Advertorial
Intisari-Online.com – Menjelang 17 Agustus 1945, Alex Mendur, kepala bagian foto di kantor berita Domei, mendengar dari kawannya yang bekerja di Antara, Syahruddin (alm) bahwa tanggal 17 Agustus nanti di Pegangsaan Timur 56 akan ada “apa-apa”.
Berita itu disampaikannya kepada adiknya, Frans Mendur, yang bekerja di Suratkabar Asia Raya Tanpa setahu orang Jepang yang menjadi atasannya, Alex pergi ke sana. Ternyata selain Menur bersaudara ini, tidak ada juru potret lain.
Selesai upacara mereka pulang, Alex mencuci film di kantornya, bagus semua. la senang, tapi jadi kaget ketika didapati Jepang yang merebut foto yang masih berupa negatif itu sambil mengancam, “Awas ya, 5 tahun lagi kami kembali!”
Untungnya ketika itu kedudukan Jepang sudah goyah dan mereka tidak segalak dulu lagi.
Alex menceritakan pengalamannya pada Frans. Frans cepat-cepat memasukkan negatif film yang baru dicucinya ke dalam kaleng, Ialu dikubur.
Baru kira-kira pertengahan September digali kembali. Dari sinilah asalnya foto-foto bersejarah tentang proklamasi yang kita lihat di suratkabar-suratkabar dan sebagainya.
Foto proklamasi mula-mula dimuat Oktober 1945 di surat kabar Merdeka yang baru didirikan.
Negatif yang menggambarkan Bung Kamo sedang membacakan teks proklamasi kini ada pada Deppen.
IPPHOS, yaitu biro foto pers yang didirikan Alex Mendur dengan J.K. Umbas dan F.F. Umbas pada pada tahun 1946, kini hanya memegang negatif yang hampir serupa, tapi tidak sebagus milik mereka yang disimpan DEPPEN.
Selain negatif tersebut masih ada negatip-negarif lain yang menggambarkan penaikan bendera dan sebagainya. Foto-foto ini diambil dengan tustel Leica.
Pada beberapa diantaranya tampak seseorang mengenakan seragam tentara Jepang.
la ikut membantu menaikkan bendera. Inilah yang dijadikan bukti oleh Belanda untuk menyebarkan isu-isu bahwa kemerdekaan RI adalah hadiah Jepang.
Padahal tentara berseragam Jepang itu tidak lain tidak bukan dari Latief Hendraningrat. Sekarang brigjen.
Foto-foto tentang proklamasi bukan satu-satunya dokumentasi IPPHOS yang berharga. Mereka punya dokumen foto yang paling Iengkap di Indonesia sejak proklamasi sampai sekarang.
Seperti kita ketahui, DEPPEN baru didirikan kemudian.
Diantaranya foto sidang Kabinet I, Bung Karno pulang dari pembuangan di Bangka, seri Pak Harto, seri pak Nas, seri Bung Syahrir, disamping tentunja seri Bung Karno dan lain-lain.
Dengan bangga IPPHOS menyatakan bahwa dalam buku the Smiling General karangan Dr. Roeder, foto-foto pak Harto yang pertama-tama adalah buatan IPPHOS.
Frans Mendur yang membuat foto-foto proklamasi itu di kalangan wartawan muda dikenal sebagai “oom Frans".
Ketika karangan ini akan dibuat, oom Frans sedang dirawat di R.S. Sumber Waras. Sebetulnja kami masih ingin tanya pengalaman-pengalamannya sendiri.
Ternyata ia tidak pernah kembali. Tanggal 24 April 1971 yang lalu Soemarto Frans Mendur meninggal. Jadi pada hari yang sama dengan Ketua PNI, Hadisubeno.
Baca Juga: Cerita Unik di Balik Tiga Foto Suasana Proklamasi Kemerdekaan yang Kerap Muncul dalam Buku Sejarah
Frans Mendur pernah diminta jadi dosen pada kursus up grading wartawan-wartawan daerah seluruh Indonesia yang diselenggarakan oleh Deppen permulaan tahun ini.
Ia menceritakan pengalaman-pengalamannya di sana, sebab pengalaman adalah gurunya.
“Biasanja wartawan3-wartawan foto datang mengabadikan suatu peristiwa kalau ada undangan,” katanya.
“Biasanja juga memotret dari tempat yang disediakan untuk undangan. Maka.itu angle-angle yang diperoleh juga hampir bersamaan." Ini tentu saja bisa diperbaiki.
Baca Juga: Tan Malaka, Sosok Sunyi di Balik Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945
“ Pernah ketika akan menyambut kedatangan presiden keistana Merdeka, saya memisahkan diri dari wartawan-wartawan foto lain. Saya ke samping istana, tempat banyak pohon-pohon. Dari saku saya keluarkan tali. Ke mana-mana memang saya selalu bawa tali.
Foto tustel saja ikat dengan tali. Ujung yang lain saya ikatkan ke ikat pinggang, lalu saja memanjat pohon. Diatas, tali ditarik sehingga foto tustel terkerek naik.”
Mengapa ia tidak memanjat pohon sambil menyandang tustelnya saja? “Biasanya wartawan foto miskin. Paling banyak punya 2 foto tustel, tapi biasanya satu. Ini alat untuk mencari makan.
Jadi kalau rusak susah. Kalau tustl disandang waktu memanjat, risiko terparut-parut dahan dan sebagainya besar."
Baca Juga: Tanpa Dua Sosok Ini, Mungkin Kita Tak akan Pernah Melihat Suasana Proklamasi Kemerdekaan RI
Di atas disiapkah fokus. la tinggal menunggu saat yang tepat untuk menangkap suasana yang tepat, yaitu saat presiden tampak beserta massa yang menyambut dan barisan kehormatan yang memberi hormat.
Frans Mendur tidak mau menyebut dirinya ahli kroping. “Cuma tahu,” katanja.
Sekali seorang wartawan muda dari sebuah surat kabar sedang mengukur-ukur foto yang akan dikrop di kantor IPPHOS (Seperti diketahui, IPPHOS mempunyai pabrik klise)
Tahu-tahu di belakangnya berdiri oom Frans. ”Boleh saya tolong ?" katanya.
Baca Juga: Ada Tiang Besi, Mengapa Suhud Justru Kibarkan Bendera Proklamasi Pertama di Tiang Bambu?
Tentu saja boleh, sebab wartawan ini sedang pikir-pikir bagaimana dari foto ini yang mau dibuang supaya proporsinya baik dan supaya garis-garisnya jelas.
“Kalau begini nanti garis-garisnya tidak jelas, sebab akan merapat kalau diperkecil,” kata oom Frans. “Yang mau ditonjolkan yang mana? Bagian yang tidak mau ditonjolkan digunting saja, buang. Bagaian yang mau ditonjolkan sambung lagi.”
Sesudah jadi wartawan-wartawan itu pikir-pikir, Betul juga! Sekarang ia masih ingat nasihat tersebut.
Wartawan ini juga ingat nasihat oom Frans tentang caption foto. “Bikinlah caption sesedikit mungkin, karena foto itu sendiri sudah harus bercerita. Foto yang baik ialah yang begitu dilihat segera bisa dimengerti. Nilainya sama dengan 1000 kata,” katanya.
Baca Juga: Fakta Tak Terungkap, Indonesia Hampir Saja Gagal Memproklamasikan Kemerdekaan
“Lain halnja dengan foto feature (seperti yang sering dimuat KOMPAS di halaman 1 pojok kiri). Begitu melihat foto feature mestinya orang ingin mengetahui kelanjutannya dan ini didapati di bawahnya dalam bentuk cerita."
Ketika sudah lebih sering tinggal dikantor saja, Frans Mendur kadang-kadang juga merangsang wartawan-wartawan muda dengan umpamanya, “Di Anu ada hidrant air. Sering kali kelihatan disedot oleh tanki-tanki air untuk dijual di tempat lain.
Apakah ini menurut peraturan dibenarkan ? Mungkin penyedotan ini dimaksudkan untuk menyempatkan orang-orang yang tinggal di tempat yang tidak punja air Iedeng untuk menikmati air Iedeng.
Tapi bagaimana orang-orang yang tinggal disekeliling hidrant itu, yang membayar rekening air tapi tidak dapat air karena habis disedot?
Baca Juga: Perdebatan Malam Sebelum Proklamasi, Siapa yang Harus Tanda Tangan?
Saya sudah ambil gambarnya coba saja selidiki kesana, mungkin sumber pemberitaan yang baik".
Kadang-kadang ia menullis artikel atau cerpen di beberapa majalah. Kadang-kadang cerpen itu adalah cerpen Belanda yang dialihkannya ke alam Indonesia.
Kalau begini biasanya ia pakai nama samaran Sofram dan sebagainya. Dikantornya ia jadi kamus berjalan juga.
Orang-orang bertanya kepadanya tentang bagaimana caption ini seharusnya dan sebagainya.
Baca Juga: Kisah Lusinan Surat Bung Karno yang Punya Peran Vital dalam Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Dibandingkan dengan kakaknya, Alex Mendur, Soemarto Frans Mendur tampak lebih tua.
Alex I. Mendur !ahir di Menado, 7 Nopember 1907. Ia yang tertua di antara 10 bersaudara, sedangkan Frans yang ke-3. Anak petani ini sekolah di SD Menado, lalu tahun 1925, dalam umur 16 tahun ia ikut kenalannya yang bekerja di KPM ke Jakarta. Maksudnya mencari kerja.
Mula-mula bekerja di perusahaan foto milik Belanda: Luyks, di Jalan Antara. Sekarang gedung tersebut sudah jadi Sarinah Nusantara.
Kerjanya di kamar gelap, cuci foto, afdruk dan sebagainya. Sesudah 3 atau 4 tahun di sana ia pindah ke Kodak di Jalan.H. Ir. Juanda sekarang.
Kerjanya tetap seperti dulu. Lalu pindah lagi ke perusahaan film Jerman di Jalan Mojopahit, Charls & Van Es. Disini ia belajar banyak kata pak Alex Mendur. Tapi belum memotret.
Kemudian ia pindah lagi ke Surabaya, pada Fotax. Selama setahun disini barulah ia belajar memotret, mempergunakan kamera besar yang pakai penutup kain hitam itu, seperti masih bisa Anda dapati dalam beherapa foto studio.
Ketika sudah mahir, ia pindah ke surat kabar Java Bode. Ia ajak temannya sekampung, F.F. Umbas untuk membantu. Pak F. F Umbas ini kemudian pernah jadi menteri muda perekonomtan pada kabinet Ali.
Yang paling berkesan pada pak Alex Mendur ketika ia muda ialah bahwa ia terpilih oleh Gubernur Jenderal de Yong untuk menyertai perjalanan ke Indonesia Bagian Timur pada tahun 1934.
Padahal ketika itu banyak juru potret Belanda di Java Bode, Orient dan sebagainya. Nyatalah kalau begitu pilihan didasarkan pada keahlian, bukan kebangsaan.
Di kapal “Regal" dibuat kamar gelap, supaya tiap foto yang dibuat bisa terus dikerjakan dan dilihat hasilnya. Alex Mendur memakai foto tustel Contessa Netal dengan negatif ukuran 9 x 12 cm.
Selama sebulan perjalanan rupanya Alex melakukan tugasnya dengan baik karena ketika perjalanan selesai ia dipanggil G.G. di kapal untuk mendapat ucapan terima kasih.
Kira-kira tahun 1936, pak Alex “merasa cape" bergerak sebagai press. Ia pindah ke KPM, menjadi juru potret di bagian publisitas dan reklame.
Kemudian Jepang masuk, 1942. Dengan demikian ia pun menganggur.
Pada suatu hari, ketika sedang di rumah ia didatangi Jjepang. Bisa dibayangkan betapa takutnya dia. Nyatanya ia diminta bekerja pada bagian propaganda, ditempatkan di Bandung. Pada waktu itu ia sudah bekeluarga.
Kemudian ia dipindahkan ke kantor Domei. Sesudah itu Antara berdiri. Adam Malik, merupakan salah seorang pendirinya dan jadi kepala bagian Indonesia di sana. Ketika Domei sudah tidak ada, Alex Mendur pindah ke Antara, lalu ke surat kabar Merdeka.
Gagasan untuk mendirikan biro foto pres sudah ada sejak Domei. Ketika itu banyak wartawan-wartawan asing yang meminta foto-foto perjuangan.
Demikianlah akhirnya bersama dua bersaudara Umbas, teman-teman sekampung yang sudah dirasakan sebagai saudara, didirikan Indonesian Press Photo Service. Kantornya di Jalan Hayamwuruk 30 seperti sekarang.
Asalnya kantor dagang Belanda yang diduduki ketika Jepang datang.
Karena penghasilan dari IPPHOS belum bisa diharapkan, untuk berjalan terus, perlu ada usaha lain.
Maka itu salah seorang pamili keluarga Umbas yang ikut suka duka dengan mereka masa itu: Alex Mamusung, mengerjakan catut foto tustel, batubata (1 sen 1 bata), seng dan lain lain. Kalau dapat uang dibagi-bagi. Yang disebut gaji belum ada.
Ketika Jepang baru pergi, bahan-bahan baku seperti film, obat-obat potret dan kertas adalah bekas-bekas Jepang, tapi buatan A.S. dan sebagainya. Blitz yang seperti sekarang belum ada.
Baca Juga: Cerita-cerita Unik di Balik Proklamasi Indonesia 17 Agustus 1945
Masih pakai blitz puder yang meletus seperti mercon. Ruangan jadi kotor oleh debu dan yang dipotret jadi jengkel.
Ketika Inggris datang, mereka beli bahan baku dari Inggris. Pak Alex Mamusung ketika itu masih muda. Bekas pegawai Handelsbank dan kemudian perkebunan Rosela di Jateng ini bertugas mencari bahan baku. Antara lain bisa ditemukan ditoko Oriental Pasar Baru.
Zaman clash I dan II mereka punya perwakilan di Yogya, yang dikepalai Alex Mamusung. Masa inilah dibuat dokumentasi tentang pak Dirman. Bahan-bahan baku dikirim ke Yogya lewat delegasi-delegasi R.I. seperti rombongan Leimena, Sjahrir, Dr Halim, Sukamto (bekas Kapolri) dsb.
Belanda di Yogya mengira IPPHOS ada di pihak mereka. Pimpinan IPIPHOS Yogya sering memotret pejabat-pejabat Belanda dengan berpakaian Nica dsb. Tapi anggota-anggota IPPHOS yang lain bolak-balik ke hutan mengambil gambar-gambar “kaum ekstrimis'.
Baca Juga: Lorong Masa: Tan Malaka, Tokoh Sunyi di Balik Proklamasi
Alex Mamusung yang 12 tahun lebih muda dari Alex Mendur tidak tahu bahwa IPPHOS dan Penerangan merupakan badan pemberitaan yang jadi sasaran paling atas dalam daftar penyerbuan Belanda ke Yogya.
Ketika ia sedang keluar dari kamar gelap sambil memegang negatif foto penyerbuan yang masih basah, kantornja di Jln. Saijan diserbu. Negatif diambil, sehingga mereka tidak punya foto bersejarah itu.
Untungnya beberapa waktu sebelumnya foto-foto lain yang dianggap berbahaya sudah disingkirkan ke Kepatihan. Menurut perjanjian yang dibuat dengan Belanda. Kepatihan tidak boleh dimasuki tanpa izin. Bahkan jenderal Spoorpun menghormati perjanjian itu.
Kalau foto “kaum ekstrimis" kedapatan, yang celaka tentu bukan Alex Mamusung dan teman-temannya saja, tapi juga kaum yang dicari-cari Belanda itu.
Baca Juga: Proklamasi Mundur Sehari karena Rengasdenglok (1)
Selain pak Dirman, Alex Mamusung juga disini mengabadikan perjalanan-perjalanan bung Karao dan Bung Hatta.
Ketika TNI kembali ke Yogya baru ada flash bulb, yaitu lampu yang sekali jepret sudah tidak bisa dipakai lagi. Sekarang sudah tidak zaman.
Tahun limapuluhan IPPHOS naik. Selain sebagai biro foto press juga menerbitkan majalah IPPHOS REPORT yang ketka itu merupakan majalah yang paling maju disamping Mimbar Indonesia IPPHOS juga import film dan merupakan agen tunggal dari J.LFORD. Bahkan IPPHOS mengimpor kertas koran.
Tahun enampuluhan akibat suasana politik yang mempengaruhi perekonomian, IPPHOS jadi lesu. Baru sesudah tahun 1965 mulai muncul lagi.
Baca Juga: Peran Penting Para 'Kupu-kupu Malam' dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia Diakui oleh Soekarno
Bukan cuma sebagai pensupply kantor-kantor berita foto di L.N. dan suratkabar-suratkabar, merekapun punya pabrik klise dan dokumentasi yang boleh dikatakan paling lengkap.
Darimana mereka bisa punya dokumentasi tentang pak Harto padahal pak Harto baru mulai muncul dalam peristiwa Trikora? “Soalnya kami mengikuti seluruh peristiwa", kata mereka.
Kini mereka punya juru potret muda dan koresponden-koresponden di Medan, Semarang, Kalimantan dan Menado.
“Yang jadi motornya sekarang tenaga muda,” kata pak Alex Mendur. “Sdr. Melvin L. Jacob", “Ipar saja", kata pak Alex Mamusung.
Baca Juga: 5 Cerita Unik Sekitar ProklamasiBaca Juga: 5 Cerita Unik Sekitar Proklamasi
Melvin Jacob ini sendiri punya kisah sebagai ”war correspondent", sebab dialah yang mengabadikan seri PRRI. Permesta, Andi Aziz dsb. Sejak umur 16 tahun kira-kira ia sudah senang bertualang. “Anak muda biasanya belum mengerti ketakutan akan mati".
Demikianlah ia ikut KRIS front Bekasi, lalu ikut membawa barang keluar negeri untuk kementerian Kemakmuran. Waktu itu dibawah Sjafrudin. Kalau pergi keluar negeri bawa gula, pulangnya bawa senjata. Pelabuhannya Juana.
la pernah masuk TP Mataram dalam menghalau Inggris dan Gurkha sampai Ungaran (Clash I). la mulai masuk IPPHOS di Jakarta. la pernah ditugaskan di Makassar. Lalu timbul pemberontakan Andi Aziz dengan seorang petugas dokumentasi dari Departemen Pertahanan, ia ikut Kol. Kawilarang sampai kefront.
“Kalau belum punya bekal pengalaman waktu Clash I dsb. memang ngeri mengabadikan adegan-adegan pertempuran, apalagi kalau teman disebelah kita tiba-tiba kena tembak,” katanya.
Baca Juga: Lorong Masa: Gema Pers Saat Detik Proklamasi RI (3)
la ikut pula masuk ke pedalaman bersama-sama pasukan-pasukan TNI dalam operasi Halilintar untuk menumpas DI di Sulawesi Selatan. Selain itu ia menyertai komandan operasi Merdeka dalam menumpas PRRI/Permesta.
“Pengalaman bertualang pada waktu umur belasan bermanfaat dalam pekerjaan sebagai wartawan perang", tidur di kuburan, di hutan atau minum air kali loncat dari mobil, mengungsi, pelor yang berdesing-desing, orang-orang yang kena dsb.", katanya.
Kemudian ia pergi berkali-kali keluar negeri menyertai rombongan pak Harto.
Pak Alex Mendur sendiri sebagai anggofa PWI pernah ke Inggris atas undangan pemerintah Inggris. Ia sempat ke Nederland dan Mesir.
Waktu itu Mesir masih dibawah Najib. Seperti kita ketahui Nadjib adalah orang yang bersama-sama Nasser menggulingkan raja Farouk, tapi Najib sendiri lalu digulingkan Nasser .Ia sempat berkenalan dengan Najib.
“Sekarang kalau perlu, kalau semua orang sudah bertugas lalu tiba-tiba ada peristiwa penting saya pun turun kelapangan mengambil foto'', katanya. Tapi inipun jarang terjadi. Pak Mamusung pun demikian.
“Tapi anak-anak didik IPPHOS banyak. Sekarang ada yang sudah bekerja, di pelbagai majalah, Selecta, Varia dsb. disamping kebeberapa koran''. Kalau kita masuk ruangan tempat dokumentasi, kita akan terkesan akan kesederhanaannya.
Klise-klise yang sudah dimasukkan dalam sampul-sampul serta siberi nomer itu dimasukkan ke dalam laci-laci lemari. Seluruhnya ada 3 lemari. Di muka laci ada nomer dan tahun.
Baca Juga: Beginilah Tulisan Tangan Bung Karno yang Luar Biasa, Isaratkan Masa Depan dengan Percaya Diri
Tanggal, nomer dan peristiwa yang dicakup klise dicatat dalam buku besar menurut abjad.
Masih ada buku kecil yang “handy". Kalau mau mencari klise, dicari dulu dalam buku pedoman yang handy itu, lantas bisa diketahui harus dicari dibuku mana. Kalau sudah ditemukan dibuku besar, mudah dicari di laci mana, nomer berapa. (Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Juni 1971)