Advertorial

Ternyata, Selama Satu Tahun Ibu Tien Soeharto Pernah 'Nyuekin' Ayah Prabowo Subianto, Tender yang Kelak Bikin Tommy jadi 'Musuh Rakyat' Pemicunya

K. Tatik Wardayati
Ade S

Tim Redaksi

Ketika krisis ekonomi semakin memukul Indonesia, akhir 1997, Sumitro kembali membuat pernyataan tajam
Ketika krisis ekonomi semakin memukul Indonesia, akhir 1997, Sumitro kembali membuat pernyataan tajam

Intisari-Online.com – Prabowo Subianto kini bergabung dalam Kabinet di Pemerintahan Joko Widodo periode 2019-2024.

Ayahnya, yang terkenal sebagai begawan ekonomi, yaitu Sumitro Djojohadikusumo rupanya gemar mengkritik pemerintahan.

Berikut ini mengenal lebih dekat ayah Prabowo Subianto, Sumitro Djojohadikusumo, dalam tulisan yang dimuat di Majalah Intisari edisi Juli 2000 dengan judul Sumitro Djojohadikusumo; Begawan yang Gemar Mengkritik.

Baca Juga: Prabowo Dikabarkan Sudah Cukup dengan Kekayaannya dan Tak Mengambil Gajinya Sebagai Menteri, Simak Hal Ihwal Peraturan Gaji Menteri Berikut!

Perjalanan kariernya sangat panjang dalam dunia akademik dan pemerintahan.

Pada usia muda ia meraih gelar doktor. Umur 33 dipercaya jadi menteri. Selain menjadi guru besar UI, ia pernah menduduki pelbagai jabatan kunci di bidang ekonomi dan pemerintahan.

Tapi ia pun aktif di berbagai forum internasional memperjuangkan nasib republik ini.

Gayanya yang ceplas-ceplos dan blak-blakan menjadi ciri khas. Sebagai "begawan" ekonomi, Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo memang selalu kritis.

Setelah menjadi besan Presiden Soeharto pun ia tetap melancarkan kritik tajam terhadap jalannya roda pembangunan. Baginya, perkawinan anak laki-lakinya Letjen Prabowo Subianto dengan Siti Hediyati (putri Soeharto) pada Mei 1983 hanyalah historical accident.

Baca Juga: Pantas Gaji Sebagai Menhan Dianggap 'Seuprit' Hingga Tak Diambil, Prabowo Punya Kekayaan yang Sangat Luar Biasa Besarnya, Jadi Menteri Terkaya Kedua di Kabinet Indonesia Maju

Salah satu kritiknya yang tajam ialah pernyataannya tentang kebocoran 30% dana pembangunan yang dilansir di Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) ke-12 di Surabaya, November 1993. ISEI sendiri didirikan Sumitro tahun 1955.

Bila Sumitro - yang pada 1985 menjadi anggota seven eminent persons dengan tugas menyusun rekomendasi kepada GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) - sudah kelewat keras mengkritik, biasanya menantunya datang kepadanya untuk menyampaikan pesan Presiden Soeharto.

"Ada apa, Tiek? Ada pesan dari Bapak?" sambut Sumitro.

"Ya, Bapak bilang, Tiek, mertuamu sudah priyayi sepuh kok masih radikal saja'!" ujar Siti Hediyati alias Titiek Prabowo.

Baca Juga: BERITA POPULAR: Nasib Cantrang yang Dilarang Susi Pudjiastuti Tapi Dikaji Ulang Edhy Prabowo Hingga Naluri Ibu Ketika Bayinya Tertukar

"Ya, saya raemang sudah terlalu tua untuk mengubah diril" jawab Sumitro enteng.

Masih soal sinyalemen kebocoran itu, ketika bertemu Sumitro, Soeharto langsung berkata, "Kok, Pak Mitro suaranya begitu?"

Sumitro menjelaskan, sejak mahasiswa ia biasa bicara apa adanya, melihat suatu masalah lalu mencari problemnya kemudian mencari pemecahannya.

"Dalam hal ini problemnya apa? Banyak. Pemborosan. Orang bilang ekonomi biaya tinggi. Bagaimana ini, lalu saya cari fakta, dan faktanya memaing begitu. Kalau Bapak ingin fakta, tanya pada Biro Pusat Statistik," ucap Sumitro, penerima Bintang Mahaputra Adipradana II.

Baca Juga: Dulu Dilarang Susi Pudjiastuti, Kini Edhy Prabowo Putuskan Bakal Kaji Ulang Penggunaan Alat Tangkap Cantrang

Dengan nada agak sinis Sumitro menambahkan, "Saya tidak punya antena ke angkasa luar, Pak. Ini hitung-hitungan berdasarkan analisis ilmiah."

"Alhasil, ini bukan pat gulipat, angka 30% bukan datang dari langit, atau dari paranormal Permadi!" tegas Sumitro, yang pada 1953 oleh Sekjen PBB diangkat sebagai anggota lima ahli dunia (group of five top experts).

Presiden memahami penjelasan itu namun ia menekankan, "Tapi, mbok ya jangan disiarkan, Pak Mitro."

Ketika krisis ekonomi semakin memukul Indonesia, akhir 1997, Sumitro kembali membuat pernyataan tajam.

Baca Juga: Sekarang Jadi Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto Ternyata Pernah Sekolahkan 35 Perwira ke Luar Negeri Pakai Duit Pribadi

Dalam tubuh ekonomi nasional melekat berbagai macam penyakit, seperti distorsi dalam bentuk monopoli, oligopoli, kartel, proteksi yang berlebihan, dan subsidi untuk barang-barang tertentu.

Sumitro melukiskan, "Kalau kita hanya bicara ekonomi moneter, obatnya cukup Aspirin. Tapi kalau institutional diseased sudah perlu antibiotika.

Dan saya yakin bisa diatasi dengan antibiotika, tidak perlu sampai diamputasi, karena masih ada kesempatan untuk segera bertindak.

Namun, paket untuk mengatasi disease itu harus dilakukan tanpa pandang bulu dan tak boleh ada intervensi." {Kompas, 11/1/1998).

Dicuekin Bu Tien

Baca Juga: 4 Fakta 'Pasukan Siluman' Sat-81 Kopassus yang Misterius Produk Duet Maut Prabowo Subianto dan Luhut Binsar Pandjaitan

Menanggapi soal adanya kolusi antara oknum pejabat dengan oknum konglomerat, Sumitro menegaskan, "Saya tidak setuju ada kolusi dengan alasan apa pun. Hal itu harus diberantas!"

la punya pengalaman menarik. Ada pengusaha yang berusaha "menyogok" dengan mengirim bunga kepada istrinya. Di balik bunga itu terselip perhiasan emas dan berlian!

Sumitro memanggil sekretarisnya, Babes Sumampouw, "Babes, apa-apaan ini. Kirim kembali, pulangkan!"

Pengusaha itu datang mengeluh, "Pak Mitro, mengapa begitu?" Sumitro pun menjawab, "Hati-hati kamu, ya, lain kali. Kamu masih untung saya menteri. Sembrono kamu, kasih perhiasan kepada istri saya. Enggak ada orang lain yang berhak memberi perhiasan kepada istri saya. Itu 'kan menghina seorang suami."

Baca Juga: Didaulat Jadi Menhan, Ini Satu Jejak Tempur Prabowo Subianto yang Fenomenal, Buru 'Pentolan' Utama Fretilin di Timor Timur

Pengalaman lain, usai menyelesaikan tender impor cengkeh, Sumitro dikejutkan oleh laporan Ali Moertopo bahwa Ibu Tien Soeharto marah-marah kepadanya.

Ibu Tien berharap Sukamdani yang mendapat tender, tapi kenyataannya yang menang Probosutedjo dan Liem Sioe Liong.

Sejak peristiwa itu, lebih dari setahun Ibu Tien tak mau menegur Sumitro. Kalau mereka berjumpa, Ibu Negara itu melengos, membuang muka.

Biarpun begitu, terhadap Dora Sigar, istri Sumitro, sikap Ibu Tien tetap baik dan mau mengajak bicara.

Meski lima kali menjabat menteri di masa Orde Lama dan Orde Baru, toh ia tetap rendah hati. Seperti yang terjadi ketika ia menghadiri suatu resepsi pernikahan.

