Advertorial
Intisari-Online.com -Nama Sayuti Melik tak lepas dari detik-detik berkumandangnya proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Beliau merupakan orang yang mengetik naskah proklamasi yang kemudian dibacakan oleh Soekarno.
"Proklamasi. Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan seksama dan dalam tempo jang sesingkatnja. Djakarta 17 Agustus 1945 Atas nama Bangsa Indonesia Soekarno-Hatta."
Itulah naskah resmi Proklamasi kemerdekaan Indonesia yang diketik oleh Sayuti Melik dari perubahannaskah tulisan tangan oleh Soekarno.
Sayuti Melik, laki-laki kelahiran Sleman, Yogyakarta ini pejuang militan sejak muda.
Sekitar 17 tahun waktunya ia habiskan di penjara.
Tatkala berusia 25 tahun, sudah delapan tahun dia meringkuk dalam Penjara Digul.
la mulai berjuang sejak berusia 16 tahun, waktu itu masih pelajar Sekolah Guru di Solo. Salah seorang gurunya dalam perjuangan adalah Ali Archam.
Baru kemudian dia menjadi murid Bung Karno. la tertarik kepada PKI oleh karena di sanalah semangat radikal dan revolusionernya terpenuhi.
Kemudian setelah mempelajari ajaran Bung Karno dan buku-buku Marxisme-Leninisme lebih mendalam, serta kenyang keluar masuk penjara, keyakinannya berubah.
Tetap menjunjung Marxisme, tetapi Marxisme yang diterapkan dalam kondisi-kondisi di Indonesia.
Pada tahun 1933 Sayuti keluar dari Penjara Digul, lalu bekerja sebagai cattle attendant (penjaga ternak) pada kapal asing.
Sekali waktu dia dibentak oleh kapten kapal karena enggan menyerahkan tempatnya yang teduh dalam kapal untuk ternak-ternak.
Sayuti kemudian menetap di Semenanjung Malaya, bergerak di bawah tanah menjadi anggota Partai Komunis Malaya dan Ketua Liga Anti Imperialis Asia Tenggara. Kemudian ketahuan dandipenjarakan.
Tahun 1937 dia dibebaskan, tetapi diusir dari wilayah jajahan Inggris. Ternyata, Inggris sudah te-es-te (tahu sama tahu) dengan pemerintah Belanda. Buktinya sampai di Jawa Sayuti langsung dimasukkan ke penjara.
Baru tahun 1938 dia dibebaskan.
Terus dia ke Semarang dan bekerja sebagai penjual kain.
Di sana bertemu dengan Sulastri alias S.K. Trimurti, murid Bung Karno yang masa itu memimpin Majalah Suara Marhaeni.
Dalam penjara tahun 1937 Pak Sayuti merasa paling bahagia. Mengapa?
Karena dalam penjara dia merasa lebih bebas daripada di luar penjara. Bebas membaca buku, makan, tidur, berpikir.
Orang tua, saudara, sengaja tak dia pikirkan agar tidak menyedihkan hati. Malahan sekadar memberitahu mereka pun tidak.
Di Semarang ada Koran Sinar Selatan yang dipimpin oleh seorang Jepang, Hiraki namanya.
Pak Sayuti sering menulis tajuk untuk surat kabar tersebut. Akibatnya dia masuk penjara lagi.
Kemudian dia menerbitkan Majalah Pesat sampai tahun 1941. Dalam zaman Jepang ia masuk penjara lagi.
Baca Juga: Ini Kata Soekarno Soal Tongkat Komando Miliknya yang Dianggap Sakti dan Keramat
Dari penjara dia ikut sayembara mengarang tentang "Kebudayaan dan Kemerdekaan" dengan nama samaran Mantri Penjara.
Juri sayembara tersebut antara lain Bung Karno dan Prof. Mr. Moh. Yamin.
Karangan Pak Sayuti mendapat hadiah pertama. Tetapi yang menerima hadiah bukan penulisnya, yang pada saat penyerahan hadiah masih meringkuk dalam penjara, melainkan R.M. Hadikusumo.
Sebab kedudukannya sebagai Mantri Penjara dipinjam oleh Pak Sayuti.
Pada peristiwa 3 Juli 1947 Pak Sayuti kembali masuk penjara selama dua tahun, sekalipun akhirnya dibebaskan karena dia memang tidak ikut dalam gerakan tersebut.
Perjuangan Pak Sayuti dan Bu Trimurti dianugerahi oleh Pemerintah dengan pengangkatan mereka sebagai Mahaputera.
Dianugerahi juga dua orang anak lelaki, yang satu taruna AMN, satunya lagi calon sarjana ekonomi seperti ibunya.
Sudah satu tahun lebih Bu Trimurti memperdalam ilmu di Yugoslavia.
Kalau mau, dengan bakat dan jasa perjuangan seperti Pak Sayuti suami-istri, tidak sukar agaknya mereka menciptakan suasana hidup mewah.
Tetapi suami-istri tersebut tetap setia kepada prinsip perjuangan.
Hidup mereka tetap di kampung, di rumah Kramat Lontar yang amat sederhana dan karena itu menyegarkan jiwa.
Sering dia berkata, "Sudah 40 tahun saya berjuang. Paling lama hanya 5 atau 10 tahun lagi saya hidup. Oleh karena itu saya tidak mau menodai perjuangan saya dengan mengejar kedudukan atau pun rasa takut."
Tulisan-tulisannya terus terang, jujur. Bukan mencerminkan penyanjungan yang mempunyai pamrih, melainkan keyakinan yang dihayati sehari-hari. Seorang rekan berkata," Jiwa Proklamasinya masih murni."
Artikel ini merupakan potongan dari artikel "Sayuti Melik: Berkisah Sekitar Proklamasi Kemerdekaan" yang ditulis Jakob Oetama dalam buku "Sketsa Tokoh".