Advertorial
Intisari-online.com -Pernahkah membayangkan sidang kasus Reynhard Sinaga dilangsungkan di pengadilan Indonesia?
Dipastikan, ceritanya akan berbeda dengan apa yang telah berlangsung di ruang pengadilan Inggris.
Reynhard Sinaga (36) terbukti melakukan 190 kasus pemerkosaan dan serangan seksual terhadap 48 pria, 3 pria di antaranya termasuk homoseksual dan sisanya pria heteroseksual.
Pria asal Indonesia yang sedang melakukan studi S3 tersebut dijatuhi hukuman seumur hidup oleh pengadilan Manchester, baru-baru ini.
Modus operandinya adalah tiap kali melakukan aksinya, dia membius korban terlebih dahulu.
Kasus mulai tercium polisi saat ada salah satu korban yang terbangun saat Reynhard melakukan aksinya, dan akhirnya memutuskan lapor ke polisi.
Nah, sekarang, apa jadinya jika Predator itu melangsungkan aksi di Indonesia dan dikenai hukuman di pengadilan Indonesia?
Jika kita lihat kembali hukum Indonesia, rupanya kasus Reynhard sangatlah sulit diusut dengan hukum Indonesia.
Baca Juga: Jika Perang Terjadi, 10 Perusahaan Ini Justru Akan Untung Besar, Kebanyakan Perusahaan dari AS
Pasalnya, hanya ada 2 perangkat hukum yang mengatur masalah kekerasan seksual: KUHP Pasal 285 dan Pasal 289 sampai 296 KUHP.
KUHP Pasal 285 menjelaskan sebagai berikut:
Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.
Sehingga, apa yang telah dilakukan Reynhard dengan bukti berupa rekaman video hingga lebih dari 3 Terrabyte tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai pemerkosaan.
Jelas tertulis, jika yang dimaksud pemerkosaan di Indonesia adalah tindakan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang berupa paksaan, dengan adanya penetrasi penis ke vagina.
Pasal 289 sampai Pasal 296 KUHP menjelaskan tentang perbuatan cabul, berbunyi sebagai berikut:
Pasal 289 : Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Pasal 290 : Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:1. barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya;
Baca Juga: Meski Keduanya Menyehatkan, Mana yang Lebih Baik Berlari di Treadmill atau Luar Ruang?
2. barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umumnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin;
3. barang siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain.
Pasal 291: (1) Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 286, 287, 289, dan 290 mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun;
(2) Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 285. 286, 287, 289 dan 290 mengakibatkan kematian dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Pasal 292: Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Pasal 293: (1) Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan perbawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan penyesatan sengaja menggerakkan seorang belum dewasa dan baik tingkah-lakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum kedewasaannya, diketahui atau selayaknya harus diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu.
(3) Tenggang waktu tersebut dalam pasal 74 bagi pengaduan ini adalah masing-masing sembilan bulan dan dua belas bulan.
Baca Juga: Menengok Daftar Rudal Balistik yang Dimiliki Oleh Amerika dan Iran, Mana yang Lebih Unggul?
Pasal 294: (1) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun dengan bujangnya atau bawahannya yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama:1. pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya,
2. pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara, tempat pekerjaan negara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit jiwa atau lembaga sosial, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan ke dalamnya.
Pasal 295: (1) Diancam:1. dengan pidana penjara paling lama lima tahun barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul oleh anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, atau anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau oleh orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya, ataupun oleh bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur, dengan orang lain;
2. dengan pidana penjara paling lama empat tahun barang siapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul, kecuali yang tersebut dalam butir 1 di atas, yang dilakukan oleh orang yang diketahuinya belum dewasa atau yang sepatutnya harus diduganya demikian, dengan orang lain.
(2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan itu sebagai pencarian atau kebiasaan, maka pidana dapat ditambah sepertiga.
Pasal 296:Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satin tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.
Lebih mudahnya, di Indonesia pemaksaan penetrasi ke anal hanya dimaksud sebagai tindakan pencabulan, bukan pemerkosaan.
Pemerkosaan di Indonesia masih sebatas pemaksaan penetrasi penis ke vagina, sehingga di luar kasus itu hanya termaksudkan di pasal pencabulan.
Dari pasal-pasal pencabulan dapat dilihat jika hukumannya lebih ringan daripada pemerkosaan.
Kondisi ini menunjukkan bagaimana hukum Indonesia masih sangat terbatas memandang perkara kekerasan seksual.
Hukum Indonesia masih sangat jauh dari Inggris yang mampu menjatuhi Reynhard dengan hukuman maksimal.
Pasalnya, hukum Inggris sudah mengakomodasi bentuk-bentuk kekerasan seksual yang cukup beragam dan dapat menimpa siapa saja, tidak terbatas gender dan usia.
Trauma dari semua kekerasan seksual berbentuk sama dengan trauma pemerkosaan, kerugiannya pun sama.
Ironisnya, dua hukum terkuat untuk menjerat pemerkosa di Indonesia itu masih sulit untuk menangkap pelaku disebabkan pembuktian terkait hal tersebut sulit dilakukan.
Uli Pangaribuan, seorang pengacara publik dari LBH APIK, menjelaskan, realitanya saat pengadilan kasus kekerasan seksual, cara pembuktian pasal 285 adalah adanya kekerasan, dilihat dari perlawanan korban.
Sehingga akan kerap muncul pertanyaan seperti: "kamu melakukan apa saat terjadi pemerkosaan? Berapa kali? Gimana perasaanmu? Posisinya gimana?"
Pertanyaan-pertanyaan tersebut memojokkan korban, dan membuat korban yang sudah trauma menjadi semakin takut untuk mengusut kasusnya karena ada prasangka jika korban juga 'suka' diperlakukan seperti itu.
Jika tanpa perlawanan, akan lebih dianggap kejadian suka sama suka, terlebih jika konteksnya adalah keduanya pacaran, akan lebih sulit bagi korban pemerkosaan membela dirinya.
Dapat kita artikan pula dari pasal 285, sanksi yang menjerat tidak didasarkan pada jumlah korban.
Hal ini berbeda sekali dengan bentuk hukuman yang diterima Reynhard di pengadilan Inggris.
Uli menjelaskan, di Inggris sanksi didasarkan pada jumlah korbannya, semua dihitung total berapa kerugian masing-masing lalu dijumlahkan.
Kontras sekali dengan Indonesia, yang hanya melihat sanksi sesuai dengan pasal yang telah dilanggar.
Oleh sebab itu, di Indonesia pemerkosa predator sebanyak apapun akan tetap mendapatkan sanksi untuk 1 korban saja.
Sementara itu, seorang peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati mengatakan jika hukum Indonesia belum progresif menangani masalah kekerasan seksual.
Menurutnya, dalam konteks progresif, pemerkosaan harusnya dirumuskan dalam gender neutral, tidak hanya terbatas paksaan penetrasi penis ke vagina dan tidak hanya berkonteks di luar perkawinan.
Justru, menurutnya titik tekan hukum pemerkosaan diberatkan pada "tidak adanya persetujuan, atau persetujuan tidak diberikan dalam keadaan beban, atau korban pada kondisi tertentu tidak memiliki kapasitas untuk memberikan persetujuan, misal pingsan atau diracun."
Pun, kita semua tahu, aparat justru terfokus pada kondisi korban.
Baca Juga: Masuki Musim Hujan, Waspadai Gejala Tifus pada Bayi, Salah Satunya Bayi Gelisah Terus
Misalnya pada kasus Reynhard, korbannya adalah pria yang keluar kelab malam dan sedang mabuk.
Pastinya, kondisi tersebut justru semakin membebankan prasangka pada korban, karena ia sedang mabuk.
Aparat Indonesia justru tidak melihat kenyataan jika pada kondisi tersebut, korban dalam keadaan lemah dan tidak dapat memberikan persetujuan atau bahkan perlawanan saat sudah terjadi pemaksaan dan kekerasan seksual.
Masih juga beredar anggapan bagi aparat jika pemerkosa pasti orang asing bagi korban, pemerkosaan pasti menyebabkan luka, serta seharusnya korban langsung berani melapor tindakan tersebut.
Justru, banyak kekerasan seksual terjadi oleh orang terdekat, yang lihai tanpa menimbulkan kekerasan dan trauma yang ditinggalkan sangat membekas sampai korban tidak berani membuka masalahnya ke aparat hukum.
Memang kasus pemerkosaan dalam ranah sesama gender masih tabu di Indonesia, sebab hubungan seksual sesama gender juga masih tabu.
Sehingga agar hukuman yang dihadapi Reynhard tidak berhenti di diskriminasi akibat orientasi seksualnya, pembuat kebijakan perlu belajar dari kasus ini.
Aturan di Inggris itu bisa diadopsi di Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), peraturan yang belum disahkan dan masih diteruskan di DPR periode sekarang.
Baca Juga: Ini Gejala Kolesterol Darah Melonjak Tinggi, dan Waktu Ideal untuk Memantau Kolesterol
RUU PKS banyak menambal kekosongan soal kekerasan seksual dalam KUHP.
Bahkan, dalam drafnya, pemerkosaan terhadap laki-laki juga diakui.