Advertorial
Intisari-Online.com –Persidangan kasus kepemilikannarkobayang dengan tersangka aktor peranSteve Emmanuelterus berlanjut.
Pada persidangan terakhir, Steve yang terancamhukuman mati, tidak bisa hadir karena lantaran sedang sakit.
Seperti diketahui, Steve membawakokainseberat 92,04 gram dari Belanda, lalu kemudian diciduk pihak keamanan di sebuah kondominium di kawasan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan.
Atas tindakannya,Steve Emmanueldidakwa pasal 112 ayat 2 jo pasal 114 ayat 2 UU tentangNarkotikadengan ancaman hukuman penjara minimal lima tahun dan maksimal seumur hidup atauhukuman matioleh jaksa penuntut umum.
Terlepas dari kasus SteveEmmanuel dan soal keadilan, proses kematian pada hukuman mati memang terkadang menimbulkan kengerian dan kepiluan. Oleh karena itu, di AS terpidana bisa memilih cara kematiannya.
Tulisan ini pernah dimuat di Intisari edisi April 2003 dengan judul asli Hukuman Mati: Kengerian di Ujung Ajal, yang ditulis oleh G. Sujayanto. Simak bagaimana detik-detik ajal orang menjalankan hukuman mati.
Waktu menunjuk pukul 04.30. Suasana gelap dan sunyi masih menyergap kota Pamekasan di awal Januari 1980. Namun, ketegangan sudah terasa di dalam bui kota itu.
Para petugas tengah sigap menggelandang seorang pesakitan ke luar kota untuk dihadapkan ke depan regu tembak. Bobby, begitulah nama yang sengaja disamarkan.
Baca Juga : Terancam Hukuman Mati, Steve Emmanuel Diduga 10 Tahun Terlibat Jaringan Narkoba Internasional
Ia diikat pada dua buah tiang yang di tengahnya diberi celah selebar 10 cm. Tepat di belakang celah tiang itu ditumpuk karung-karung pasir.
Dua bola matanya sudah ditutup kain merah. Sementara kepalanya diselubungi dengan kantung.
Pada telapak kaki diletakkan sebilah papan. Dedaunan kelor sengaja disebarkan sebagai penawar seandainya sang terhukum menggunakan jimat.
Regu tembak yang terdiri atas 12 orang tamtama dan seorang bintara pun sudah menempati posisinya.
Jarak yang memisahkan mereka 6 m. Salah seorang dari mereka berdiri di belakang regu tembak sambil memegang lampu senter untuk menerangi terhukum. Tak jauh dari mereka, berdiri dokter, dan petugas penjara.
Baca Juga : Steve Emmanual Terancam Hukuman Mati: Kisah Permintaan Terakhir Terpidana Mati yang Bikin Bulu Kuduk Berdiri
Komandan regu tembak berdiri agak ke samping dengan memegang sebilah pedang. Dari tempatnya, sang komandan memberi aba-aba siap tembak dengan ayunan sebilah pedang.
Dor …. dor… dor! Berondongan senapan menyalak di pagi buta. Kepala Bobby langsung menunduk. Suasana kembali sepi. Dokter yang sudah disiapkan memeriksa si terpidana mati. Bobby pun dinyatakan telah meninggal.
Begitulah seorang saksi mata yang ikut dalam keseluruhan proses eksekusi itu menceritakan peristiwa itu kepada Intisari.
Menulis puisi
Agaknya hal itu pulalah yang bakal dijalani oleh enam tersangka terpidana mati tadi. Mereka adalah Ayodhya Prasad Chaubey, warga India yang terkena kasus narkoba.
Lima lainnya tersangkut kasus pembunuhan, yaitu Suryadi Swabuana alias Dodi bin Sukarno, Sumiarsih, Djais Adi Prayitno, Sugeng, dan Jurit bin Abdullah.
Sementara di berbagai penjara di Tanah Air sederetan terpidana mati lainnya menunggu dengan waswas turunnya keputusan grasi yang masih ada di tangan presiden.
Sebuah penantian yang pasti menyesakkan. “Kalau memang harus mati, saya pasrah,” ujar Merri Utami (29) yang ditangkap di Bandara Soekarno Hatta karena kedapatan membawa 1,1 kg heroin yang disembunyikan di dalam tas yang dibawanya dari Nepal (Kompas 7/2/02). Ibu dua anak asal Solo ini lantas mengisi hari-harinya di penjara dengan menulis puisi.
Berdasar ketentuan, terhitung setelah 30 hari diterimanya keppres tersebut oleh kejaksaan negeri eksekusi harus dilakukan.
Tata caranya berpatokan pada UU no. 2/Pnps/1964 yakni eksekusi dengan cara ditembak sampai mati tidak di muka umum, dengan cara sesederhana mungkin.
Eksekusi di hadapan regu tembak memang merupakan satu-satunya pilihan bagi terpidana mati di Indonesia.
Berbeda dengan Amerika yang sudah menjalankan hukuman mati sejak tahun 1888. Di sana terpidana disodori lima pilihan cara eksekusi. Yaitu suntikan, listrik, kamar gas, gantung, dan di hadapan regu tembak.
