Betapa Primitifnya Negara Tetangga Indonesia Ini, Saat Perang Suku Sampai Pembantaian Massal jadi Cara Penyelesaian Masalah di Era Kehidupan Modern

Maymunah Nasution

Penulis

pembantaian massal menjadi produk dari penegakan hukum primitif di Papua Nugini
pembantaian massal menjadi produk dari penegakan hukum primitif di Papua Nugini

Intisari-online.com -Penelusuran mengerikan di Papua Nugini mendapatkan hasil mengerikan tentang perang suku yang menjadi pembantaian keji di masa modern.

Dikutip dari Lowy Insitute, setiap minggu selalu ada kabar kasus baru pembunuhan keji terkait perang suku di Provinsi Hela, jantung Papua Nugini.

Laporan tunjukkan minggu lalu ada 19 kematian, termasuk ibu dan anaknya.

Sementara itu ribuan lainnya terusir dari tempat tinggalnya.

Baca Juga: Siapa Sangka, Pulau Papua Jadi Titik Penentu Kemenangan Angkatan Laut AS Mengalahkan Kependudukan Jepang di Perang Dunia II, Australia pun Terlibat

Ini hanyalah berita terbaru dari pembantaian massal mengerikan yang terus mengguncang negara itu dan membawa kemarahan komunitas global.

Tahun 2019, 24 warga terbunuh di desa Karida.

Foto jenasah digantung di tiang kayu dan dibungkus dengan kelambu untuk mengusir serangga pun beredar luas di internet.

Jika foto itu hitam putih, akan banyak yang mengira jika itu foto lawas dari zaman dahulu.

Baca Juga: Jadi Kejahatan Kemanusiaan, Pembantaian Etnis dan Suku Rupanya Tidak Hanya Dilakukan oleh Nazi Saat Perang Dunia II Saja, Ini Dia Sejarah Kekejaman Manusia Termasuk Memakan Sesama

Kekejaman ini tidak relevan dengan globalisasi, tapi nyatanya di era modern masih terjadi.

Penyebab perang suku

Penyebab kekerasan ini berasal dari perang suku, yang sudah menjadi aktivitas sehari-hari warga Hela untuk berabad-abad lamanya.

Konon katanya, perang suku menjadi cara penyelesaian yang sudah dilakukan oleh warga Hela sejak dahulu kala.

Baca Juga: Boro-boro Borong Mobil Seperti Warga Desa di Tuban, Suku Amungme di Papua Justru Tersingkir dari Gemerlap Emas Freeport yang Dikeruk dari Tanahnya

Bahkan, perang suku menjadi solusi penyelesaian konflik warga Papua Nugini selama bertahun-tahun lamanya, bagian dari tradisi Melanesia.

Pejuang akan bertemu dan bertarung di "medan perang" dan lebih penting, wanita dan anak-anak terhindar dan tidak tertangkap di garis bidik.

Hingga kini, tradisi ini telah berevolusi menjadi perang gerilya, di mana serangan satu anggota klan berarti serangan untuk semuanya

Peperangan gerilya, melibatkan senjata berkekuatan tinggi, penggantian tombak dan panah, obat-obatan terlarang, uang, dan perebutan wilayah.

Baca Juga: Perencanaan Pembagian Provinsi di Papua Disebut Pakar Akan Jadi Buah Simalakama: Hanya Akan Merusak dan Rugikan Indonesia Sendiri, Ini Sebabnya

Sederhananya, hal itu sudah menjadi penegakan hukum sendiri di Papua Nugini.

Gubernur Hela Philip Undialu baru-baru ini mengatakan di masa lalu, perang suku itu terstruktur dan dilengkapi aturan.

Pihak berwenang tahu siapa yang terlibat dan ke mana harus pergi untuk menyelesaikan masalah dengan cepat.

Namun banyak hal berubah sejak misionaris pertama dan kolonisasi Provinsi Hela.

Baca Juga: ‘Ini Mengerikan. Ini Pembantaian’ Aparat Keamanan Tembakkan Peluru Tajam ke Arah Demonstran, 38 Orang Tewas, Myanmar Semakin Memanas, Dunia Berduka

Layaknya daerah lain di negeri itu, struktur budaya yang mengatur cara hidup orang telah digantikan oleh supremasi hukum.

