Intisari-online.com -Sanksi China untuk Australia rupanya memiliki makna lebih dalam daripada sekedar melarang masuknya beberapa produk Australia.
Sanksi itu juga digunakan agar Canberra belajar 'lebih menghargai China'.
Meski begitu, para analis justru berkata keinginan China mungkin tidak akan tercapai.
Sengketa perdagangan itu memang sepertinya akan semakin parah.
Perang dagang ini merupakan upaya China untuk menghukum Australia serta memperingatkan negara lain.
Harapan China adalah tidak ada negara lain yang meniru tindakan Australia.
Media pemerintah China baru-baru ini laporkan jika China berniat untuk memperpanjang sanksi impor untuk batubara Australia.
Rekan senior di Institut Hudson di Washington, John Lee, mengatakan apapun niat Beijing, sanksi mereka bisa menjadi senjata makan tuan.
"China mencari cara menghukum Australia untuk mengambil keputusan tertentu dan memperingatkan negara lain dari mengambil kebijakan serupa," ujar mantan penasihat keamanan nasional Australia tersebut.
"Tapi aksi China telah timbulkan diskusi mendalam di antara para pemimpin pemerintahan dan pebisnis dunia mengenai perlunya keberagaman dan kurangi kebergantungan dengan China.
"Masalah untuk China adalah mereka perlu bekerjasama dengan perekonomian canggih ini untuk mencapai tujuan ekonomi mereka.
"Itu sebabnya, mereka layaknya menembaki diri mereka sendiri dalam jangka panjang nanti."
Hubungan kedua negara terus-terusan tegang sejak isu 2017, termasuk dalam urusan pengaruh Beijing di dunia, teknologi China dan perdagangan
Namun hal ini memburuk ketika Australia meminta investigasi mengenai asal usul virus Corona, membuat Beijing tidak dapat mempercayai rekannya itu.
Segera setelah itulah Beijing menerapkan kebijakan anti-dumping untuk jelai dan anggur Australia.
Hukuman lain juga diterapkan China untuk daging sapi, kayu, lobster, gula, kapas dan timah dari Australia.
Pemerintah China juga memperingatkan warganya untuk tidak bepergian atau belajar di Australia.
Sementara itu Agustus lalu, China menangkap jurnalis berkewarganegaraan China-Australia, Cheng Lei.
Lembaga penelitian Sydney, Lowy Institute, melakukan pemungutan suara dan temukan kepercayaan Australia kepada China adalah selalu rendah.
94% responden mengatakan mereka ingin Canberra kurangi ketergantungan pada ekonomi terbesar kedua di dunia.
Hanya 23% saja yang percaya pada China, mengatakan China bisa "bertindak penuh tanggungjawab di dunia."
Spesialis hubungan internasional dan China di Universitas New South Wales, Pichamon Yeophantong, mengatkaan Beijing menggunakan ketegangannya dengan Australia untuk menegaskan sentimen nasionalistik dan menjadikannya peringatan atas perilaku seperti itu.
Menurutnya, China tidak peduli dengan apa yang kebanyakan warga Australia pikirkan.
"Meningkatnya ketegangan dengan Australia melalui tarif dan hal lainnya dilihat sebagai cara bagi China untuk panduan jika perlu melakukannya lagi di masa depan," ujarnya.
"Beijing sedang mencoba menjadikan Australia contoh."
Sementara itu, jika klaim Beijing tentang larangan produk Australia memang benar untuk memperbaiki kualitas barang yang masuk ke negara mereka, kedua negara perlu untuk berbenah diri.
"Tidak ada perang dagang antara China dan Australia," ujar Yu Lei, rekan peneliti di Liaocheng University di provinsi Shandong, China.
"Larangan China dalam impor batubara China maksudnya untuk mengurangi emisi dan bagian dari panggilan kolektif dari negara Pasifik," ujarnya.
Pichamon mengatakan inti ketegangan itu sebenarnya adalah keengganan kedua belah pihak untuk mengesampingkan perbedaan mereka.
"Canberra perlu sadar jika mereka tidak bisa mengubah China dari luar dan taktik konfrontasi hanya membut Beijing sebal," ujarnya.
"Beijing juga perlu berlatih berhati-hati menggunakan kekuatan globalnya, jangan sampai membuat berang tetangganya sendiri."
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini