (PDB) untuk akhir tahun 2020 yang kemungkinan menunjukkan hasil positif.
Analis memperkirakan, pertumbuhan ekonomi China akan meningkat lebih selama tiga bulan terakhir di 2020.
Analis yang disurvei oleh Reuters memperkirakan PDB China tumbuh 2,1% di tahun 2020.
"Karena China memainkan peran penting dalam banyak rantai pasokan dan tetap menjadi tempat yang secara fundamental sangat kompetitif untuk berproduksi, jauh lebih mudah diucapkan daripada dilakukan untuk 'memisahkan' darinya," kata Kuijs.
Namun, masa depan China bukannya tanpa tantangan.
Analis melihat, Presiden AS terpilih Joe Biden kemungkinan tidak akan membalikkan tekanan pada China setelah dia menjabat minggu depan.
"Pemerintah Biden akan mengambil pendekatan yang berbeda, kurang agresif dan lebih mantap ke China," kata Kuijs.
"Tapi secara politis tidak mungkin bagi Biden untuk menghapus tarif barang-barang China dalam waktu dekat."
Kamis kemarin Pentagon mengatakan "bertekad untuk menyoroti dan melawan strategi pengembangan fusi militer-sipil Republik Rakyat China" yang memungkinkannya mengakses teknologi kunci dan data keamanan.
Tindakan serupa telah AS lakukan terhadap perusahaan teknologi lain, termasuk Huawei dan raksasa chip SMIC, yang menghambat kemampuan mereka untuk mengimpor teknologi utama dan bersaing secara internasional.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini