Advertorial
Intisari-online.com -Pernahkah Anda mendengar Asian Development Bank?
Mengutip Wikipedia, ADB adalah bank perkembangan regional yang dibentuk pada 19 Desember 1966.
Berpusat di Filipina, komitmen ADB adalah untuk meraih Asia Pasifik yang kaya dan makmur.
Salah satu negara pendiri ADB adalah Australia.
Mengutip The Strategist, Australia telah berkontribusi secara langsung dengan gelontorkan dana 8,5 miliar Dolar AS untuk sumbangan wajib, serta 2,86 miliar Dolar AS untuk dana spesial.
Pendanaan tahunan tahun ini disebutkan mecapai 430 miliar Dolar AS, ungguli pendanaan dari China.
ADB memberikan dana tersebut kepada negara-negara yang memerlukan, salah satunya adalah Papua Nugini.
Tahun 2018-2019 perusahaan konstruksi milik China memenangkan lebih dari separuh proyek konstruksi di Papua Nugini yang dibiayai oleh ADB.
Dengan itu, perusahaan tersebut mendapat tidak kurang 78% dalam nilai moneter.
Kemudian, kontrak ADB terbesar sejak itu mengalir ke pembangunan jalur kereta China, senilai 54 miliar Dolar AS.
Setidaknya 9 kontrak mengalir ke perusahaan dari negara lain, termasuk Papua Nugini dan Australia.
Saat itu, setidaknya ada 4 perusahaan yang dimiliki atau terkait dengan China melobi kontrak pembangunan sampai 3 miliar Dolar AS, secara prinsip didanai ADB tapi tidak keseluruhan.
Hal ini membuat transparansi ADB dipertanyakan, serta bagaimana kontrak dengan negara dan agensi lain.
Serta berapa kualitas dan nilai uang, yang diperoleh Papua Nugini untuk proyek infrastruktur ke perusahaan China?
Hal ini menjadi penting, pasalnya Papua Nugini menghadapi krisis infrastuktur karena urusan pendanaan seperti ini.
Contohnya adalah satu yang dibiayai Bank Dunia dengan kontribusi Australia sebanyak 30%.
Termasuk di dalamnya memperbaiki jalan dari Alotau ke Cape Timur di Provinsi Milne Bay.
Kontrak tersebut senilai 35 juta Dolar Australia atau 89 juta Kina (mata uang Papua Nugini), dan justru tidak dikerjakan tapi malah melayang ke perusahaan konstruksi China, China Overseas Engineering Group Co. atau COVEC.
Perusahaan ternama Papua Nugini, Devcon, diberi sebagian dari kontrak dan pekerjaan kecil dari proyek mega besar tersebut.
Sementara itu, COVEC membayar warga lokal hanya 1 Kina dari seluruh uang yang seharusnya masuk ke negara Papua Nugini tersebut.
1 Kina diberikan ke warga lokal per meter kubik untuk royalti kerikil, sementara perusahaan lokal membayar mereka sekitar 6 Kina per meter kubik.
Proyek ini tentunya tidak sesuai dengan standar Australia dan Selandia Baru yang telah berikan bantuan yang banyak, dan ditakutkan, hasil yang didapat tidak akan bertahan lama.
COVEC adalah perusahaan yang sama dengan yang tahun 2017 dituntut sebesar 50 juta Kina karena secara ilegal mengeruk material jalanan dari lahan pribadi warga Papua Nugini untuk mega proyek di Provinsi Simbu.
Meski begitu, COVEC masih saja dipercaya untuk lakukan konstruksi besar di seluruh Papua Nugini.
Menariknya, terlibatnya COVEC dalam konstruksi di Papua Nugini telah meningkat selama beberapa tahun, dan dimulai bahkan sebelum Papua Nugini tanda tangani Belt and Road Initiative (BRI) 2018.
Sehingga tidak heran untuk saat ini, perusahaan konstruksi Papua Nugini, Selandia Baru bahkan Australia tidak terlibat dalam konstruksi di Papua Nugini lagi.
Hal ini membuat Australia geram, karena meskipun posisi Australia tidak pantas untuk meminta posisi mendapatkan proyek konstruksi tersebut, tapi sebagai pembangun ADB, Australia merasa perlu diberikan proses transparan penentuan perusahaan yang akan diberikan proyek tertentu.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini