Advertorial
Intisari-online.com -Australia sekarang sedang di bawah tekanan hebat dari China.
Serangan ini terjadi dalam dua bentuk: sanksi perdagangan dan ancaman retorika.
Sanksi perdagangan dimulai sejak Mei saat China menuduh Australia lakukan 'dumping' pada produk barley yang diekspor ke China dengan terapkan tarif senilai 80%.
Dumping berarti suatu perusahaan mengekspor produk dengan harga lebih rendah daripada harga normal di pasaran dalam negerinya sendiri.
Dumping sering terjadi jika pemerintah pengekspor menyediakan subsidi atau keuntungan pajak kepada produsennya.
Sejak saat itu, China menuduh berbagai masalah atas barang dari Australia dan terapkan impor terbatas dari daging sapi, lobster dan kayu.
Ada juga laporan bea cukai China mengatakan kepada para pengimpor untuk tidak membeli gula dan tembaga Australia.
Lebih dari 80 kapal membawa batubara Australia yang senilai lebih dari miliaran dolar yang bahkan tidak bisa masuk ke pelabuhan China.
Batubara ini ditahan atas kekhawatiran mengenai "standar lingkungan".
Dalam perkembangan terbaru, China mengklaim Australia telah lakukan dumping anggur dan menerapkan tarif 107% sampai 200% dari impor anggur Australia.
Hal itu secara efektif akan menutup 1,2 miliar Dolar dari pasar untuk produsen anggur Australia.
Satu sanksi adalah kesempatan, dua sanksi adalah kebetulan, dan ketiga kalinya adalah kampanye yang telah direncanakan.
China telah setidaknya berpura-pura bahwa ada dasar legit atas berbagai sanksi dagang mereka.
Sejauh ini tidak ada kepura-puraan untuk ancaman tersebut, China telah sangat terbuka dan tegas.
April lalu, editor Global Times media pemerintah China, mengatakan "Australia selalu di sana, membuat masalah.
"Ini seperti permen karet menempel di sol sepatu China. Terkadang Anda harus mencari batu untuk menggosoknya."
Sementara editorial di Global Times Juni lalu memperingatkan bahwa "Australia akan membayar harga tak tertahankan" jika mereka terlalu dekat dengan kebijakan luar negeri AS.
Hubungan sendiri memburuk sejak 2018, Australia menolak 5G dari Huawei, dan mengkritik perlakuan Uighur di Xinjiang, tekanan demokrasi di Hong Kong dan aktivitas militer mereka di Laut China Selatan.
Namun sejak Perdana Menteri Australia meminta investigasi internasional untuk mencari asal-usul virus Corona, China tidak bisa tinggal diam.
Periode 2019-2020, 39% barang ekspor Australia melayang ke China tapi hanya 1,9% barang China melayang ke Australia.
Kira-kira 12% turis di Australia datang dari China tapi Australia hanya menyumbang 1% turisme China.
Sementara ada 260 murid China terdaftar di Australia pada 2019, dan hanya sedikit murid Australia terdaftar ke China.
Artinya, China tidak begitu memerlukan kemitraan dengan Australia, jika bisa dengan cepat mengganti mereka.
Ini merupakan perang dagang yang tidak bisa dimenangkan Australia, sekarang pertanyaannya berapa banyak kerugian yang bisa mereka tahan.
Banyak ahli menyebut China bisa kemudian beralih ke Selandia Baru untuk menjadi pemasok anggur, batubara, kiwi dan kayu untuk Beijing.
Ada juga peningkatan signifikan untuk pendidikan dan sektor wisata.
Namun Selandia Baru juga menghadapi risiko tinggi, dan jika mereka membuat China kesal, pastinya akan kalah.
Baru-baru ini Selandia Baru sudah diancam China saat juru bicara senior mengingatkan anggota kerjasama intelijen Five Eyes termasuk Selandia Baru jika "mereka berani melanggar kedaulatan China, mereka harus siap mata mereka dicungkil dan dibuat buta."
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini