Berulang Kali Salahkan China Atas Covid-19 dan Sebut China 'Mata-mata Dunia', Australia Kini Terima Getahnya Sendiri dan Harus Menjilat Ludahnya Agar Dimaafkan China, Ancaman Sanksi-sanksi Memang Kian Nyata

May N

Penulis

Intisari-online.com -Saat hubungan diplomatik dua negara memburuk, sebenarnya yang paling menderita adalah rakyat kedua negara itu sendiri.

Seperti yang saat ini terjadi antara China dan Australia.

Pertukaran positif antara China dan Australia minggu lalu memberikan secercah harapan bahwa hubungan keduanya bisa membaik.

Perdana Menteri Australia, Scott Morrison memuji China atas tindakan mereka mengangkat kemiskinan dari kehidupan rakyatnya.

Baca Juga: Hubungan Diplomatik Makin Memburuk, China Panas-panasi Dunia Dengan Sebar Foto Palsu Tentara Australia Mengancam Membunuh Seorang Anak Afghanistan Memanfaatkan Kasus Pasukan Khusus Ini

China pun mengakui itu, sebuah tanda hubungan membaik.

Namun optimisme itu segera terhapus dengan China memberikan sanksi provisi anggur Australia sampai 212.1% minggu lalu.

Angka itu mengejutkan karena sangat tinggi, lebih tinggi daripada persentase yang awalnya direkomendasikan oleh Asosiasi Industri Anggur China, pengirim keluhan agar impor dari Australia dibatasi.

Dari keluhan tersebut investigasi pemerintah dilaksanakan sejak Agustus, dan kemudian China memutuskan untuk terapkan penutupan impor anggur dari Australia.

Baca Juga: Indonesia Mendulang Untung Besar-besaran dari Perang Dagang yang Terjadi Antara China dan Australia, Kok Bisa?

Minggu ini, Australia marah setelah China membuat cuitan di Twitter mengenai "kejahatan perang" yang dilakukan tentara Australia di Afghanistan.

Sebenarnya, China dan Australia telah mengalami ketegangan geopolitik sejak April lalu, semenjak Australia meminta penyelidikan internasional mencari asal muasal virus Corona.

Para mantan diplomat melihat hal tersebut sebagai dorongan anti-China.

Sejak hal itu mulai diterapkan, ide dari para cendekiawan untuk meredamkan ketegangan mengakar pada satu tema umum: lebih banyak diplomasi.

Baca Juga: Api Kemarahan Berkobar Setelah Ekspor Batubaranya Ditolak China, Perang Dagang China VS Australia Resmi Dimulai, Mari Dicek Kronologinya

Namun diplomasi seperti apa yang harus dilaksanakan kedua negara saat kedua belah pihak tidak saling berbicara?

Serta siapa yang seharusnya mulai untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf kepada negara satunya?

Banyak diplomat mulai merujuk kepada Jepang, Korea Selatan dan negara Asean sebagai model diplomasi yang baik dengan China.

Jepang termasuk sedikit negara yang sukses menghadapi diplomasi dengan China, tidak melupakan China sebagai mitra dagang penting, dan tetap bisa mengkritik atas kekacauan yang disebabkan China.

Baca Juga: Merasa Terpojokkan Hanya Karena Dua Negara Ini Bersatu, China Mencak-mencak Tak Terima Jika Jepang-Australia Jalin Koalisi, Sebut Hanya Akan Memperkeruh Perdamaian

Hal ini dilihat dari keputusan Perdana Menteri Jepang yang telah menjabat sejak September, Yoshihide Suga, yang bisa mempertahankan persekutuan dengan Washington tapi juga sepakat ikut dalam Belt and Road Initiative China.

"Tokyo selama ini ragu untuk bergabung dengan pihak Barat untuk melawan pelanggaran HAM yang dilaksanakan China, termasuk anti-demokrasi di Hong Kong, serta posisinya terhadap Taiwan juga tidak jelas," ujar profesor hubungan internasional Universitas Tokyo Kawashima Shin.

Bulan lalu, diplomat Jepang mengatakan kepada South China Morning Post jika administrasi Suga masih mengajukan strategi itu dengan membuat keputusan untuk "berhati-hati" menyambung hubungan antara China dan AS.

"China adalah mitra dagang kunci, pasar besar bagi produk Jepang dan kehadiran militer tetangga yang kuat," ujar diplomat tersebut.

