Penulis
Intisari-online.com -Ketegangan China dan Australia sedang berada di ujung tanduk.
Ketegangan memanas setelah China menolak datangnya batubara dari Australia.
Padahal China adalah negara tempat Australia membuang produksi batubara mereka.
Dengan produk batubara mereka ditolak, sudah banyak produk Australia yang ditolak mentah-mentah oleh China.
China sendiri tidak menutupi kebencian mereka atas Australia, dan dengan blak-blakan mengatakan jika penolakan produk Australia sebagai sanksi atas tuduhan Australia ke China.
Akibatnya, Australia sedang berjalan menuju kehancuran ekonomi mereka sendiri.
Melihat hal ini, sudah banyak diplomat menyarankan kepada Australia untuk memperbaiki hubungan dengan China.
Salah satunya adalah Conley Tyler, yang malah menyarankan Australia bergabung dengan program Belt and Road Initiative.
Hal ini ia lihat dari keberhasilan Jepang menghadapi China sebagai mitra dagang tanpa terlepas dari kritik-kritik Jepang kepada China.
Rupanya, ada alasan logis bagi para diplomat untuk menyarankan hal tersebut.
"Pertama, hal itu hanya simbolis saja dan tidak mengikat Australia kepada apapun," ujar diplomat cantik tersebut.
"Australia dapat berpartisipasi dalam proyek individu atau tidak sesuai keinginan mereka.
"Kedua, tidak ada biaya materiil bagi Australia, atau mereka juga tidak perlu mengubah kebijakan substansi Australia. Namun bagi China hal tersebut bisa dianggap gerakan signifikan."
Menyusul hal tersebut, Tyler juga menyarankan Australia seharusnya membuat rancangan undang-undang yang bisa memberikan menteri luar negeri Australia kemampuan untuk membatalkan kesepakatan internasional masuk ke dalam pemerintah pusat, pemerintah daerah dan universitas.
RUU tersebut berasal dari ketidaksetujuan pemerintah Australia terhadap perjanjian tidak mengikat negara bagian Victoria tentang Belt and Road Initiative.
Australia juga seharusnya membuat amandemen di undang-undang investasi asing, yang juga tampak ditujukan ke China, dengan tambahan undang-undang investasi asing tidak akan menguntungkan Australia secara citra internasional, papar Conley Tyler dikutip dari South China Morning Post.
Eks-menteri perdagangan Andrew Robb, yang memimpin penandatanganan Kesepakatan Perdagangan Bebas China-Australia, menyarankan Australia mengundang China bergabung dengan Kesepakatan Progresif dan Komprehensif untuk Mitra Trans-Pasifik.
Kesepakatan Progresif dan Komprehensif untuk Mitra Trans-Pasifik adalah perjanjian perdagangan bebas 11 negara antara Australia, Brunei Darussalam, Kanada, Chili, Jepang, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Peru, Singapura, dan Vietnam.
Tentu saja, China mengawasi kesepakatan itu dengan kuat.
"Kita perlu berupaya agar bisa sama-sama mendapatkan keuntungan dalam ranah komersial; banyak hal yang bisa kita tawarkan kepada Beijing, contohnya memperbaiki tubuh multilateral seperti Organisasi Perdagagangan Dunia (WTO) atau Penggalangan Dana Internasional (IMF)" papar Robb dalam webinar industri bahan pangan 2 minggu yang lalu.
"Kita juga bisa menawarkan kelompok kerja bilateral. Itu merupakan beberapa aspek dalam ranah yang kedua negara tidak memiliki konflik atau persaingan, dan hal itu juga merupakan hal baik untuk dilakukan."
Korea Selatan merupakan contoh yang menunjukkan konflik dengan China dapat diselesaikan dalam posisi netral dalam pertemuan multilateral.
Tahun 2017, setelah setahun sengketa panjang yang muncul karena Seoul mengabaikan perlawanan Beijing atas peluncuran sistem pertahanan rudal THAAD AS di Korea Selatan, dua negara sepakat bertemu dalam pertemuan bilateral yang diupayakan melalui saluran diplomasi dari forum Kerjasaama Ekonomi Asia-Pasifik, menurut Lee Seong-hyon, direktur Central Studi China di Institut Sejong, Seoul.
Pertemuan berlangsung lancar dengan Korea Selatan berjanji tidak akan ada posisi di parlemen yang berkompromi dengan "tidak ada pengiriman THAAD tambahan, tidak ada kesepakatan untuk bergabung dalam sistem rudal AS, dan tidak ada persekutuan militer tiga negara dengan AS dan Jepang," papar Lee.
"Australia dan Korea Selatan berada dalam situasi yang mirip," ujarnya. "Jika tidak bisa menyelesaikan masalah itu, seharusnya bisa 'mengatur' masalah itu sehingga tidak meluber sampai hancurkan ikatan bilateral."
Strategi ini cukup menarik, dan meskipun bersifat satu pihak, tapi setidaknya solusi ini cocok dengan permintaan China bagi mitra dagang mereka untuk menghindari keberpihakan dan ikut campur dalam hubungan dalam negeri China, seperti penjelasan para analis di China daratan.
"China ingin Australia tidak memihak antara China dan AS, karena mereka pikir Australia bergantung pada China secara ekonomi dan sudah cukup menderita untuk seharusnya tidak memihak manapun," papar Andy Xie, ahli ekonomi independen di Shanghai.
"Akibatnya, jika mitra dagang mereka mulai memihak, China akan memotong lajur perdagangan saat sudah temukan penggantinya."
Chen Hong, direktur Pusat Studi Australia di Universitas Normal China Timur di Shanghai, juga mencatat bagaimana ekonomi terbesar kedua di dunia membungkam negara manapun yang mencoba menantang kedaulatan mereka.
"Untuk hidup dan tetap hidup, inilah apa yang China inginkan sebagai prinsip hubungan internasional dunia modern yang terancam oleh ekstrimisme ideologi," papar Chen.
"China tidak pernah terapkan penekanan terhadap Australia dengan permintaan atau tuntutan politik.
"Bisa diasumsikan China menggunakan pengaruh ekonomi untuk meminta hal itu dari Australia.
"Saat kedua negara memerlukan cara bertahan hidup dan mempertahankan kepercayaan yang sama alih-alih ketidakpercayaan, Canberra harus sadar jika pengubahan ideologi sudah ketinggalan zaman. Pendekatan lebih proaktif dan kondusif perlu dieksplorasi dan diadaptasi."
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini