Tahun 1972, Para Korban Pesawat Jatuh Ini Terjebak Selama 72 Hari di Pegunungan Andes dan Terpaksa Memakan Tubuh Penumpang Lain untuk Bertahan Hidup

Muflika Nur Fuaddah

Penulis

Penerbangan Uruguay 571

Intisari-Online.com- Pesawat terbang memang teknologi ciptaan manusia yang sangat memajukan laku akomodasi umat manusia.

Namun, bukan arti dalam praktiknya tak menyisakan cela.

Tak jarang pula terjadi kesalahan yang mengakibatkan kecelakaan tertentu, seperti berikut ini.

Roberto Canessa dan Nando Parrado adalah dua dari 45 penumpang yang menaiki pesawat Uruguay 571 pada Jumat, 13 Oktober 1972.

Baca Juga: Pesawat Sriwijaya Air SJ182 Jatuh, Rupanya Seri Pesawat Boeing 737-500 Pernah Alami Kecelakaan Beberapa Kali, Ini Riwayatnya

Mereka dan 17 penumpang lainnya adalah anggota tim rugby Uruguay yang melakukan penerbangan melewati Andes untuk pertandingan di Chili.

Roberto Canessa menyadari bahwa penerbangan ini diselimuti awan yang begitu tebal sehingga jarak pandang hampir nol.

Para pilot pun harus menavigasikan pesawat melalui instruksi yang kemudian terjadi salah pembacaan.

Baca Juga: Jadi Masalah Krusial Hingga Sering Dikaitkan dengan Kecelakaan Pesawat, Sriwijaya Air Ternyata Pernah Lakukan Perawatan di Pusat Pesawat Terbaik di Indonesia, Tapi Bagaimana Sekarang?

Pilot melihat punggungan gunung di depan mereka dan terlambat untuk menyelamatkan pesawat.

Pesawat menabrak puncak dalam tabrakan yang merobek sayap, langsung membunuh beberapa penumpang, dan meninggalkan korban yang terdampar di suhu dingin pegunungan Andes.

Udara dingin adalah masalah yang paling mendesak bagi para korban.

Korban tidak meyiapkan pakaian untuk suhu dingin dan pakaian paling hangat yang mereka miliki adalah jaket olahraga.

Baca Juga: 'Kami Mendengar Ledakan Seperti Bom dan Gelombang Tsunami', Pengakuan Seorang Nelayan Tak Sadar Detik-Detik Pesawat Sriwijaya Air SJ182 Jatuh di Dekat Kepulauan Seribu

Mereka juga mengalami permasalahan akan air minum.

Namun satu anggota tim yang cerdik berhasil membuat baskom air menggunakan aluminium dari bangkai kapal untuk mencairkan es di gunung.

Tapi masih ada masalah kelaparan yang akan menjadi masalah terburuk mereka.

Seiring berlalunya hari tanpa tanda-tanda penyelamatan, Nando Parrado mulai merasakan nafsu makannya naik ketika menatap darah kering di sekitar luka kaki seorang korban yang telah meninggal.

Baca Juga: Tepat Sehari Sebelum Insiden Terjatuhnya Sriwijaya Air SJ182, Pesawat Sriwijaya Air Lain Ini Sempat Terbang dalam Kondisi Mesin Bermasalah Hingga Putar Balik ke Bandara

"Saya telah melihat daging manusia dan secara naluriah mengakuinya sebagai makanan" katanya kelak.

Kanibalisme

Mula-mula korban lainnya terlalu malu untuk mengakui keinginan memakan daging manusia.

Setelah Parrado secara tentatif menyatakan, “Ada banyak makanan di sini, tetapi Anda harus menganggapnya hanya sebagai daging,” temannya diam-diam setuju.

Baca Juga:10 Kostum Pengiring Pengantin Zaman Dulu yang Agak Konyol, Salah Satunya Motif Polkadot!

Tak dapai dielakkan lagi, para korban kecelakaan itu bergandengan tangan dan memberi izin satu sama lain untuk mengkonsumsi tubuh mereka jika nantinya tewas di gunung es itu.

Beberapa saat kemudian, mereka mengambil gigitan daging manusia pertama mereka.

Seperti yang diingat Parrado, “Saya tidak merasa bersalah atau malu. Saya melakukan apa yang harus saya lakukan untuk bertahan hidup.”

Para korban sudah lama menyadari bahwa tidak akan ada upaya penyelamatan yang akan datang.

Baca Juga:Ingin Sulap Lahan Sempit Jadi Unik dan Indah? Yuk Contek 5 Ide Taman Vertikal Berikut!

Kedua pihak berwenang Uruguay dan Chili pun sebenarnya telah membatalkan pencarian pesawat pada hari ke-11 karena berpikir tak akan ada manusia yang mampu bertahan hidup selama itu di Andes anpa makanan atau tempat berlindung.

Lelah Menunggu

Sekitar 60 hari setelah kecelakaan, Roberto Canessa mendekati Nando Parrado dan hanya berkata: “Sudah waktunya untuk pergi.”

Bersama korban selamat lainnya, mereka mulai menempuh perjalan sulit menuruni gunung dalam upaya putus asa untuk mengharap datangnya bantuan.

Baca Juga: Pesawat Sriwijaya Air SJ182 Diduga Jatuh dalam Keadaan Stall, Dulu AirAsia QZ8501 Mengalami Hal yang Sama, Ini yang Menyebabkannya Jatuh di Selat Karimata

Selama 10 hari perjalanan yang menyedihkan, Parrado menyatakan kepada Canessa:

"Kita mungkin berjalan menuju kematian, tapi saya lebih suka menjemput kematian daripada menunggunya."

Pada tanggal 20 Desember, ketika mereka berjalan di sepanjang sungai, Canessa tiba-tiba berteriak “Saya melihat manusia!”

Mereka memberi isyarat dan bantuan pun datang keesokan harinya.

Baca Juga:Andai Bom Nuklir Dijatuhkan di Monas, Jakarta Akan Menjadi Seperti Ini

Pada 22 Desember, helikopter pertama mencapai lokasi kecelakaan. Dari 45 orang di pesawat, hanya 16 yang selamat.

Penyelamatan luar biasa menjadi berita utama di seluruh dunia, meskipun kisah bertahan hidup itu dibayangi oleh laporan-laporan kanibalisme.

Meskipun masyarakat pada awalnya bereaksi ngeri, para korban memberikan konferensi pers yang sangat jujur ​​yang menjelaskan keputusasaan dan perjanjian mereka satu sama lain.

Roberto Canessa menjelaskan: "Anda tidak bisa merasa bersalah atas tindakan yang tidak Anda pilih."

Setelah itu kemarahan dan kengerian publik pun mereda.

Baca Juga:Wanita Pemimpin Sekte ini Ditangkap Setelah Paksa 400 Jamaahnya Lakukan Ritual Berlumuran Darah

Artikel Terkait