Advertorial
Intisari-online.com -Saat Covid-19 sudah mengancam hampir di seluruh dunia, ilmuwan mulai paparkan cara untuk menekan penyebaran virus baru ini.
Mereka menyebutnya dengan 'flatten the curve' atau meratakan kurva penyebaran virus Corona.
Kurva yang dimaksud adalah penyebaran Sars-CoV-2 akan membentuk kurva eksponensial yang biasa dipelajari di model matematika.
Kurva eksponensial ini bagi para ilmuwan mengerikan, karena pada tunjukkan jika penyebaran Covid-19 pada awalnya lambat tapi kemudian melonjak dengan drastis.
Hingga akhirnya pada suatu saat akan tercapai puncak dari seluruh penyebaran Covid-19 di hampir semua negara.
Pola penyebaran berbentuk kurva eksponensial ini menariknya terjadi di semua negara yang telah terpapar virus Corona mutasi baru.
Yang ditakutkan ilmuwa adalah ketika mencapai puncaknya, fasilitas kesehatan baik ranjang, ventilator, bahkan tenaga medis tidak ada yang cukup memadai.
Padahal dari waktu puncak sampai dapat mereda lagi diperlukan waktu yang relatif lama.
Oleh sebab itu ilmuwan memaparkan cara agar hal mengerikan tersebut tidak terjadi.
Yaitu dengan meratakan kurva.
Penyebaran Covid-19 terhitung sangat masif, dan jika orang-orang masih abai maka dipastikan semua orang akan terkena penyakit ini.
Namun, dengan cara meratakan kurva, orang-orang bisa tidak terdampak dan virus tidak menyebar dengan masif.
Caranya adalah dengan pembatasan aktivitas sosial seperti menjaga jarak satu sama lain dan isolasi diri.
Jika tidak ada orang yang keluar rumah maka virus tidak akan hinggap pada manusia sebagai inangnya.
Sehingga, pada akhirnya virus Sars-CoV-2 akan mati.
Pemaparan ini berhasil disetujui banyak negara dan mereka lakukan berbagai upaya seperti physical distancing atau bahkan lockdown untuk mencegah warga keluar rumah.
Baca Juga: Serba Serbi Puncak Hujan Meteor Lyrids di Langit Indonesia, Apa itu Meteor Lyrids?
Cara ini, sepertinya berhasil.
Namun mengejutkannya kini banyak yang tidak setuju dengan cara ini,
Bahkan, mereka menganggap cara meratakan kurva bisa jadi cara terburuk untuk melawan pandemi Covid-19.
Mengapa demikian?
Dijelaskan oleh tim ilmuwan internasional yang dipimpin oleh Profesor Liu Yu, Peking University, mengatakan jika cara ini dapat menghancurkan ekonomi dan hanya berdampak sedikit saja dalam memotong rantai infeksi.
Dalam skema meratakan kurva, ilmuwan berharap akan ada titik balik ketika suhu udara sudah dapat membunuh virus Sars-CoV-2 dan vaksin sudah ditemukan.
Namun Profesor Liu Yu mengatakan hal lain.
"Titik balik itu tidak akan datang, jumlah pasien yang mencapai puncak akan tetap sama seperti tanpa dilakukan upaya tersebut," ujarnya.
Tim tersebut juga terdiri dari ilmuwan Harvard, dan artikel mereka telah dirilis dalam platform jurnal online arXiv.org minggu lalu.
"Kami sarankan sebaiknya pendekatan itu dipikir ulang."
Telah dijelaskan sebelumnya, upaya meratakan kurva dilakukan dengan apa yang saat ini di Indonesia berupa himbauan di rumah saja.
Sehingga tempat publik seperti restoran, mall, kedai kopi ditutup kecuali swalayan untuk penuhi kebutuhan rakyat.
Rakyat diminta untuk tetap di rumah agar jumlah infeksi dan kematian baru akan tetap stabil dan tidak melonjak, harapannya agar sistem kesehatan tidak lumpuh.
Sesungguhnya, ide tersebut bukanlah cara untuk mengeliminasi infeksi baru, tapi hanya untuk menghindari ada kasus Corona baru sehingga sistem kesehatan tidak kewalahan.
Tim yang dipimpin oleh Liu Yu mempelajari infeksi harian, penyebaran geografis dari Covid-19, keluaran ekonomi dan transportasi publik di masing-masing negara untuk melihat seberapa efektif kebijakan himbauan di rumah saja tersebut.
Yang mereka jadikan sebagai kunci penting adalah pertukaran antara kontrol epidemi dan perkembangan ekonomi di berbagai negara.
Hasilnya mengejutkan, hanya beberapa negara termasuk Korea Selatan, Qatar, Norwegia dan Selandia Baru yang berhasil menghentikan penyebaran virus dengan gangguan ekonomi sangat kecil.
Sementara negara-negara paling maju di dunia seperti Amerika Serikat, Inggris, dan tiga jajaran penting di Uni Eropa yaitu Italia, Perancis dan Spanyol justru mengalami kelumpuhan ekonomi tanpa ada harapan penyebaran virus berhenti.
Kondisi ekonomi mereka bahkan seburuk negara-negara berkembang seperti Iran dan Laos.
Melansir South China Morning Post, ilmuwan menyalahkan kegagalan ini pada terlalu fokusnya pemimpin dunia pada upaya untuk meratakan kurva dan tidak membuat sistem medis kewalahan tersebut.
Kebijakan itu menghasilkan kekacauan besar di bidang ekonomi dan kehidupan sosial tetapi tidak efektif dalam mengisolasi orang-orang dari sisa populasi dunia.
Bahkan ilmuwan mengatakan jika hal ini jauh lebih buruk daripada tidak melakukan apa-apa.
"Pilihan ini masih menimbulkan 20-60 persen hilangnya output ekonomi, tetapi hanya mendapat 30-40 persen pengurangan jumlah kasus.
"Tentunya hal ini tidak cukup untuk menghentikan penyebaran virus," ujar tim ilmuwan tersebut,
"Hasil penelitian kami tunjukkan jika cara ini adalah skenario terburuk dalam hal efektivitas biaya."
Donald Trump adalah salah satu pemimpin dunia yang berpikir untuk mengangkat larangan selama pandemi, tetapi tim ilmuwan ini berpikir hal tersebut sangat salah dan berbahaya.
Mereka katakan jika melonggarkan larangan lockdown tanpa lakukan peningkatan kapasitas kontrol infeksi seperti rapid test dengan sangat cepat dapat ciptakan bencana sosial seperti yang terjadi di Ekuador.
Perlu Anda ketahui, Ekuador mengalami hal mengerikan di mana jasad korban virus Corona terbungkus kardus dan ditinggalkan bergeletakan di jalan karena terlalu banyak orang yang meninggal dunia.
Kebijakan Donald Trump juga dianggap oleh petugas medis senior termasuk Anthony Fauci, kepala National Institute of Allergy and Infectious Diseases yang menyebutkan membuka keran ekonomi terlalu cepat justru akan menyerang balik negara mereka.
Solusi dari Ilmuwan
Ilmuwan tawarkan satu solusi dari hasil penelitian mereka.
Yaitu dengan ketatkan lockdown dan secara masif tes semua warga negara dan tingkatkan isolasi pasien.
Jika masing-masing pasien menginfeksi kurang dari satu orang lainnya, penyebaran virus Sars-CoV-2 pada akhirnya akan dapat tertanggulangi.
Caranya dengan larangan lebih ketat dalam aktivitas publik dan pembangunan rumah sakit sementara untuk menampung hanya pasien Covid-19 supaya mereka tidak menginfeksi yang lain.
Penelitian juga tunjukkan jika larangan bepergian telah membatasi dampak penyebaran virus Sars-CoV-2.
Dalam 10 jam sebelum lockdown di Wuhan, lebih dari 300 ribu warga melarikan diri ke wilayah China lainnya tetapi mereka tidak menyebabkan ledakan infeksi di seluruh China.
Larangan terbang Amerika dari Eropa pada Maret kemarin tidak efektif karena wabah tersebut sudah ada di kota-kota di Amerika, demikian menurut tim ilmuwan.
Selanjutnya, strategi China untuk mengeleminasi infeksi memang cara paling efektif untuk menekan ledakan infeksi, tetapi tidak dapat bertahan lama karena biayanya yang sangat mahal, dengan 40-90 persen output ekonomi hilang dalam sebulan.
Ilmuwan sarankan para pemimpin negara ikuti cara 'kurang ketat' tetapi sama-sama strategi efektif yang dilakukan oleh Korea Selatan dan Selandia Baru.
Mereka berhasil mempertahankan kurang dari 10 kasus per hari dan hanya menderita kehilangan ekonomi 0.5 sampai 4 persen saja.
Seorang Profesor Kesehatan Masyarakat dari Stony Brook University di New York yaitu Jaymie Meliker mengatakan model dari ilmuwan ini terbatas karena tim Liu tidak memberi harga pada masing-masing nyawa yang meninggal karena pandemi.
"Aku tidak dapat temukan berapa harga mereka estimasi dari nyawa dalam model manfaat biaya mereka," ujarnya.
"Jika rumah sakit kewalahan dan banyak orang sekarat karena itu, maka kita perlu menghitung berapa harga nyawa-nyawa mereka yang meninggal dalam model tersebut.
"Hal itu diperlukan agar dapat evaluasi pro dan kontra pada berbagai cara penanganan pandemi ini."
Baca Juga: Rasakan Manfaat Daun Pacar Cina untuk Kesehatan, Termasuk Sakit Sendi Hingga Cegah Kanker
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini