Intisari-online.com -Ada konsensus yang sudah Washington sadari terkait ancaman China, dan bahwa perang dingin baru tidak tertahankan, rupanya belum dimulai.
Terlepas dari jalan yang berbeda yang diambil AS dan China, John Mearsheimer tunjukkan jika perjalanan China menuju modernisasi dapat meniru langkah AS mengejar hegemoni.
Dalam teorinya terkait realisme ofensif, sistem internasional bersifat anarkis dan negara disetir untuk mencari dominasi dunia.
Sementara itu Graham Allison juga menjelaskan mengenai Jebakan Thucydides, yang tunjukkan persaingan kekuatan besar tidak bisa tidak sebabkan pertempuran darah.
Garis bawahnya adalah AS tidak akan mentoleransi pesaing, dan mereka harus menang.
Lantas apa yang sebenarnya didapatkan AS dari konflik dengan China, selain klaim menjadi negara terkuat di bumi?
Jing Lee, dalam artikelnya yang dimuat di South China Morning Post, menjelaskan, ada dua cara utama untuk berhadapan dengan China.
Donald Trump telah mengejar kebijakan ambisius yang melebihi penanganan.
Ia mencoba memundurkan ekonomi China dengan menargetkan sektor teknologi China.
Meskipun kekacauan dan konflik di administrasinya, ia mampu menghasilkan hasil-hasil signifikan,dengan bukti kesulitan-kesulitan yang dihadapi Huawei dan perusahaan China lainnya.
Namun dalam jangka panjang pendekatannya malah justru membantu China, membantu mereka menemukan kerentanan rantai suplai dan menciptakan inovasi baru.
Joe Biden yang baru disahkan, secara luas diharapkan bergerak melebihi perhitungan transaksi dari administrasi Trump untuk bekerja sama memaksa China membayar tindakan mereka menantang tatanan dunia liberal yang dipimpin AS.
Dari pandangan Biden, politik dunia seharusnya masih mengikuti nilai dan aturan yang dipimpin oleh AS.
Seperti halnya paparan dari Jake Sullivan dan Kurt Campbell dalam esai yang dipublikasi akhir tahun kemarin, kebijakan ini akan memuluskan koersi tatanan dunia yang lebih halus.
"Jika China berharap menikmati akses setara untuk komunitas ekonomi baru ini, kerangka kerja ekonomi dan aturan mereka harus dibuat sesuai standar yang sama," tulis keduanya.
"Kombinasi tarikan gravitasi komunitas ini akan berikan China pilihan: entah memangkas cara mereka dan mulai bekerja dengan aturan perdagangan atau menerima kondisi yang kurang menolong dari lebih dari separuh ekonomi global."
Namun ada sedikit perbedaan perang dingin baru dengan yang lama.
Permusuhan AS dengan Uni Soviet fokus kepada ideologi dan senjata nuklir, dan menciptakan dua pandangan yang berbeda.
Sementara saat ini, medan perang terpusat di urusan teknologi, dengan China sebagian besar berintegrasi ke dalam tatanan global yang dipimpin AS.
Konfrontasi total bisa menghasilkan pengaturan ulang dari tatanan ini.
Dengan ketegangan geopolitik meningkat dan tantangan pemulihan ekonomi pasca pandemi, perlu dikaji ulang ponasi stabilitas global yang rapuh ini.
Di puncak kejayaannya setelah memenangkan perang dunia, AS memastikan dunia akan bangkit dari abu.
Perjanjian Bretton Woods tahun 1944 mengejar posisi Dolar AS dengan mata uang lain agar setara dengan nilainya, dan Institusi Bretton Woods, IMF dan Bank Dunia, dikenalkan pada 1945.
PBB sementara itu juga dibentuk di tahun 1945, berupaya mempertahankan perdamaian dan keamanan internasional, sementara Marshall Plan 1948 membantu program pemulihan ekonomi dari ekonomi Negara Eropa Barat.
Institusi-institusi ini telah diuji oleh waktu, bekerja sebagai pilar stabilitas global.
Pertukaran emas di awal 1970an telah menguatkan supremasi dolar, membakar finansialisasi tingkat kedua.
Dalam ekonomi terfinansial, kekuatan tawaran buruh dan terpusatnya produksi telah dikurangi.
Kekuatan politik dan pengaruh telah berganti ke sektor finansial, kemudian sebabkan ketidakseimbangan meningkat dan banyak warga AS tidak diuntungkan dari globalisasi.
Sudah umum diyakini jika AS telah menyerahkan manufaktur ke China, dengan tumbuhnya ketidakpuasan di AS karena kegagalan Beijing untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma ekonomi dan demokrasi liberal.
Keraguan telah muncul atas apakah China bahkan harus diterima di Organisasi Perdagangan Dunia.
Kemudian penyebab ketegangan ini terus berlangsung adalah defisit perdagangan global AS, yang tercermin dalam tingkat penghematan yang rendah di AS.
Hal ini disebabkan penurunan tabungan domestik, sebagian besar investasi domestik AS dibiayai dengan meminjam dari luar negeri.
Utang AS sudah makin besar sehingga seluruh dunia tidak akan dapat meminjamkan ke AS jika mereka tidak memiliki surplus perdagangan dengan itu.
Secara singkat, defisit perdagangan global AS adalah cerminan tingkat tabungannya yang rendah relatif dibandingkan tingkat investasinya.
Sampai tingkat tabungan AS naik atau tingkat investasi turun, tidak ada jumlah liberalisasi perdagangan di luar negeri yang akan secara signifikan mengurangi defisit perdagangan AS.
Liberalisasi perdagangan selektif di luar negeri hanya mempengaruhi negara-demi negara distribusi defisit perdagangan global AS, bukan ukuran keseluruhannya.
Sudah jelas, solusi dari hal ini terletak pada kerangka keuangan dan ekonomi global yang mendorong setiap peserta untuk mengembangkan kebijakan distribusi kekayaan yang merata, daripada memicu konfrontasi di antara negara-negara.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini