Advertorial
Intisari-online.com - Australia mungkin adalah negara terdekat dengan Timor Leste, mulai dari kedetakatan geografis dan juga politik.
Namun, baru-baru ini dikatakan bahwa hubungan Timor Lesta dan Australia tak lagi mesra.
Semua berawal dari pendemi Covid-19 yang menyebabkan kekacauan di negara-negara kecil termasuk Timor Leste dan Papua Nugini yang dikenal dekat dengan Australia.
Meski pada kenyataanya Papua Nugini dan Timor Leste belum begitu terkena dampak signifikan.
Namun, secara ekonomi sudah terkena dampak yang cukup mengkhawatirkan.
Selain itu Timor Leste sendiri, memiliki hubungan dengan Australia diyakini karena diplomasi minyak bumi di Bumi Lorosae.
Sementara Papua Nugini telah menjalin hubungan lebih dekat jauh sebelumnya, daripada Timor Leste.
Akan tetapi menurut Future Direction, seperti dikutip dari Serambi News, tampaknya hubungan Australia dengan kedua negara ini sudah mulai renggang.
Menurut keterangan, di Timor Leste sebenarnya sangat membutuhkan uluran tangan dari Australia karena penurunan tajam minyak awal tahun ini akibat Covid-19.
Perang harga dengan negara seperti Arab, Rusia, membuat ekonomi negara kecil itu hancur.
Padahal, ekonomi Timor Leste yang sebelumnya sudah rentan, kini berada dalam risiko yang lebih berbahaya.
Mengingat sektor pendapatan minyak berkontribusi terhadap sekitar delapan puluh persen dari pengeluaran pemerintah.
Selain itu, kebuntuan politik membuat pemerintah belum menyetujui APBN 2020, yang berarti negara tersebut harus beroperasi di bawah sistem duo-desimal.
Sistem yang sama ini pernah digunakan dan disalahkan atas kontraksi ekonomi Timor Leste pada 2017 dan 2018.
Menurut Tribunnews, media setempat The Oekui Post mengatakan, laporan trimestral dari Banco Central Timor Leste (BCTL), baru-baru ini mengumumkan bahwa, jumlah dana perminyakan Timor Lester yang tersimpan di Bank New York sebesar 18,4 miliar dolar AS (Rp 273 triliun)
Mulai tahun 2021, Pemerintah Timor Leste akan menggunakan uang simpanan itu sebagai kebutuhan belanja negaranya sebesar 1,4 miliyar dolar AS atau Rp 20,77 triliun.
Sehubungan dengan hal itu, banyak orang yang mulai berfikir dan prihatin terhadap keberlanjutan kondisi keuangan Timor Leste.
Ke depan, Pemerintah Timor-Leste juga menghabiskan sejumlah besar sumber daya untuk proyek Tasi Mane, yang bertujuan untuk membangun fasilitas pengembangan minyak di darat di Timor Leste.
Pendanaan yang dibutuhkan untuk proyek semacam itu sangat besar, dengan perkiraan biaya mulai dari 10 miliar Australia (Rp. 105 triliun) hingga 20 miliar Austalia (Rp. 210 triliun).
Namun, hingga kini, tidak ada investor swasta yang bersedia bergabung dengan proyek tersebut.
Bagi Australia, proyek itu mengkhawatirkan, mengingat China menyatakan minatnya dalam proyek tersebut.
Pertemuan baru-baru ini antara Menteri Luar Negeri Timor Leste dan mitranya dari China juga membuat kedua belah pihak membahas kerja sama yang lebih dekat dalam Belt and Road Initiative.
Hal itu berpotensi memperkuat posisi China sebagai investor untuk Tasi Mane.
Setelah selesai, proyek tersebut akan bertanggung jawab untuk menyediakan sebagian besar kekayaan orang Timor Leste.
Termasuk pembangunan pelabuhan, pembuatan kapal dan fasilitas perbaikan kapal yang terletak sekitar 700 km dari Pelabuhan Darwin.
Proyek itu nantinya akan dikelola oleh sebuah perusahaan China di bawah Sewa 99 tahun.
Sama halnya dengan Timor Leste, Papua Nugini juga menghadapi masalah serupa di ana campur tangan China.
Dengan rasio utang terhadap PDB lebih dari 55 persen, mayoritas utang tersebut berasal dari China, membuatnya tercekik utang dalam beberapa dekade.
Namun, baru-baru ini Australia mulai memberi pinjaman pada Papua Nugini, tetapi hubungan terus meburuk seiring dengan munculnya pengaruh China di dua negara tersebut.