Intisari-online.com -Mempelajari peradaban manusia selalu dilakukan manusia modern.
Tujuan dari hal ini adalah memahami tindak tanduk manusia dari masa ke masa.
Harapan dari hal itu adalah dapat memahami cara manusia melawan suatu penyakit atau menahan nafsu dan menjadi makhluk yang semakin beradab.
Di masa lalu, tidak sedikit peradaban yang malah melaksanakan praktik kanibalisme.
Saat ini, kanibalisme dianggap sebuah kemunduran dan mencerminkan tindakan masyarakat yang tidak berpendidikan.
Meski begitu, rupanya tidak sedikit di belahan bumi Nusantara yang pernah mempraktikkan hal keji ini.
Salah satunya adalah kisah kanibalisme di pulau Sumatra, yang tertuang dalam "Pemeriksaan atas Seorang Pedagang Cina mengenai Orang Batak yang berada di Sumatera Utara, 1 Maret 1701" yang tercatat dalam Arsip Nasional Republik Indonesia.
Diberitakan melalui ANRI, berita mengenai wilayah Provinsi Sumatra Utara saat ini disampaikan oleh seorang Tionghoa kepada VOC di Batavia tahun 1701.
Laporan itu merupakan salah satu laporan terawal oleh seseorang yang jelas pernah tinggal di pedalaman wilayah itu.
Rupanya sejak abad ke-2 Masehi lewat tulisan Ptolemaeus, selama 1 abad Sumatra Utara dianggap daerah berbahaya.
Rupanya ada sejumlah masyarakat kanibal tinggal di sana.
Selain kekayaannya atas kamper yang diketahui sejak ekspor abad ke-5 dan ke-6 Masehi, tulisan itu menyebutkan sebuah tempat bernama Barus.
Kemudian tertulis juga sebuah negeri bernama Pa-t'a yang dicatat oleh Zhao Rugua, sebuah negeri yang berada di bawah kuasa Sriwijaya.
Pada saat itu Pa-t'a dan Bata sudah diketahui oleh orang-orang jika memiliki hubungan yang kuat.
Hubungan itu diperkuat lagi dari catatan sejarah resmi dinasti Yuan (Yuanshi) tentang kedatangan utusan dari Ma-da di istana maharaja Tiongkok tahun 1285 lalu.
Akan tetapi, kedua sumber Tionghoa ini tidak mengaitkan nama negeri Bata dengan sebuah masyarakat kanibal.
Hanya saja suku kata 'ma' diucapkan 'ba' dalam dialek yang digunakan di bagian selatan Fujian, sehingga banyak yang mengaitkan dengan Bata.
Cerita dilengkapi dengan catatan dari Marco Polo dalam persinggahannya di utara Sumatra tahun 1291.
Marco Polo mencatat banyak hal, ia menjadi orang pertama yang mencatat kehadiran Islam dan juga pertentangan antara kaum minoritas Islam yang bermukim di kota-kota pesisir dan masyarakat penganut paganisme, yang biadab dan kanibal, dan yang tinggal di pegunungan dan belum dikenal dunia luar.
Pada abad berikutnya, terdapat semakin banyak catatan dari orang Barat atau Tionghoa.
Data mengenai penduduk masih tetap sama, dengan tambahan informasi di sejumlah sumber mengenai adanya orang-orang bertato.
Nicolo de’ Conti tinggal selama setahun di kota Sciamuthera (Samudra) tahun 1430 dan menjadi orang pertama yang menyebut nama tempat “Batech” yang dikaitkan dengan sebuah populasi yang bersifat kanibal dan gemar berperang.
Nama tempat ini ditemukan kembali pada awal abad ke-16 melalui Tomé Pires yang menyebut “seorang raja dari Bata” dalam laporannya Suma Oriental (1512-1515) yang terkenal.
Pires mencatat tiga tempat yang menjadi pusat aktivitas dengan pedagang asing di Pesisir Timur Laut, yaitu Bata (di selatan Pasai) dengan barang perdagangan utama rotan, Aru yang memiliki cukup banyak kamper dan banyak kemenyan, serta Arcat.
Anehnya, sumber-sumber Tionghoa zaman itu tidak menyebutkan adanya populasi kanibal dan hanya membedakan antara masyarakat beradat yang sama dengan masyarakat di Jawa dan di Melaka, dan populasi kasar yang tidak selalu orang gunung.
Nama suku “Bata” muncul berkat Fernão Mendes Pinto, (1509-1583) mungkin orang Eropa pertama yang pernah pergi ke pedalaman utara Sumatra dan meninggalkan jejak tertulis.
Dalam karyanya berjudul Peregrinação, penjelajah Portugis ini di antaranya mencatat kunjungan duta “raja orang Bata” ke kapten Melaka yang baru, Pedro de Faria, tahun 1539.
Mendes Pinto antara lain melaporkan bahwa raja ini penganut paganisme dan ibu kotanya bernama Panaju, tetapi sebagian dari tulisannya mengenai wilayah utara Sumatra kurang masuk akal.
Baca Juga: Kisah Kebaikan Kapiten Gan Djie di Batavia, Kini Bisa Dicoba di Glodok
Mendes Pinto juga yang pertama mencatat adanya masyarakat “Aaru” di Pesisir Timur Laut Sumatra dan mengunjungi rajanya yang Muslim.
Sekitar dua puluh tahun sebelumnya, Duarte Barbosa (1480-1521) sudah mencatat tentang kerajaan Aru yang ketika itu dikuasai oleh orang-orang kanibal penganut paganisme.
Nama suku “Batang” muncul dalam sumber-sumber Arab lima belas tahun sesudah kisah Pinto.
Penyair dan sastrawan Turki Sidi ‘Ali Celebi tahun 1554 menyebut tentang pemakan manusia yang bermukim di bagian barat Pulau Sumatra.
Tahun 1563, Joao de Barros menggunakan kembali nama suku “Batas” dan menyebutkan bahwa masyarakat kanibal “yang paling liar dan paling gemar berperang sedunia” ini menghuni bagian pulau yang berhadapan dengan Melaka.
Namun, sudut pandangnya mengenai geografi suku-suku hanya mengulang pandangan yang sudah berumur hampir tiga abad, yang menghadapkan kaum “Moros” (orang Islam), yakni orang asing yang datang untuk berdagang dan bermukim di daerah pantai, dengan kaum “Gentios” (penganut paganisme), penduduk asli pulaunya yang berlindung di daerah pedalaman.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini