Anehnya, sumber-sumber Tionghoa zaman itu tidak menyebutkan adanya populasi kanibal dan hanya membedakan antara masyarakat beradat yang sama dengan masyarakat di Jawa dan di Melaka, dan populasi kasar yang tidak selalu orang gunung.
Nama suku “Bata” muncul berkat Fernão Mendes Pinto, (1509-1583) mungkin orang Eropa pertama yang pernah pergi ke pedalaman utara Sumatra dan meninggalkan jejak tertulis.
Dalam karyanya berjudul Peregrinação, penjelajah Portugis ini di antaranya mencatat kunjungan duta “raja orang Bata” ke kapten Melaka yang baru, Pedro de Faria, tahun 1539.
Mendes Pinto antara lain melaporkan bahwa raja ini penganut paganisme dan ibu kotanya bernama Panaju, tetapi sebagian dari tulisannya mengenai wilayah utara Sumatra kurang masuk akal.
Baca Juga: Kisah Kebaikan Kapiten Gan Djie di Batavia, Kini Bisa Dicoba di Glodok
Mendes Pinto juga yang pertama mencatat adanya masyarakat “Aaru” di Pesisir Timur Laut Sumatra dan mengunjungi rajanya yang Muslim.
Sekitar dua puluh tahun sebelumnya, Duarte Barbosa (1480-1521) sudah mencatat tentang kerajaan Aru yang ketika itu dikuasai oleh orang-orang kanibal penganut paganisme.
Nama suku “Batang” muncul dalam sumber-sumber Arab lima belas tahun sesudah kisah Pinto.
Penyair dan sastrawan Turki Sidi ‘Ali Celebi tahun 1554 menyebut tentang pemakan manusia yang bermukim di bagian barat Pulau Sumatra.
Penulis | : | Maymunah Nasution |
Editor | : | Maymunah Nasution |
KOMENTAR