Intisari-online.com -Akhir tahun 2020 ini dunia dikejutkan dengan penolakan China untuk produk impor dari Australia.
Padahal, China adalah pasar utama untuk semua produk ekspor Australia.
Mulai dari jelai, anggur, bijih besi, daging sapi, batubara dan masih banyak komoditas lain, semua yang dari Australia ditolak China.
Konflik perdagangan ini desas-desusnya memang sudah lama terjadi, dan hanya baru-baru ini saja memanas menjadi perang dagang.
Meski begitu, dari perang dagang ini menimbulkan perubahan harga komoditas yang dimaksudkan.
Bijih besi dikabarkan mengalami kenaikan harga, meningkat hampir sampai rekor tertinggi harga komoditas ini sejak 2011 lalu.
Hal itu terjadi setelah Asosiasi Besi dan Baja China (CISA) mengadakan pembicaraan minggu lalu dengan perusahaan Australia Rio Tinto dan BHP.
Rio Tinto dan BHP adalah dua dari tambang-tambang bijih besi terbesar di dunia.
Pembicaraan itu membahas mengenai bagaimana mengontrol harga bijih besi.
Peningkatan harga bijih besi meningkat dari 160 Dolar AS per ton (Rp 2,2 Juta) mencapai 161,5 Dolar AS per ton (Rp 2,3 Juta) Senin lalu.
Padahal, minggu lalu harganya sempat turun mencapai 153 Dolar AS per ton (Rp 2,1 Juta).
Mengutip South China Morning Post, analis membeberkan mengapa harga bijih besi bisa meningkat padahal penjualan bijih besi terkendala.
Hal ini karena koreksi di tahun mendatang, seiring dengan permintaan China untuk pembuatan baja diharapkan meningkat.
Meski begitu hal ini masih bisa gagal karena ada spekulasi liar melalui perdagangan turunan bijih besi.
Sehingga dalam jangka waktu pendek, meskipun China menolak bijih besi mereka, Australia masih bisa menjualnya dalam harga mahal.
Deloitte Access Economics dalam analisisnya untuk hasil budget Australia minggu lalu, mengatakan jika konflik itu telah menjadi sumber rejeki yang membuat nyaman Australia.
Meski begitu, Australia harus mengalami kekurangan penjualan komoditas lain termasuk lobster, jelai dan batubara.
Sayangnya, kesenangan Australia ini bisa jadi tidak berlangsung lama.
Perang dagang telah juga memperkenalkan rasa takut di pasar, membuat kekhawatiran jika China bisa saja menghancurkan seluruh impor bijih besi dan menormalkan harga bijih besi di pasar.
"Pasar masih khawatir jika China akan bertindak lagi.
"Dari itu mereka merespon dengan gugup dengan cara meningkatkan harga bijih besi," tulis catatan tersebut.
"Rasa takut yang menimbulkan meningkatnya pajak itu bukanlah satu-satunya yang menentukan harga.
"Pasar juga khawatir hujan lebat menyebabkan terganggunya suplai keluar dari Brasil, dan suku bunga yang rendah menyebabkan harga dolar AS jatuh."
"Intinya adalah perang dagang China dengan Australia malah membuat Australia meraup untung lebih banyak daripada kehilangan uang," papar Deloitte.
Tidak hanya itu, nilai untuk penambang bijih besi kecil-kecilan di Australia telah melonjak juga di bursa Australia selama beberapa bulan terakhir.
Hal ini terjadi akibat dari harga tinggi.
Pakar dan CISA memprediksi jika untuk tahun depan, permintaan China untuk bijih besi akan turun karena stimulus pandemi mulai berpengaruh.
Selanjutnya, tambang akan memotong produksi karena keuntungan rendah dan sumber bijih besi untuk China kedua, yaitu Brasil, akan melanjutkan produksi penuh.
Hal ini justru akan menyebabkan harga yang rendah, karena permintaan pun juga tidak tinggi.
Satu-satunya pencegah hal ini adalah harga produk turunan bijih besi yang bisa membuat harga bervariasi.
Senin lalu, bijih besi berjangka di Dalian Commodity Exchange China mencapai rekor tertinggi 1135 yuan atau 173,69 Dolar AS per ton (Rp 2,4 Juta).
Harga itu meningkat setelah terjadinya tanah longsor di tambang milik Brasil Vale SA.
"Permintaan relatif kuat untuk baja, tapi ada banyak faktor lain yang berperan, termasuk inflasi harga aset," ujar Atilla Widnell, direktur manajer untuk jasa konsultan Navigate Commodities.
"Jika Anda memiliki tingkat suku bunga mendekati nol dan stimulus besar, ada banyak uang panas mencari aset untuk mengembalikan pertumbuhan yang signifikan.
"Kita sudah melihat ini di logam-logam lain, dan sekarang kita melihatnya di logam industri…yaitu melihat komoditas turunan baja sebagai pemain spekulatif dalam pertumbuhan ekonomi tahun depan."
Permintaan yang kuat dari China melawan suplai global yang terbatas akan menyebabkan harga bijih besi meningkat sampai 130 Dolar AS per ton, tapi spekulasi itu semakin menggoreng harga bijih besi dan meningkatkannya sampai harga tertingginya, 160 Dolar AS per ton.
Kemudian pada pertemuan pasar baja China 2021 di Shanghai akhir minggu ini, Luo Tiejun, wakil ketua dari CISA mengatkaan produksi baja China yang abnormal serta konsumsinya akan turun setelah pandemi lebih bisa dikendalikan.
CISA juga mendesak otoritas China untuk mempelajari lebih lanjut pada spekulasi pasar untuk bijih besi dan mempertimbangkan perubahan aturan pasar ekspor impor untuk menghindari distorsi.
Beberapa pakar juga yakin permintaan lebih mendasar akan dengan cepat memperbaiki harga bijih besi, lebih-lebih karena konstruksi properti dan infrastruktur di China melambat di tahun depan.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini