Advertorial
Intisari-Online.com – Lebih sepuluh tahun bersuami, Ida tak menemukan kebahagiaan. Hanya dera dan siksa. Dua kali minta cerai pun, tak digubris.
Segala upaya untuk mengakhiri kemelut keluarga tak membuahkan hasil. Akhirnya Ida nekad.
Melenyapkan sumber kemelut, yang tak lain adalah suaminya sendiri.
Kisah ini terangkum dalam artikel Istri Bakar Suami Dituntut 11 Tahun, Ingin Bahagia Ida Harus Lenyapkan Sumber Bencana yang ditulis oleh Ganjar TB dan dimuat di Tabloid NOVA edisi no. 14/I – 29 Mei 1988.
“Perbuatan terdakwa terlalu sadis! Untuk itulah ia dituntut hukuman 11 tahun kurungan," kata Jaksa Penuntut Umum Umbu Lozara, SH pada sidang ke sepuluh kasus istri bakar suami di Pengadilan Negeri Salatiga, awal Mei 1988.
Terdakwa Tumini Ida AR (32), lbu beranak tiga karyawati pabrik tekstil itu, dituduh melanggar sejumlah pasaJ KUHP.
Hingga secara sah dan meyakinkan, ia telah menyebabkan kematian Djunedi, suaminya sendiri yang juga guru Sekolah Dasar.
Diikuti puluhan mata pengunjung yang memadati ruang sidang, dengan berkaca-kaca Ida membacakan sendiri pembelaannya setebal tujuh halaman.
Kilahnya, apa yang dilakukan terhadap suaminya bukan kesengajaan untuk membunuh.
Ia ingin memberikan pelajaran pada suaminya yang telah menggunakan alat vitalnya untuk nyelewerg dan mengkhianati istri.
Lebih dari itu, katanya, selama menjadi istrinya ia tidak pernah hidup bahagia. Ia didera dan disiksa.
Dua kali minta diceraikan, tak diberikan.
Hingga, upaya untuk menempuh segala cara guna mengakhiri kemelut keluarganya, bagaikan sudah tertutup.
Baca Juga: Nodai Reputasinya Sebagai Makanan Sehat, 5 Sayuran Ini Pernah 'Membunuh' Manusia, Kok Bisa?
"Dengan membakar berarti melenyapkan sesuatu. Melenyapkan sumber bencana bagi terdakwa yang ingin mencari kebahagiaan hidup," kata tim pembela lima orang dari Biro Bantuan Hukum Universitas Satya Wacana.
Kasar
Kemelut dalam keluarga Ida yang berakhir tragis itu disebabkan berbagai hal. Tekanan ekonomi, terus menerus tinggal serumah dengan orangtua, dan adanya "pacar gelap" suami.
Tumini Ida alias Ida lahir di Palembang 27 Oktober 1955, paling tua dari empat bersaudara anak buruh bangunan Makruf. Buruh pabrik tekstil ini kenal dengan Djunedi, guru SD berpostur gemuk-pendek, sejak 1972.
Hubungan mereka semakin intim dan meningkat ke jenjang perkawinan pada 1976. Pemikahan yang direstui orangtua kedua belah pihak ini kemudian membuahkan tiga anak, Deky Raditya Lubis, Farid Bahtiar dan Pramasto Herlambang.
Konon sejak menikah hingga beranak tiga mereka dompleng tinggal di rumah orangtua Ida di Jalan Ngentak I/174B, Kelurahan Kutowinangun, Salatiga.
Dan menurut pengakuan Ida, sejak anak ketiga lahir sikap Djunedi mulai berubah. Ia jadi kasar, suka membentak dan memukul.
Malahan lebih dari itu. Ia tak lagi membenkan nafkah lahir maupun batin secara wajar. "Gaji saya yang hanya Rp 60.000 saya gunakan untuk biaya keperluan rumahtangga," kata Ida.
Pertengkaran demi pertengkaran selalu mewarnai kehidupan rumah tangga mereka. Seperti pengakuan Makruf, ayah Ida, "Menantu saya itu memang kurang ajar. Sewenang-wenang, mau enaknya sendiri. Sering istrinya menangis karena ditempeleng. Malah pernah dicekik."
Pisah
Sembilan tahun usia perkawinan mereka, Djunedi merasa tak betah lagi tinggal bersama mertua. Ia ingin, agar istri dan anak-anaknya mau diajak pindah ke rumah keluarga Sunarto, kakak kandung Djunedi, di Desa Mangunsari.
Ida menolak. Alasannya, pindah begitu masih tetap nebeng orang. Maunya, seperti cita-citanya sebelum kawin, mereka punya rumah sendiri.
Baca Juga: Sebelum Kanker Membunuhnya, Wanita Ini Tulis Obituarinya Sendiri, Isinya Mengharukan!
Agar hidup mandiri, dan jika terjadi pertengkaran tak mengganggu orang lain.
Merasa tak punya cukup uang untuk membeli rumah, Djunedi menolak keinginan Ida. Karena tak ada kesepakatan, Djunedi pindah seorang diri ke rumah Sunarto.
Istri dan ketiga anaknya ditinggalkan. Pisah rumah ini berlangsung dua tahun.
Adalah kedua orangtua Ida yang kemudian berupaya mengumpulkan mereka kembali. Dengan sedikit tabungan orangtua, tabungan Ida, bantuan dari Djunedi dan pinjaman, dibangunlah rumah yang terletak sekitar 600 meter dari rumah Sunarto.
Belum sempat dipoles dengan baik karena kurang dana, rumah berdinding bata, berkamar tiga dan satu ruang tamu itu ditempati Ida, Djunedi dan ketiga anaknya.
Karcis
Berkumpul di rumah sendiri ternyata tidak membuat keluarga ini rukun. Kabarnya, Djunedi semakin sering main pukul. Sasaran bukan lagi hanya Ida, tapi juga anak-anaknya.
Makin senng pula ia main perempuan, hal yang selama ini menimbulkan kecurigaan Ida.
Desas-desus suaminya punya pacar baru sering didengar, namun Ida selalu bersabar dan menepiskan kabar itu.
Sampai suatu pagi ia menemukan dua lembar potongan karcis bioskop di saku baju Djunedi ketika hendak mencuci pakaiannya. Sewaktu dipertanyakan, Djunedi marah dan menjawab berbelit-belit.
Walaupun sering kecurigaanriya diperkuat bukti-bukti, Ida tetap mencoba bersabar. Katanya, kasihan anak-anak jika orangtua bertengkar terus-menerus.
Pacar
Kesabaran memang ada batasnya. Kesabaran Ida selama ini lenyap seketika, begitu ia tahu Djunedi menjahn hubungan dengan wanita lain.
Kebetulan siang hari 19 Oktober itu kakak iparnya, Sunarto, datang ke rumahnya yang baru dihuni selama tiga bulan.
Maksudnya, menyampaikan surat untuk Djunedi, berasal dari seorang wanita bernama Sri Sulastri beralamat Asrama Brimob, Manahan, Solo.
Karena Djunedi dan kedua anaknya pergi ke obyek wisata Goa jatijajar di Kabupaten Kebumen, surat jatuh ke tangan Ida.
"Saya curiga, pasti surat ini ada apa-apanya," kata Ida sebelum membuka dan membaca surat itu.
Dugaannya benar! Detak jantungnya lebih cepat dari biasanya, ketika ia membaca surat Sri Sulastri, kekasih gelap suaminya yang telah menjalin hubungan selama lima tahun.
Pukulan berat bagi Ida, ketika hubungan gelap suaminya ini terungkap. Hingga malam hari ia tak bisa tidur. Hatinya sakit, gelisah, tak tahu apa yang mesti dilakukan.
Tengah malam itu suami dan kedua anaknya pulang. Suami istri itu tak bertegur sapa, Djunedi lalu masuk kamar tidur bersama seorang anaknya. Langsung terlelap karena kecapaian.
Ida bangkit dari tempat tidurnya. Duduk, gundah, pikirannya kalut. Lebih seperempat jam ia mondar-mandir dari ruang tamu ke dapur.
Baca Juga: Orang Selingkuh Bukan Berarti Tidak Bahagia, Begini Penjelasan Sains Mengenai Perselingkuhan
Di sini, mendadak ia membuka lemari yang berisi perlengkapan pertukangan dan keperluan dapur. Juga jeriken berisi bensin dan minyak tanah.