Baca Juga: Ogah Ikut Campur Konflik Amerika dan China, Indonesia yang Jadi Militer Terkuat di ASEAN Berani Tolak Kunjungan Pesawat Mata-mata, 'Kami Tidak Mau Ditipu Lagi'

"Sementara AS merupakan sekutu keamanan tradisional dan mitra ekonomi. Jepang perlu tegas dalam perbuatannya tapi juga mempertimbangkan hubungan dengan kedua negara, karena satu langkah mendekat ke satu negara bisa jadi dianggap langkah menjauh dari negara yang lain.

Menerapkan strategi itu, telepon pertama Suga dengan Presiden China Xi Jinping setelah ditunjuk menjadi Perdana Menteri fokus hanya kolaborasi dua negara melawan Covid-19.

Dalam pembicaraan telepon itu, kedua negara mengkonfirmasi jika mereka akan melanjutkan bekerja membuka kembali perbatasan, dan tidak ada dari mereka membahas tuduhan AS jika China bertanggung jawab atas pandemi global.

Selanjutnya, dalam perjalanannya ke Laut China Selatan, Suga menegaskan posisi Jepang "dengan kuat melawan aksi apapun yang mempercepat ketegangan di Laut China Selatan" tanpa secara langsung menyebut China.

Baca Juga: Uang Negara Dikorupsi Habis-Habisan, Tak Disangka Perdana Menteri Malaysia Ini Pernah Jual Negaranya ke China Gara-Gara Negaranya di Ambang Kebangkrutan, Bagaimana Ceritanya?

Kemudian dalam Konferensi China: Amerika Serikat yang diorganisir oleh South China Morning Post Selasa kemarin, mantan perdana menteri Australia Kevin Rudd meminta Australia menerapkan cara yang dilaksanakan Jepang, "menaruh megafon" dan mengikuti aturan buku diplomasi raksasa Asia Timur.

Ini artinya, Australia harus menarik kembali tuduhan jika China penyebab pandemi, dan mulai berusaha merogoh hati Xi Jinping.

Padahal beberapa tahun belakangan, tindakan barbar Australia kepada China jauh lebih banyak daripada beberapa sanksi yang diterapkan Negeri Panda.

Australia mulai melarang teknologi 5G Huawei dan menuduh media menyusupkan mata-mata berkewarganegaraan China.

Baca Juga: Mantan Intelijen Jerman Ramalkan China Bakal Kuasai Dunia, Perusahaan China Huawei Justru Disebut Harus Diusir dari Eropa, Hanya karena Alasan Ini

Secara kasarnya, Australia telah menjadi negara tetangga yang tidak sopan, dan itu tentunya memiliki konsekuensi.

Para diplomat menyarankan 5 langkah untuk menengahi hubungan kedua negara, langkah pertama adalah berhenti menggali lubang lebih dalam.

Kedua, bahasa pejabat kepada China harus diperhalus, karena pilihan kata sangatlah penting dalam diplomasi.

Ketiga, pemimpin Australia seharusnya memperjelas jika keputusan yang mereka buat independen, dan tidak dipengaruhi oleh kekuatan negara lain.

Baca Juga: Meski Punya Kekuatan Militer Besar China Digadang Bakal Menjadi Militer Terkuat di Dunia Tahun 2050, Ternyata Militer China Punya Satu Kelemahan Besar, Apa Itu?

Keempat, Australia mulai perlu mengakui kemampuan internasional China, dan tidak berlebihan tentang keinginan membeli ruang strategis untuk dirinya sendiri.

Banyak perilaku China baru-baru ini tidak lebih dari yang diharapkan dari negara adidaya regional yang secara dramatis meningkat secara ekonomi, bergantung pada perdagangan, yang ingin mengepakkan sayapnya dan menegaskan kembali kebesaran historisnya setelah lebih dari satu abad harga diri mereka terluka, dan tidak boleh dianggap sebagai pendahulu agresi militer.

Terakhir, kedua negara harus menemukan proyek yang memiliki kesamaan.

Meskipun Beijing telah agresif dalam pendekatannya, tapi Beijing telah bekerja sama dalam berbagai bidang seperti perubahan iklim, penjaga perdamaian, kontraterorisme dan tanggapannya terhadap pandemi.

Baca Juga: Indonesia Saja Sengaja Tak Mau Terlibat Konflik dengan China, Mendadak Malaysia Malah Berani Tantang Negeri Panda, Padahal Sudah Jelas Akan Kalah Jika Berperang

Sementara itu diplomat lain menyarankan Australia segera mendaftar Belt and Road Initiative seperti yang dilakukan Jepang.

Saat ini masih belum jelas apa yang akan dilaksanakan oleh Australia ke depannya.

Namun, Australia malah melukai diri mereka sendiri jika terus-terusan bertindak barbar terhadap China, karena ekonomi negara mereka berpegang erat dengan China sebagai mitra dagang terbesar.

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini

Artikel Terkait