"Awalnya saya ingin dia disilet-silet, dikulitin, sudah gitu kasih cuka atau garam supaya tahu betapa sakitnya terkena bom, menderitanya. Dampaknya bukan pada saat itu saja, setelah itu harus menghadapi masa-masa susah. Luar biasa perjuangan hidup itu," cerita Iwan menceritakan awal pertemuannya dulu.
Rasa dendam dan keinginan untuk melihat terpidana disakiti menjadi sirna, katanya, setelah melihat bagaimana Hassan bereaksi menanggapi ceritanya.
"Saat saya cerita anak-anak saya direnggut kebahagiaannya karena ibunya meninggal, dampak dari kejadian bom itu, Hassan langsung matanya penuh air mata."
"Dia bilang kisas, dia menggigil, ambil mata saya, Pak Iwan berhak, ambil mata saya ... saya peluk dan saya bilang saya ke sini, bukan untuk menghakimi Bapak, saya ingin bersilaturahmi. Saya Muslim, Bapak Muslim, tapi Muslim yang saya ketahui bukan seperti ini pak. Saya peluk dia," tambah Iwan lagi.
"Intinya dia bilang sabar dan minta maaf sedalam-dalamnya, kalau Pak Iwan mau mengkisas, mata dengan mata dan kalau Pak Iwan yang eksekusi, saya ikhlas katanya," kata Iwan mengingat momen saat dia mulai belajar memaafkan.
"Dia bilang, Pak Iwan calon orang-orang surga. Kata dia Pak Iwan tak usah khawatir, istri Pak Iwan jaminannya surga," katanya tersengguk.
Selama berbulan-bulan, Iwan dirawat di rumah sakit karena mata kanannya tertancap besi bara.
Istrinya yang melahirkan malam itu juga selalu kesakitan selama dua tahun akibat "besi berkarat yang bersarang di tubuh" dan menyebabkan luka dalam.
Source | : | Kompas |
Penulis | : | Maymunah Nasution |
Editor | : | Maymunah Nasution |
KOMENTAR