Penulis
Intisari-online.com -Konflik perang dagang Australia-China resmi berkobar setelah China menolak masuknya batubara Australia ke China.
Mitra dagang utama Australia mulai merasa dirugikan sejak 2018 lalu, sejak Australia menolak masuknya jaringan 5G dari Huawei China ada di Australia.
Akibatnya, China mulai terapkan sanksi atas barang-barang yang masuk dari Australia.
Kemudian pada akhir November lalu, sekitar 60 kapal pengangkut batubara Australia tidak diperbolehkan masuk ke China.
Negeri Panda menyebutkan jika batubara Australia memiliki masalah "kualitas lingkungan hidup" sehingga hanya tertahan di pelabuhan dan tidak diproses lebih lanjut.
Namun otoritas China tidak pernah menjelaskan alasan pasti dari penundaan masuknya batubara dari Australia itu.
Kemudian pada 24 November lalu, juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian, menjelaskan jika Bea Cukai China memantau analisis risiko atas kualitas batubara impor Australia, dan disebutkan batubara Australia tidak memenuhi standar lingkungan secara umum.
Selanjutnya diketahui jika China meningkatkan impor dari Mongolia dan Rusia.
Namun ada negara lain yang mendapat permintaan ekspor dari China.
Wall Street Journal menyebutkan untuk memenuhi kebutuhan batubara dalam negeri, China mendatangkan batubara dari negara tetangganya, Korea Utara.
Tentu saja banyak tanggapan kecaman yang didapatkan oleh China.
Korea Utara sampai saat ini menghadapi sanksi internasional atas majunya program nuklir yang mereka lakukan.
Kecaman internasional juga didapatkan China karena dianggap membantu Pyongyang menghindari sanksi, seperti laporan dari The Chosun Ilbo Rabu 9/12/2020.
Tidak tanggung-tanggung, dilaporkan jika total batubara yang dijual Korea Utara ke China mencapai antara 300 juta dollar AS (4,2 triliun Rupiah) sampai 410 juta dollar AS (Rp 5,7 triliun) di tahun ini saja.
Dari itu, diperkirakan oleh pemerintah Amerika Serikat (AS) jika Korea Utara mengekspor batubara sekitar 4,1 juta ton ke China sejak Januari sampai September lalu.
Hal ini sejalan dengan kronologi perang dagang China dengan Australia, dengan China sudah menolak masuknya batubara Australia sejak Februari 2019 lalu.
Secara keseluruhan sampai akhir 2019 ekspor batubara Australia yang ditolak China mencapai 12 juta ton.
Sementara itu, jumlah yang diperkirakan oleh AS tersebut sekitar 20 persen dari total batubara yang dijual Korea Utara ke China pada 2017 lalu, sebelum ekspor batubara Korea Utara dilarang Dewan Keamanan PBB.
Jika dihitung-hitung menggunakan harga batubara internasional sekitar 80 dollar AS (Rp 1,1 juta) hingga 100 dollar AS (Rp 1,4 juta) per ton, maka cuan yang didapatkan Korea Utara sebesar 300 juta dollar AS (Rp 4,2 triliun) sampai 410 juta dollar AS (Rp 5,7 triliun) dari penjualan batubara itu.
"Faktanya adalah China mempermudah mereka Korea Utara dalam mendapatkan aliran pendapatan," ujar salah satu pejabat Kementerian Dalam Negeri AS.
Namun sebenarnya sudah bukan berita baru mengenai ekspor batubara dari Korea Utara ke China.
Sudah lama negara tersebut mengekspor diam-diam batubara ke China lewat kapal asing yang memasuki pelabuhan Korea Utara.
Dikabarkan Sistem Identifikasi Otomatis telah dimatikan oleh kapal-kapal itu sebelum memasuki pelabuhan Korea Utara.
Kemudian ironisnya, kapal itu semakin berani memasuki pelabuhan Korea Utara di tengah pandemi virus Corona ini.
Bahkan pelabuhan China juga menjadi tembat berlabuh kapal-kapal Korea Utara, sampai berani mengibarkan bendera Korea Utara.
Ini menjadi bukti bahwa perdagangan ilegal antara China dan Korea Utara sudah lama merajalela.
Pemerintah China juga dicurigai AS atas kegiatan mempekerjakan sekitar 200 ribu pekerja Korea Utara dan mengimpor makanan laut atau mesin dari negara yang dipimpin Kim Jong-Un tersebut secara ilegal.
Seperti dijelaskan Mantan Wakil Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk Korea Utara, Alex Wong, yang menjelaskan bahwa pada 2019, pihaknya mengamati ada kapal bermuatan batubara dari Korea Utara ke China.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini