Intisari-online.com -Hubungan China dan Australia belum menunjukkan kondisi yang membaik.
Malah sepertinya hubungan itu semakin memburuk.
Media Australia mengatakan awal minggu ini jika Canberra sedang memeriksa sebuah penelitian antara dua negara.
Penelitian tersebut merupakan penelitian bilateral Victoria-Jiangsu Programme for Technology and Innovation Research and Development.
Penelitian itu diteliti lagi karena ada bukti yang tunjukkan jika penelitian itu melanggar kepentingan nasional Australia.
Diteken tahun 2015 dan diperbarui pada 2019, penelitian itu menghubungkan pebisnis dan universitas di negara bagian Victioria dengan mitra mereka di provinsi Jiangsu, China.
Pendanaan juga disediakan lewat penelitian itu, mencapai 200 ribu Dolar Australia (Rp 2.2 Miliar) untuk berbagai riset dan perkembangan di bidang manufaktur, teknologi bersih dan perlindungan lingkungan.
Mantan kepala analisis China di Departemen Pertahanan Australia, Paul Monk, mengatakan minggu ini jika perjanjian Jiangsu dapat membocorkan kekayaan intelektual Australia.
"Taruhan untuk memberangus Victoria-Jiangsu Programme for Technology and Innovation R&D, yang diteken pada 2015, jelas-jelas berniat sebagai aksi balas dendam Perdana Menteri Australia Scott Morrison karena penolakan China atas impor dari Australia," ujar editorial terbitan koran pemerintah China Daily Selasa kemarin.
"Menjadi kekecewaan bagi siapa saja yang berharap kondisi membaik, pemerintah Australia semakin membuat hubungan bilateral memburuk.
"China tidak punya niat mencari hegemoni global.
"China mengejar kebangkitan damai, dan mencari cara mengembangkan hubungan setara dan timbang balik dengan semua negara.
"Namun, nampaknya pemerintah Australia yang sekarang tidak senang akan itu.
"Melihat prisma ideologi dan geopolitik, Australia melihat gambar China yang terdistorsi, dan melihatnya sebagai ancaman."
Minggu lalu saat ditanyai apakah ada kesempatan dua negara dapat berbicara tingkat pemerintahan, Menteri Hubungan Luar Negeri China mengatakan jika saluran diplomasi tetap terbuka dan mereka akan berniat berhubungan jika Australia tunjukkan ketulusan untuk diskusi bermartabat melalui "aksi yang nyata".
China berang dengan Australia sejak Australia mendorong investigasi internasional mencari asal muasal virus Corona tanpa berkonsultasi pada Beijing.
Akibatnya, perdagangan dua negara terkena dampak langsung.
China telah terapkan sanksi anti-dumping dan anti-subsidi untuk jelai dan anggur Australia.
Mereka juga telah menolak secara tidak resmi perdagangan beberapa produk termasuk batubara, kapas dan lobster.
Selasa lalu, Senator Australia Jim Molan bergabung dengan jumlah politikus 'bangku belakang' Australia yang semakin meningkat.
Jim Molan meminta tindakan tegas terhadap China dengan mengatakan pada acara wawancara TV di salah satu saluran TV Australia, Seven Network, jika ia khawatir mengenai ketegangan terbaru antara China dan AS dan Australia bisa sebabkan konflik militer.
Mantan Mayor Militer Australia mengatakan hal itu "kemungkinannya lebih besar daripada yang sudah muncul sekarang" jika China dapat perang dengan AS dan mendesak pemerintah Australia untuk menyiapkan "skenario terburuk".
Ia menuding tindakan agresif China dengan Taiwan dan Laut China Selatan sebagai contoh.
Meski begitu konflik itu ditakutkan akan semakin berkembang hebat.
Capital Economics mengatakan minggu lalu jika mereka memperkirakan ketegangan itu akan tetap tidak pasti, dan mengestimasi perang dagang akan merusak PDB Australia sebesar 1,8% karena produk-produk itu berkontribusi pada penghasilan Australia.
Mengambil posisi jika dua ekspor kunci Australia ke China, bijih besi dan gas alam cair akan berkurang, PDB Australia dapat memburuk lebih jauh lagi, sampai 2,8%, lebih-lebih jika China menargetkan lebih banyak ekspor minor, seperti dipaparkan analis Capital Economics Marcel Thieliant.
"Sementara Australia seharusnya mampu memindahkan pengiriman ke negara lain, ketegangan perang dagang adalah alasan lain mengapa ekonomi Australia tidak akan kembali ke posisi sebelum virus Corona menyerang," papar Thieliant di South China Morning Post.
Pada 2019, PDB Australia tumbuh sebanyak 2.2% menurut Biro Statistik Australia.
Thieliant mengatakan setelah menghapus nilai ekspor kunci bijih besi, gambaran umum tunjukkan jika ketegangan perang dagang telah berdampak pada PDB Australia.
Harga bijih besi telah meningkat menembus rekor 9 tahun dalam beberapa minggu saja, membuat China mempertanyakan harga itu dengan tambang Anglo-Australia Rio Tinto dan BHP.
Perdagangan tidak hanya menjadi satu-satunya yang terdampak konflik ini, dengan rencana menghentikan perjanjian Jiangsu mengerucut pada kritik umum perjanjian akademik China-Australia dan perdagangannya serta kesepakatan bisnis.
Hal ini termasuk dengan perjanjian Belt and Road Initiative Victoria dengan China.
Kekhawatiran Australia mengenai campur tangan dari mahasiswa China dan pebisnis China lima tahun terakhir juga membuat konflik meningkat.
Dokumen Belt and Road Victoria meskipun tidak mengikat tapi mempelopori RUU Hubungan Luar Negeri yang baru diberlakukan, memberi kekuatan pemerintah Australia untuk hancurkan perjanjian apa pun, termasuk program akademik dan penelitian.
Pengawasan ini bisa membahayakan tingginya tingkat kerja sama akademik antara kedua negara, seperti penelitian yang dibuktikan oleh Australia-China Relations Institute (ACRI) di University of Technology Sydney.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini