Gegara Letusan Gunung Api di NTB, Napoleon Bonaparte Kalah Perang, Dunia Masuk Tahun Tanpa Musim Panas, Sepeda pun Tercipta

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Pelukis Britania melukiskan bagaimana kondisi langit setelah meletusnya Gunung Tambora pada 1815.  Letusan itu disebut menyebabkan dunia masuk pada tahun tanpa musim panas dan Napoleon Bonaparte kalah perang (Wikipedia Commons)
Pelukis Britania melukiskan bagaimana kondisi langit setelah meletusnya Gunung Tambora pada 1815. Letusan itu disebut menyebabkan dunia masuk pada tahun tanpa musim panas dan Napoleon Bonaparte kalah perang (Wikipedia Commons)

Letusan Gunung Tambora 1815 disebut menyebabkan dunia masuk pada tahun tanpa musim panas dan Napoleon Bonaparte kalah perang. Letusan ini juga disebut "melahirkan" sepeda.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Pernahkah kalian membayangkan bahwa kekalahan Napoleon Bonaparte di Eropa sana pada 1815 lalu salah satunya salah satunya disebabkan oleh apa yang terjadi Sumbawa, Nusa Tenggara Barat? Tak hanya itu, kejadian tersebut juga membawa dunia masuk pada tahun-tahun tanpa musim panas.

Ada beberapa letusan gunung api superdahsyat di Indonesia, salah satu di antaranya yang paling monumental adalah letugan Gunung Tambora pada 1815. Letusan ini disebut membuat Napoleon Bonaparte kalah perang dan dunia pun masuk tahun-tahun tanpa musim panas.

Erupsi Gunung Tambora memiliki skala VEI 7 (dari 1-8). Sebuah laporan ilmiah menganalisis bagaimana dampak letusan Gunung Tambora menyebabkan dunia lumpuh. Letusan Gunung Tambora juga disebut berdampak terhadap jalannnya Perang Napoleon -- yang berakhir dengan kekalahan Napoleon di Waterloo ketika menghadapi tentara Sekutu.

Disebutkan bahwa muntahan abu vulkanik yang mengandung listrik Gunung Tambora melesat ke atmosfir bumi hingga menyebabkan memburuknya cuaca global. Letusan Tambora juga disebutkan mengubah sejarah Eropa pascapeperangan di Waterloo.

Kita tahu, Napoleon kalah dari tentara Sekutu karena cuaca buruk. Medan perang menjadi berlumpur akibat turunnya hujan deras yang membantu gerakan tentara sekutu untuk mengendap-endap dalam medan yang basah.

Tapi tak banyak yang tahu bagaimana cuaca buruk itu terjadi. Para sejarawan percaya, Gunung Tambora di Pulau Sumbawa yang meletus dua bulan sebelum peperangan itulah yang telah mengantarkan dunia pada 'Tahun Tanpa Musim Panas' pada 1816.

Akibat letusan itulah turun hujan lebat di Eropa hingga menguntungkan pasukan sekutu untuk mengalahkan Napoleon Bonaparte.

Temuan tersebut kemudian dipublikasikan dalam Jurnal Geologi, menunjukkan bahwa letusan telah menghempaskan abu jauh lebih tinggi dari yang diperkirakan sebelumnya ke atmosfer - hingga 100 kilometer di atas tanah. "Penelitian saya, bagaimanapun, menunjukkan bahwa abu vulkanik dapat didorong ke atmosfer oleh kekuatan listrik," ungkap Dr Grenge, peneliti.

Serangkaian percobaan menunjukkan bahwa kekuatan elektrostatik dapat mengangkat abu jauh lebih tinggi daripada dengan daya apung sendiri. Dr Genge menciptakan sebuah model untuk menghitung seberapa jauh abu vulkanik yang bermuatan bisa naik, dan menemukan bahwa partikel yang lebih kecil dari 0,2 juta meter dalam diameter bisa mencapai ionosfer selama erupsi besar.

Gumpalan dan abu vulkanik keduanya dapat memiliki muatan listrik negatif dan dengan demikian mendorongnya tinggi di atmosfer. "Efeknya sangat mirip seperti dua magnet didorong menjauh satu sama lain jika kutub mereka cocok," tambahnya.

Hasil eksperimen ini konsisten dengan catatan sejarah dari letusan lainnya. Lantaran minimnya catatan cuaca di tahun 1815, jadi untuk menguji teorinya, Dr Genge memeriksa catatan cuaca setelah letusan 1883 gunung berapi Indonesia lainnya, yakni Gunung Krakatau.

Data menunjukkan suhu rata-rata yang lebih rendah dan mengurangi curah hujan segera setelah letusan dimulai, dan curah hujan global lebih rendah selama letusan daripada periode sebelum atau sesudahnya.

Dia juga menemukan laporan gangguan ionosfer setelah letusan Gunung Pinatubo pada tahun 1991, Filipina, yang mungkin disebabkan oleh abu bermuatan di ionosfer dari gunung api. Selain itu, tipe awan khusus, yakni awan noctilucent muncul lebih sering daripada biasanya setelah letusan Krakatau.

Dr Genge mengemukakan bahwa awan ini memberikan bukti pada terangkatnya debu elektrostatik dari letusan gunung berapi besar.

Dr Genge mengatakan: "Vigo Hugo dalam novel Les Miserables berkata tentang Pertempuran Waterloo: langit yang sangat gelap yang cukup untuk membawa runtuhnya Dunia. Sekarang kita selangkah lebih dekat untuk memahami bagian Tambora dalam Pertempuran itu."

Pertempuran Waterloo berlangsung di Belgia pada 18 Juni 1815. Perang ini menandai kekalahan Napoleon Bonaparte, yang telah menaklukkan sebagian besar Eropa pada awal abad ke-19. Ini adalah pertempuran antaraWellington, dengan tentara Inggris dan Sekutunya, dan Napoleon dengan Garda Kerajaan Prancisnya.

Peristiwa meletusnya Gunung Tambora 1815

Mengutip Kompas.com, Gunung Tambora meletus pada 10 April 1815. Letusan itu melontarkan sekitar 140 miliar ton magma. Tak hanya membunuh lebih dari 71.000 orang di Pulau Sumbawa, tapi abu yang dilepaskannya menciptakan anomali iklim global.

Live Science menyebut letusan Gunung Tambora di Pulau Sumbawa pada 1815 sebagai letusan gunung berapi terbesar dalam sejarah. 10 ribu orang tewas secara langsung akibat letusan dan sisanya menyusul karena bencana kelaparan dan penyakit yang mendera.

Letusan Gunung Tambora dirasakan hingga Eropa dan Amerika. Masyarakan di dua wilayah itu didera bencana kelaparan akibat abu vulkanis Tambora yang menyebabkan tahun tanpa musim panas. Jika kehancuran di sekitar Tambora disebabkan terpaan awan panas, kematian massal berskala global justru disebabkan pendinginan Bumi pasca-letusan.

Pada 1816 tidak terjadi musim panas. Salju turun di bulan Juni di Albany, New York. Total penurunan suhu bumi saat itu mencapai 0,4 sampai 0,7 derajat celsius. Dampaknya adalah kegagalan panen global. Sungai es terlihat pada bulan Juli di Pennsylvania. Ratusan ribu orang mati kelaparan di seluruh dunia.

Yang bisa dibilang sebagai "berkah", letusan Tambora ternyata menginspirasi penemuan sepeda di Eropa. Abu yang disemburkan Tambora mempengaruhi suhu rata-rata dunia turun hingga 3 derajat celcius. Letusan ini juga membuat sejumlah negara di belahan bumi utara tak memiliki musim panas selama satu tahun.

Tanaman gagal dipanen dan banyak binatang ternak mati karena kelaparan, salah satunya adalah kuda yang ketika itu banyak dimanfaatkan manusia untuk sarana transportasi berpindah dari satu tempat ke tempat lain.

Kondisi inilah yang kemudian menginspirasipembuatan sepeda. Pada 1817, orang Jerman bernama Karl von Drais membuat kendaraan dengan dua roda. Ketika itu namanya belum sepeda. Ada yang menyebutnya draisienne, dandy horse, hingga hobby horse. Ketika itu, sepeda belum menggunakan mesin bekecepatan aerodinamis seperti sepeda yang saat ini ada.

Sepeda itu juga beratnya masih 23 kg, rodanya juga terbuat dari kayu, tempat duduknya dari kulit yang dipaku ke kerangka sepeda, sementara bagian stang terbuat dari bahan yang sama dengan roda yakni dari bahan kayu. Pengguna menggerakkan sepeda itu dengan mengarahkan kakinya ke depan.

Drais membawa sepeda temuannya ke Perancis dan Inggris sehingga menjadi begitu populer. Salah seorang warga Inggris, Denis Johnson pun membuat dengan versinya sendiri dan menjualnya kepada para bangsawan London.

Sepeda kala itu menuai kesuksesan selama beberapa tahun hingga akhirnya dilarang karena dinilai membahayakan para pejalan kaki. Setelah sempat menghilang, sepeda kembali muncul di tahun 1860-an. Kali ini, roda sudah terbuat dari baja sementara kerangka masih berbahan dasar kayu.

Ketika itu orang-orang mengenal sepeda sebagai si kaki cepat. Hingga kemudian terciptalah pedal yang mengubah cara kerja sepeda, dari yang sebelumnya digerakkan menggunakan kekuatan yang digerakkan ke depan. Seorang asal Jerman bernama Karl Kech mengklaim bahwa dialah orang pertama yang menyertakan pedal ke sepeda pada tahun 1862. Tapi paten pertama untuk pedal ini diberikan bukan kepada Kech melainkan Pierre Lallement, pembuat kereta Perancis pada tahun 1866.

Begitulah riwayat letusan Gunung Tambora 1815, selain menciptakan bencana juga menghadirkan berkah bagi dunia.

Artikel Terkait