Baca Juga: Dinobatkan Jadi Wanita Terkaya di Indonesia, Arini Subianto Berjuang Keras Besarkan Anak-anaknya Seorang Diri

"Monggo ... monggo, Pak, terus lajeng kemawon (Silakan, Pak, terus saja ke depan)," pinta anggota panitia, mempersilakan Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo yang berada dalam antrean para tamu untuk menyalami mempelai.

"Sampun ... matur nuwun (terima kasih)," tolak Pak Cum, panggilan akrabnya. Sementara itu para tetamu VIP dan mereka yang merasa VIP, saling menyalip maju dan sibuk berfoto ria bersama pengantin.

Sikap rendah hati barangkali bawaan sejak lahir. Tetapi sebagai orang tua ia dikenal keras dan disiplin dalam mendidik keempat anaknya.

Buktinya, putri tertua, Ny. Biantiningsih yang istri mantan Gubernur BI J. Soedrajat Djiwandono, sampai memiliki dua gelar kesarjanaan.

Baca Juga: Asal Mula Nama Prabowo Subianto

Begitu juga Ny. Marjani Ekowati, putri kedua yang menikah dengan orang Prancis. Letjen Prabowo Subianto berhasil meniti karier cemerlang sebagai Danjen Kopassus dan Pangkostrad. Lalu si bungsu Hashim Sujono menjadi pengusaha sukses.

Namun di usia senjanya, berbagai cobaan menerpa. Karier Prabowo di militer tamat, Soedradjat Djiwandono sang menantu lengser sebagai Gubernur BI. Tapi keluarga Sumitro tetap tegar.

"I've been through the worst. Ini bukan yang pertama kali!" katanya lantang.

"Ujian buat saya dalam kehidupan jauh lebih dari itu, habis dari menteri lalu tiba-tiba jatuh jadi buronan, ha-haha!" tutur penyandang gelar doctor honoris causa dari Erasmus University Rotterdam ini.

Baca Juga: Dikenal Sebagai Negara Miskin dan Terbelakang, Nyatanya Beginilah Kondisi Ekonomi Korea Utara Sesungguhnya, Anda akan Terkejut!

Doktor di usia muda

Anak pertama keluarga R.M. Margono Djojohadikusumo dan Siti Katoemi Wirodihardjo ini punya riwayat hidup yang cukup mengesankan, seperti tertuang dalam buku Jejak Perlawanan Begawan Pejuang, terbitan Pustaka Sinar Harapan, 2000.

Setamat Hogere Burger School (HBS), pria kelahiran Kebumen, Jawa Tengah, 29 Mei 1917, ini berangkat ke Belanda akhir Mei 1935. Sempat dua bulan "mampir" di Barcelona, Sumitro akhirnya ke Rotterdam untuk belajar.

Dalam tempo dua tahun tiga bulan, gelar Bachelor of Arts (BA) diraihnya. Ini rekor waktu tercepat di Netherlands School of Economics.

Baca Juga: Tanggapan Gerindra Soal Kaitan Prabowo Subianto dengan Peristiwa Krakas

Ia lalu melanjutkan studinya di Universitas Sorbonne, Paris (1937 - 1938).

Antara 1938 - 1939 di Prancis, Sumitro bergabung dengan kelompok sosialis dan berkenalan dengan tokoh dunia seperti Andre Malraux, Jawaharlal Nehru, Henri Bergson, dan Henri Cartier-Bresson.

Sempat ikut latihan militer di Catalonia, tapi gagal masuk Brigade Internasional karena belum 21 tahun umurnya.

Dari Paris, Sumitro kembali ke Rotterdam, melanjutkan studi ekonomi. la memasuki periode penulisan disertasi saat Nazi Jerman menyerang Belanda, 5 Mei 1940.

Baca Juga: Dari Masa Penjajahan Belanda hingga Proklamasi Kemerdekaan, Momentum Sejarah yang Jadi Hari Listrik Nasional

Pimpinan Nederlandse Economische Hogeschool menunjuk Prof. Dr. G.L. Gonggrijp sebagai promotornya.

Disertasinya mengenai "Kredit Rakyat (Jawa) di Masa Depresi" diterbitkan oleh Lembaga Penelitian Ekonomi Nederlands Economische Hogeschool.

Gelar Master of Arts (MA) diraih tahun 1940. Usianya bam menjelang 26 tahun saat ia menyandang gelar doktor ilmu ekonomi.

Belajar jadi "penyelundup"

Baca Juga: Menolak Jabatan Meski Jadi Pengetik Naskah Proklamasi, Sayuti Melik: Paling Lama 5 Atau 10 Tahun Lagi Saya Hidup, Saya Tak Mau Menodai Perjuangan Saya

Pada masa proklamasi kemerdekaan RI, Sumitro tergolek sakit di pembaringan hampir setahun lamanya. Ia menjalan operasi tumor usus besar tanpa antibiotika. Beruntung ia selamat dari ancaman maut.

Pagi, 18 Agustus 1945, Kota Rotterdam dikejutkan oleh berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, di Radio Hilversum. Berita itu memberikan kekuatan" sugestif bagi kesembuhannya.

Saat Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa bersidang di Church House, London, 17 Januari 1946, ia dan Mr. Zairin Zain ikut hadir.

Seusai sidang, Sumitro dan Zairin terbang ke Jakarta. Tiba di rumah orang tuanya, Sumitro disambut suasana duka: dua adiknya, Subianto (21) dan Sujono (16) gugur dalam pertempuran melawan Jepang di Tangerang.

Baca Juga: Diiringi Tangisan, Dora Meminta Maaf pada Aiptu Sutisna

Kenyataan ini memperkuat tekadnya untuk melawan Belanda dalam mempertahankan proklamasi kemerdekaan RI.

Bersama Perdana Menteri Sutan Sjahrir, Sumitro dan Zairin pada 14 Maret 1946 menyusun argumentasi baru untuk menghadapi diplomasi Belanda.

Dunia internasional menolak Agresi Militer Belanda, 21 Juli 1947. India dan Australia, 30 Juli 1947, membawa persoalan Indonesia ke Sidang Dewan Keamanan di Lake Success AS.

Sutan Sjahrir, H. Agus, Salim, Charles Tambu, Sudjatmoko, dan Sumitro Djojohadikusumo ikut hadir.

Baca Juga: Istri Agus Salim Rela Tak Makan Daging Demi Mendapatkan Anak Sehat, Apa Hubungannya?

Sumitro terpaksa meninggalkan Dora, yang baru enam bulan dinikahinya, pada 7 Januari 1947.

Ketika Sidang Dewan berlangsung, Sumitro meninggalkan New York untuk menghadiri Konferensi Asia yang membahas masalah Indonesia di New Delhi, 18 Januari 1949.

Ia bergabung dengan delegasi Indonesia yang dipimpin Mr. A.A. Maramis.

Masa transisi - mulai dari takluknya Jepang, proklamasi kemerdekaan, hingga usaha-usaha Belanda untuk menjajah kembali - berdampak bagi perekonomian Indonesia.

Baca Juga: 'Kalau Tak Percaya, Gorok Leher Saya' Ujar Bung Karno pada Malam Jelang Proklamasi Kemerdekaan, 'Ketegangan' Ini Pemicunya

Saat itu masih beredar mata uang Jepang, gulden Belanda, dan uang NICA. Berangsur-angsur dilakukan penggantian dengan Oeang Republik Indonesia (ORI).

Oleh karena kekurangan bahan kimia untuk membuat ORI, Sumitro mencarinya ke Singapura dan "menyelundupkannya" ke Jawa. la belajar jadi "penyelundup" untuk kepentingan revolusi. Ini tugas dan Sjahrir dan Bung Hatta.

Pada 12 April 1947, Presiden Soekarno membentuk Panitia Pemikir Siasat Ekonomi pimpinan Muhammad Hatta. Anggota panitia pemikir berjumlah 98 orang. Sumitro bertugas memikirkan hal-ihwal keuangan dipimpin Mr. Sjafruddin Prawiranegara.

Usianya masih sangat muda (33) ketika Sumitro diangkat jadi Menteri Perdagangan dan Perindustrian, sekitar Mei atau Juni 1950. Pada 20 Maret 1951 Kabinet Natsir roboh.

Baca Juga: Klise Foto Proklamasi 17 Agustus yang Lalu, Dikubur Sebulan agar Tak Diambil Jepang

Ketua Senat FE-UI Suhadi Mangkusuwondo bersama mahasiswa FE-UI meminta Sumitro menjadi dekan. Waktu itu usianya 34 tahun.

Belum lama menjabat dekan, Dr. Sumitro Djojohadikusumo diangkat menjadi guru besar ilmu ekonomi di FE-UI. Pada 3 April 1952, Sumitro kembali diangkat menjadi Menteri Keuangan Kabinet Wilopo.

Sejak 3 Juli 1953, Kabinet Wilopo demisioner. Tanggal 30 Juli 1953 Sumitro kembali menjadi Dekan FE-UI.

Semenjak menjadi Menteri Keuangan pada Kabinet Wilopo-Prawoto (3 April 1952 – 30 Juli 1953), Sumitro merasakan adanya ketimpangan daerah.

Baca Juga: Pantas Gaji Sebagai Menhan Dianggap 'Seuprit' Hingga Tak Diambil, Prabowo Punya Kekayaan yang Sangat Luar Biasa Besarnya, Jadi Menteri Terkaya Kedua di Kabinet Indonesia Maju

Terjadi pergolakan dalam dirinya sebagai politikus dan akademisi!

Gabung dengan "pemberontak"

Sepanjang tahun 1957, koran komunis dan pers nasional seperti Harian Rakyat dan Bintang Timur melansir pemberitaan buruk tentang Sumitro. Ia dituduh melakukan korupsi besar- besaran.

Pada 23 Maret 1957 Sumitro dipanggil Corps Polisi Militer (CPM) Bandung. Tapi pemeriksa menyatakan, tidak ada alasan untuk menahan Sumitro.

Baca Juga: 150 Tahun Jadi Misteri Terbesar Yahudi, Makam Kuno dari Pemberontak Pembersih 'Kenajisan' Itu Akhirnya Terbongkar

Panggilan kedua oleh CPM terjadi pada tanggal 6 - 7 Mei 1957. Kemudian 8 Mei 1957 ia dipanggil lagi.

Sumitro semakin tertekan oleh serangan koran prokomunis dan merasa hendak ditangkap.

Atas prinsip "pengabdian dan perlawanan" ia memilih melawan rezim Soekarno yang dianggap terlalu dekat dengan golongan komunis dan mengabaikan pembangunan daerah.

Mei 1957 ia ke Sumatra, bertemu Letkol Barlian dan Mayor Nawawi di Palembang. Ia sempat menyamar sebagai Letnan Dua Rasyidin.

Baca Juga: Kisah Kopassus Buat Ribuan Pemberontak Kongo Gemetar Ketakutan dengan Modal Kain dan Semerbak Bawang

Ultimatum kepada pemerintah pusat akhirnya dikeluarkan pada 10 Februari 1958. Tanggal 15 Februari 1958, Achmad Husein melalui Radio Bukittinggi mengumumkan proklamasi pemerintahan tandingan, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

Dari Jakarta, Sjahrir menugaskan Djoeir Moehamad dan Djohan Sjahruzah menghubungi dewan-dewan militer di daerah.

Sekaligus menghubungi Sumitro Djojohadikusumo. Mereka "mengejar" Sumitro hingga ke Padang. Tapi Sumitro keburu ke Pekanbaru, kemudian ke Bengkalis, sempat menyamar jadi kelasi kapal menuju Singapura.

Lalu ke Saigon juga dengan menyamar sebagai kelasi kapal sebelum ke Manila dan melakukan kontak dengan Perjuangan Semesta (Permesta).

Baca Juga: Berusia 2.000 Tahun, Ini Markas Legiun ke-6 Romawi untuk Kendalikan Pemberontakan Yahudi

Menyamar menjadi cargo supervisor atas nama pemilik kopra, Sumitro masuk ke Bitung. Ia ke Sumatra menggelar pertemuan dan memperluas hubungan dengan pemimpin militer di Sumatra, juga Sumual di Sulawesi.

Subadio, utusan Sjahrir, bertemu Sumitro di Singapura. Sumitro berperan menangani bidang logistik bersama Kolonel Simbolon dan Husein bagi PRRI.

Ia sempat mengecek pengadaan senjata. Sebagian senjata dibeli di Phuket (Thailand) dan Taiwan. Dua kali ia masuk Taiwan, dan kembali ke Minahasa dengan pesawat bermuatan amunisi.

Konsep semula, menurut Sumitro, hanya untuk memperbaiki Jakarta. Tidak ada bayangan membuat suatu pemerintahan tandingan. Tuntutan mereka hanyalah ingin otonomi dan pengembangan daerah.

Baca Juga: Sutan Sjahrir: Tragedi Ideologi Kiri dan Menikah Pakai Surat Kuasa

Sumitro mempercayai gagasan persatuan Indonesia. Namun, tatkala PRRI hendak mendirikan Republik Persatuan Indonesia (RPI), dan Pulau Jawa tidak termasuk di dalamnya, ia menolak tegas,' "Kalau demikian, saya tidak bisa ikut, sebab negara kita satu."

Ketidaksepakatan ini mendorong Sumitro mengungsi ke luar negeri, lantaran belum memungkinkan pulang ke Jakarta.

Selama 10 tahun di pelarian, Sumitro menggunakan banyak. nama samaran. "Para mahasiswa di Jepang mengenalnya sebagai Sungkono. Di Jerman dipanggil Sunarto. Di luar Frankfurt pakai nama Abdul Karim.

Di Hongkong orang mengenalnya Sou Ming Tau (bahasa Kanton) dan Soo Ming Doo (bahasa Mandarin). Warga Malaysia mengenalnya Abu Bakar. Ia dipanggil Henry Kusurno atau Henry Tau di Bangkok.

Baca Juga: Sutan Sjahrir, Perdana Menteri Pertama Indonesia yang Jadi Korban 'Kutukan' Tokoh-tokoh 'Kiri'

Demi keamanan, Sumitro bersama keluarganya tak mau tinggal di suatu negara lebih dari dua tahun. Mulai dari Singapura, Hongkong, Kuala Lumpur, Zurich-Swiss, London, kemudian pindah ke Bangkok.

Untuk menghidupi keluarganya di pelarian, ia terpaksa menjadi saudagar mebel dan real estate di Malaysia. Juga mendirikan Economic Consultans for Asia and the Far East (Ecosafe) di Hongkong, dan cabangnya di Kuala Lumpur. Ia memakai nama Kusumo.

Maret 1967, Soeharto menjabat presiden RI. Suatu kali Ali Moertopo menemui Sumitro di Bangkok, dan bertanya, "Apakah Pak Mitro bersedia kembali?"

Sumitro bilang, “You just remain yourself, and I just remain myself." Menlu Adam Malik, yang berkunjung ke Bangkok, mempertebal keyakinan Sumitro untuk pulang ke Tanah Air.

Baca Juga: Mengenang Kembali Sutan Sjahrir yang Berjuang di Masa Kolonial Belanda dan Sesudah Kemerdekaan Indonesia

Sesudah resmi menjadi presiden, Soeharto menerima Sumitro di Cendana, 29 Mei 1968.

Ia meminta kesediaan Sumitro membenahi ekonomi yang ambruk. Inflasi 600% lebih.

Sumitro akhirnya dilantik sebagai Menteri Perdagangan pada 27 Maret 1968. Tanggal 6 Juni 1968 susunan menteri Kabinet Pembangunan I diumumkan.

Selanjutnya ia diangkat menjadi Menteri Negara Riset Nasional (Menristek) pada Kabinet Pembangunan II.

Baca Juga: Gusti Nurul Meninggal Dunia: Soekarno, Sultan Hamengkubuwono IX, hingga Sutan Sjahrir Berlomba Dapatkan Cintanya

Sekeluar dari kabinet tahun 1978, Sumitro menjadi konsultan. Juga menulis buku. Sejak 1982 ia mengurusi Induk Koperasi Pegawai Negeri (IKPN).

Sempat menjadi komisaris Bank Niaga, Bank Universal, dan Bank Kesejahteraan, pada 18 September 1992 – Desember 1992 Sumitro ditunjuk sebagai preskom Astra. (A. Hery Suyono)

Artikel Terkait