Namun penegakan hukum efektif tetap menjadi tantangan terbesar negara tersebut.

Pasukan polisi memiliki beban kerja berlebih, dengan sumber daya minimum untuk memonitor dan mempertahankan penegakan hukum/

Menyusul pembantaian baru-baru ini, Undialu meminta bantuan tentara Angkatan Pertahanan Papua Nugini yang ditempatkan di lokasi untuk menghentikan pertempuran, tapi mereka meminta bayaran di muka.

Baca Juga: Penjagal dari Beirut, Jenderal Israel Ariel Sharon Bantai Penduduk Palestina dengan 'Bangga' hingga Kematian Menjemputnya Setelah Koma 8 Tahun

Perserikatan Bangsa-Bangsa mengutuk serangan itu dan menyerukan penghentian segera kekerasan di provinsi itu, memobilisasi bantuan bagi para korban.

Memang, PBB datang dengan dukungan sumber daya dari 193 negara anggotanya, tetapi misi untuk perdamaian adalah tugas yang sulit di negeri yang dijuluki sebagai "tanpa hukum".

Masalah mendasar tampaknya adalah bahwa masyarakat mereka terjebak di antara cara lama untuk menyelesaikan konflik - melalui pertempuran antar suku, diatur oleh hukum adat - dan "cara baru".

Istilah "pasin", istilah lokal untuk mengatakan "saling menghormati" sudah hilang, gantinya adalah erosi batasan tradisional, bom waktu berbahaya tanpa aturan, yang dipercepat oleh lemahnya penegakan hukum.

Baca Juga: Lebih Buruk Dari Korea Utara, Negara Ini Bantai 800 Rakyatnya Sendiri Selama 24 Jam dengan Pasukan Militer, Informasinya Disembunyikan dari Dunia dan Baru Ketahuan Sekarang

Asumsi yang ada adalah satu harus mati agar yang lain bisa hidup, sedangkan di perang modern, sudah tidak ada lagi kompromi, siapapun yang membunuh harus ditangkap dan dihukum untuk kejahatannya.

Kisah-kisah para penyintas dari seluruh desa yang dibakar dengan api, di kegelapan malam, sementara keluarga-keluarga tidur, tidak kalah menakutkan.

Dibangunkan oleh kobaran api, mereka melarikan diri ke semak-semak hanya untuk "disayat" dengan pisau semak atau disemprotkan peluru dari senjata semi-otomatis.

Bahwa kekerasan dunia lain ini dapat dilakukan terhadap anak-anak tanpa keraguan sedikit pun adalah memuakkan.

Baca Juga: Mengira Akan Aman di Gereja Ini, Seluruh Keluarga dan Anak Kecil Kota Ini Dibantai Massal Oleh Tentara yang Terlibat dalam Perang Terburuk Salah Satu Negara Termiskin di Dunia Ini

Tapi semua kemarahan dari komunitas nasional dan internasional sejauh ini tidak membuahkan hasil. Nol. Kekerasan - yang kita dengar - terus berlanjut tanpa konsekuensi yang terukur bagi pelakunya.

Seolah-olah kekerasan mereda cukup lama sehingga debu mengendap hanya untuk meletus lagi.

Sementara nyawa yang hilang menjadi statistik, keluarga terus mengungsi, dan keadilan hanyalah sebuah kata yang telah kehilangan maknanya bagi orang-orang ini.

Setelah pembantaian Karida, pemimpin oposisi negara itu, Belden Namah, menyerang saingan politiknya dan seorang pria Hela yang terkenal, Perdana Menteri James Marape.

Baca Juga: Saat 100 Ribu Nyawa Penduduk Asli Amerika Melayang Dalam Pembantaian Etnis dan 'Mengukir Jejak Air Mata'

Namah menantang perdana menteri untuk "mengambil kembali Tari" sebelum dia berbicara tentang "mengambil kembali Papua Nugini", mengacu pada slogan Marape yang digunakan saat menjabat pada tahun yang sama.

Serangan itu meskipun dimotivasi politik, tapi menjadi perwakilan suara banyak, meminta perdana menteri fokus urusi masalah dalam negerinya yang telah membesar menjadi pelanggaran hukum dan kekerasan.

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini

Artikel Terkait