Advertorial
Intisari-Online.com - Film yang dibintangi Mark Wahlberg ini menceritakan perjuangan prajurit Navy Seal Marcus Luttrell yang selamat saat menjalankan misi berbahaya di belakang garis pertahanan kelompok Taliban.
Dari empat anggota Navy Seal yang diturunkan pada misi yang diberi kode Operation Red Wing ini hanya Marcus Luttrell yang selamat, sementara tiga orang rekannya tewas dihujani peluru kelompok Taliban.
Kisah tentara yang sendirian selamat pada operasi militer berbahaya tersebut rupanya tak hanya dialami oleh Marcus Luttrell prajurit pasukan khusus Amerika Serikat Navy Seal.
Prajurit Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang sekarang bernama Kopassus ini juga pernah mengalami pengalaman yang sama.
Nama prajurit tersebut adalah Agus Hernoto, ya satu diantara legenda Kopassus ini bertahan hidup sendirian di tengah kawan-kawannya yang telah gugur pada saat pertempuran di belantara Irian Barat.
Saat Presiden Soekarno menggelorakan Operasi Trikora untuk merebut wilayah Irian Barat dari tangan Belanda, pasukan Kopassus menjadi satu diantara yang diterjunkan di sana.
Satu diantara cerita kepahlawanan Kopassus yang bisa diteladani generasi muda yakni perjuangan Agus Hernoto.
Agus Hermoto Prajurit Kopassus Penyandang 'Bintang Sakti'
penghargaan tertinggi yang diberikan negara untuk para prajurit pemberani.
Keteguhan hati prajurit Kopassus tetap bungkam meski disandera oleh musuh, telah ditunjukan oleh Agus Hermoto.
Nama Kolonel Agus Hernoto menjadi legenda dalam deretan misi prajurit Kopassus.
Agus adalah pejuang tak kenal takut dari Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD) atau sekarang lebih dikenal dengan Komando Pasukan Khusus (Kopassus).
Dilansir dari buku 'Legenda Pasukan Komando, Dari Kopassus Hingga operasi Khusus', Bob H Hernoto, Penerbit Buku Kompas.
Dikisahkan Agus kehilangan kaki kiri dalam sebuah pertempuran membebaskan Irian Barat dari Belanda.
Dalam pertempuran di pedalaman Papua pada pertengahan 1962, Agus dan pasukannya terlibat kontak senjata yang sengit.
Dia terluka parah pada bagian punggung dan kaki kirinya.
Anak buahnya berusaha membopong dan menyelamatkan komandannya.
Namun, di situasi kala itu, Agus memilih jalannya sendiri.
Ia tetap berada di medan pertempuran hingga akhirnya tertangkap dan ditawan oleh tentara Belanda.
Dia tak sudi membocorkan informasi terkait operasi besar-besaran yang dipimpin Benny Moerdani atasannya.
Meski begitu, pasukan Belanda juga memperlakukan Agus sesuai konvensi Jeneva.
Agus dirawat hingga sembuh tapi kakinya terpaksa diamputasi mengingat luka tembaknya sudah membusuk.
Agus masih hidup dan Irian Barat akhirnya jatuh ke tangan Indonesia.
Dikeluarkan Dari RPKAD
Kabar buruk kemudian menghampiri.
Pada akhir 1964, diadakan sebuah pertemuan perwira RPKAD membahas penghapusan tentara cacat dari RPKAD dan Agus termasuk di dalamnya.
Rekan yang sekaligus juga atasannya, Benny Moerdani, berusaha membelanya.
Akibatnya, mereka berdua sama-sama dikeluarkan.
Namun, Agus kemudian sempat bergabung dengan Resimen Tjakrabirawa, Pasukan Pengawal Presiden RI Soekarno (Paspampres)
Sedangkan Benny ditarik ke Komando Cadangan Strategis Angkatan darat (Kostrad) di bawah Mayjen TNI Soeharto.
Di kemudian hari keduanya bergabung dengan tim Operasi Khusus pimpinan Ali Moertopo.
Setiap kali ada operasi intelijen, dipastikan Agus terlibat dan berperan aktif di dalamnya.
Contohnya, Agus pernah terlibat dalam operasi Komodo yang merupakan persiapan menuju serangan Seroja di Timor-Timur.
Agus ditunjuk langsung oleh Kepala BAKIN kala itu, Letnan Jenderal TNI Yoga Soegama, untuk mencari informasi mengenai keberadaan pos-pos musuh dan menentukan "dropping zone" yang aman.
Medali Bintang Sakti
Salah satu informasi menarik yang terungkap dalam buku Legenda Pasukan Komando adalah medali "Bintang Sakti" yang kemudian diterima Agus pada 1987.
Penghargaan itu terkait dengan keberaniannya menanggung derita saat dipaksa membocorkan informasi di Papua pada 1962.
Saat itu yang menerima medali paling bergengsi dari Presiden Soekarno itu cuma Benny dan Untung.
Bintang Sakti diberikan kepada Agus setelah mendapat kesaksian akan keberanian Agus dari perwira Belanda yang pernah menawannya.
Kesaksian disampaikan kepada Benny Moerdani yang saat itu menjabat Panglima ABRI dan berkunjung ke Belanda.
"Saya selalu teringat sosok Pak Agus yang pemberani itu, khususnya jika sedang tugas di hutan Timtim. Keteladanan Pak Agus selalu melekat pada saya," kata mantan Wakil KSAD Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri yang memberikan testimoni dalam buku tersebut.
Kisah Agus sendiri juga tetap diingat oleh Presiden Soeharto sehingga setiap kali bertemu, Presiden RI kedua itu selalu menanyakan kondisi kaki Agus.
Selama hidupnya, Agus mengabdi kepada bangsa dan negara sejak masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan dalam Divisi Brawijaya di Malang.
Dia kemudian bertugas di Batalion Andi Mattalatta di Makasar, Sulawesi Selatan, RPKAD (Kemudian menjadi Koppasus), Operasi Pasukan Khusus (Opsus) di bawah Kostrad, menjadi Opsus di bawah Bakin, dan terakhir di Pusintelstrat Hankam (kemudian bernama Bais ABRI).
Di dalam Opsus Agus bertugas menjadi semacam Komandan Detasemen Markas atau Dandenma) yang mengatur segala hal terkait operasi-operasi opsus.
Ia juga terlibat dalam berbagai operasi Opsus di Irian Barat dan Timor Timur.
Benny Banting Baret Merah
Di sisi lain, Benny Moerdani ternyata masih tidak terima dan marah terkait dirinya yang pernah didepak sebagai anggota RPKAD setelah membela Agus Hernoto.
Kemarahan itu diluapkannya saat menghadiri undangan Kopassus pada tahun 1985.
Seperti dilansir dalam buku 'Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando' karya Hendro Subroto.
Benny yang saat itu menjabat sebagai Panglima TNI diminta untuk memberikan baret merah kehormatan Kopassus kepada Raja Malaysia, Yang Dipertuan Agung Sultan Iskandar.
Sebelum acara dimulai, ia beristirahat di ruang Komandan Kopassus Brigjen Sintong Panjaitan.
Di sana ada pula KASAD Jenderal Try Sutrisno, Wakil KASAD Letjen TNI Edi Sudrajat dan Wakil Komandan Kopassus Kolonel Kuntara.
Ada kejadian mengejutkan di ruangan yang sedang ditempati para perwira tinggi TNI itu.
Saat Brigjen Sintong memberikan baret merah kehormatan Kopassus, Benny membanting baret itu ke meja dan akhirnya jatuh di lantai.
Sontak orang-orang di ruangan itu terkejut saat melihat Benny begitu emosi dan berwajah seram.
Namun pada akhirnya Benny bersedia mengenakan baret itu dan mengikuti acara.
Semua jadi lega dan upacara pun berjalan lancar.
Latihan Mengerikan
Para prajurit Komando Pasukan Khusus alias Kopassus terkenal tangguh dan memiliki segudang kemampuan, mulai dari bergerak cepat, menintai, hingga menembak.
Para prajurit ini juga sering diterjunkan dalam misi-misi yang berbahaya, membuat banyak orang bertanya-tanya seperti apa latihan para prajurit kopassus.
Dengan nama pasukan khusus, tentunya latihan prajurit Kopassus agak 'berbeda' dan memang dilatih secara khusus di beberapa bidang tertentu.
Latihan prajurit Kopassus sempat diceritakan oleh mantan Kepala Staf TNI AD Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo dalam bukunya yang berjudul 'Pramono Edhie Wibowo dan Cetak Biru Indonesia ke Depan'.
Dalam buku biografinya, Pramono Edhie Wibowo yang juga pernah bertugas di krops baret merah itu menceritakan latihan terberat prajurit Kopassus sudah menanti saat sampai di Cilacap.
Ini merupakan latihan tahap ketiga yang disebut latihan Tahap Rawa Laut, calon prajurit komando berinfliltrasi melalui rawa laut.
Pelolosan dan Kamp Tawanan, salah satu materi latihan siswa Komando TNI yang paling berat.
Pelolosan dan Kamp Tawanan, salah satu materi latihan siswa Komando TNI yang paling berat.
Di sini, materi latihan meliputi navigasi Laut, Survival laut, Pelolosan, Renang ponco dan pendaratan menggunakan perahu karet.
Para prajurit Kopassus harus mampu berenang melintasi selat dari Cilacap ke Nusakambangan.
“Latihan di Nusakambangan merupakan latihan tahap akhir, oleh karena itu ada yang menyebutnya sebagai hell week atau minggu neraka. Yang paling berat, materi latihan ‘pelolosan’ dan ‘kamp tawanan’,” tulis Pramono dalam bukunya
Dalam latihan itu, para calon prajurit Kopassus dilepas tanpa bekal pada pagi hari, dan paling lambat pukul 10 malam sudah harus sampai di suatu titik tertentu.
Selama “pelolosan”, calon prajurit Kopassus harus menghindari segala macam rintangan alam maupun tembakan dari musuh yang mengejar.
Dalam pelolosan itu, kalau ada prajurit yang tertangkap maka berarti itu merupakan 'neraka' baginya karena dia akan diinterogasi seperti dalam perang.
Para pelatih yang berperan sebagai musuh akan menyiksa prajurit malang itu untuk mendapatkan informasi.
Dalam kondisi seperti itu, para prajurit Kopassus harus mampu mengatasi penderitaan, tidak boleh membocorkan informasi yang dimilikinya.
Untuk siswa yang tidak tertangkap bukan berarti mereka lolos dari neraka.
Pada akhirnya, mereka pun harus kembali ke kamp untuk menjalani siksaan.
Selama tiga hari pra prajurit Kopassus menjalani latihan di kamp tawanan.
Dalam kamp tawanan ini semua prajurit Kopassus akan menjalani siksaan fisik yang nyaris mendekati daya tahan manusia.
“Dalam Konvensi Jenewa, tawanan perang dilarang disiksa. Namun, para calon prajurit Komando itu dilatih untuk menghadapi hal terburuk di medan operasi.
Sehingga bila suatu saat seorang prajurit komando di perlakukan tidak manusiawi oleh musuh yang melanggar konvensi Jenewa, mereka sudah siap menghadapinya,” tulis Pramono Edhie.
Beratnya persyaratan untuk menjadi prajurit kopassus dapat dilihat dari standar calon untuk bisa mengikuti pelatihan.
Nilai standar fisik untuk prajurit nonkomando adalah 61, namun harus mengikuti tes prajurit komando, nilainya minimal harus 70.
Begitu juga kemampuan menembak dan berenang nonstop sejauh 2000 meter.
“Hanya mereka yang memiliki mental baja yang mampu melalui pelatihan komando. Peserta yang gagal akan dikembalikan ke kesatuan Awal untuk kembali bertugas sebagai Prajurit biasa,” tutup mantan Danjen Kopassus ini.
(*)
Artikel ini telah tayang di Tribunjambi.com dengan judul Kisah Kopassus, Bertahan Hidup Dalam Kepungan Musuh dan Peluru