Seperti ada kekuatan yang merasuk dalam dirinya, cepat ia meraih sebuah kaleng dan menuangkan bensin serta minyak tanah ke dalam kaleng itu.
Segera ia ke kamar tempat suaminya tidur dan mengunci pintu kamar dari dalam. Sesaat Ida terpatung, pikirannya kalut, serba gelap.
Memejamkan mata, air matanya lalu deras keluar. Ingin ia mengurungkan niatnya itu, namun seolah ada bisikan halus dan kekuatan yang mendorongnya meneruskan maksudnya.
Kemudian, kejadian itu seperti mimpi. Ida menuangkan cairan campuran itu ke tubuh suaminya, terutama seputar alat vitalnya.
esaat Djunedi yang merasakan dingin, terbangun. "Lho, ada apa kok badanku basah?"
Belum sempat ia duduk, Ida telah menyambar korek api di meja, menyulutnya dan melemparkan ke tubuh Djunedi.
Kobaran api segera menjamah tubuh Djunedi serta membakar kasur. Dan Ida meraih anaknya.
Di tengah malam sepi itu Ida dan anaknya menyaksikan tubuh Djunedi bergulung-gulung, berjuang melawan maut.
Baru setelah ia berteriak-teriak minta tolong, tetangganya berdatangan. Setelah diamankan dari kobaran api tubuh Djunedi dilarikan ke RSUP Salatiga.
Namun pihak rumah sakit menganjurkan agar ia dibawa ke Semarang. Karena, katanya, jarum infus sudah tak mempan. Artinya luka bakarnya terlalu berat.
Di rumah sakit Dokter Kariadi, Semarang, korban segera dimasukkan ke ruang gawat darurat (ICU).
Dalam perjalanan dari Salatiga ke Semarang, Djunedi masih sadar dan sempat mengatakan beberapa kali: "Yang membakar aku, istnku sendiri."
Baca Juga: Seorang Pria Nekat Membakar Rumah Tetangganya Hanya Karena Dia Melihat Hantu di Dalam Rumah Tersebut
Namun upaya pertolongan para dokter akhirnya gagal, Djunedi meninggal setelah satu jam di rumah sakit.
Visum yang ditandatangani Dokter Subandrio menyatakan, korban mengalami kebakaran derajat tiga.
Berarti kebakaran menjamah tubuh korban sebesar 100 persen.
Ida kini menunggu hasil pembelaan diri dan tim pembela, yang mencoba meyakinkan majelis hakim bahwa dirinya tidak bertujuan membunuh.
Sidang-sidang yang dipimpin Hakim Ketua Haji Mohamad Hatta, SH hakim anggota Haruny Diono, SH dan S. Harahap, SH serta panitera Sucipto, SH akan terus dipadati pengunjung dari berbagai lapisan masyarakat.
Isi surat penyulut amarah
Apa yang membuat amarah Ida memuncak, adalah ketika ia membaca surat yang ditujukan kepada Djunedi dari kekasih gelapnya.
Sebagian isi surat itu berbunyi sebagai berikut:
Mas Djunedi tersayang,
Semoga ketika menerima surat ini dalam keadaan sehat wal afiat seperti halnya diriku saat ini.
Anda orang yang baik, terbukti ketika saya sakit justru andalah yang menjaga dan merawat.
Sedang suami saya malah melepaskan tanggungjawabnya.
Anda memang orang baik, suka menolong orang lain. Sayang sekali anda hidup menderita karena istri anda. Dan ternyata kita pun sama, saya kurang bahagia dengan suami saya.
Maka semoga hubungan kita yang telah berjalan selama lima tahun dapat tetap berlanjut. Dan bersabarlah, suatu saat nanti pasti kita dapat bersatu untuk membangun rumahtangga bersama.
Semoga Allah mengabulkan cita-cita kita ini. O ya, apakah tanggal 29 Oktober nanti kita jadi bertemu? Tunggulah saya di tempat seperti biasanya, jika ingin bertemu nanti.
Dari Aku, Sri Sulastri.