Dari lima cara itu, suntikan menjadi salah satu yang difavoritkan. Delapan belas negara bagian dan otoritas pemerintahan federal menggunakan suntikan sebagai satu-satunya cara eksekusi.
Baca Juga : Jika Nekat Selfie di Pantai Ini, Anda Bisa Dapat Hukuman Penjara Seumur Hidup Hingga Hukuman Mati
Delapan belas negara bagian lainnya juga menggunakan suntikan maut sebagai salah satu cara utama eksekusi, tetapi menawarkan cara lain sesuai yang dikehendaki terpidana.
Data yang dihimpun sejak 1976 sampai Juni 2002 menunjukkan, 617 dari 780 eksekusi atau 79%-nya memilih mati dengan cara disuntik.
Tiga kombinasi obat
Sesuai ketentuan, hukuman mati dengan cara ini dilakukan dengan menyuntikkan cairan yang merupakan kombinasi tiga obat.
Pertama, sodium thiopental atau sodium pentothal, obat bius tidur yang membuat terpidana tak sadarkan diri.
Baca Juga : Jadi Pengedar Narkoba, Zul Zivilia Terancam Hukuman Mati: Seperti Ini Prosedur Hukuman Mati di Indonesia
Lantas disusul dengan pancuronium bromide, yang melumpuhkan diafragma dan paru-paru. Ketiga, potassium chloride yang membikin jantung berhenti berdetak.
Pada saat eksekusi, terpidana dibawa ke ruangan khusus; ditidurkan, serta diikat pada bagian kaki dan pinggang. Sebuah alat dipasang di badan untuk memonitor jantung yang disambungkan denganpencetak yang ada di luar kamar.
Ketika isyarat diberikan, 5 g sodium pentothal dalam 20 cc larutan disuntikkan lewat lengan. Lalu diikuti oleh 50 cc pancuronium bromide, larutan garam, dan terakhir 50 cc potassium chloride.
Kelihatannya mudah. Namun, banyak hal tak terduga bisa terjadi. Dalam beberapa kasus pembuluh darah sukar didapat atau peralatan tidak pas menembus pembuluh darah.
Baca Juga : Warga China 'Mengamuk' di Batam Karena Dituntut Hukuman Mati, Apa Penyebabnya?
Untuk mengurangi penderitaan banyak negara bagian mengizinkan pemberian thorazine sebagai obat penenang dalam suntikan.
Selain suntikan, hukuman mati dengan kursi listrik juga banyak dipilih. Terpidana diikat pada kursi listrik yang terbuat dari kayu oak yang diletakkan di atas bantalan karet tipis dan dibaut pada ubin cor.
Pangkuan, leher, lengan, dan lengan bawah terhukum diikat dengan tali kulit. Gelang kaki sampai betis diikat dengan tali sepatu berspons tempat elektrode dipasang.
Wajah terdakwa disembunyikan dengan tutup kepala yang tersusun atas dua lapis logam dan kulit.
Baca Juga : 4 Kali Selamat Dari Hukuman Mati, Pria Ini Menuntut Keadilan Setelah Divonis Bersalah Selama 23 Tahun
Bagian logam dibikin seperti saringan kawat tempat elektrode dipasang. Spons basah ditempatkan antara elektrode dan kulit kepala.
Eksekusi dijalankan dalam tiga tahap. Pertama dengan mengalirkan listrik berkekuatan 2.300 V (9,5 A) selama delapan detik, dilanjutkan 1.000 V (4 A) selama 22 detik, dan diakhiri dengan gelontoran arus 2.300 V (9,5 A) dalam delapan detik.
Ketika satu tahapan itu dinyatakan selesai, tombol utama dilepas. Bila terpidana belum juga meninggal, maka tahapan itu diulang sekali lagi.
Wajah berubah bentuk
Dibandingkan dengan hukuman suntikan, kursi listrik memunculkan aroma kekerasan, menimbulkan rasa sakit, dan penghinaan yang mendalam pada para korban. Begitulah yang digambarkan oleh William Brennan, Jr., salah satu hakim pada Mahkamah Agung AS, dan para saksi yang sering menyaksikan eksekusi itu.
Baca Juga : Mengerikan! Seperti Inilah Proses Hukuman Mati di Jepang
Ketika arus mulai mengalir ke tubuh terpidana, para pesakitan mengalami kengerian luar biasa. Mereka berusaha melompat, meronta, dan melawan dengan sepenuh kekuatan.
Tangan menjadi merah, lantas berubah menjadi putih. Anggota badan, jari jemari tangan, kaki, dan wajah berubah bentuk. Bola mata sering melotot. Mereka juga sering buang air besar dan kecil, muntah darah, serta mengeluarkan air liur.
Sementara itu, penggunaan kamar gas sebagai proses eksekusi agaknya terinspirasi oleh penggunaan gas racun pada Perang Dunia I.
Negara Bagian Nevada menjadi negara bagian pertama yang mengadopsi cara ini di tahun 1924.
Baca Juga : Bunuh dan Simpan Jasad Istrinya Dalam Freezer, Pria Ini Divonis Hukuman Mati
Penggunaan kamar gas tampaknya lebih bisa diterima dibandingkan dengan bentuk-bentuk eksekusi yang lain. Alasannya, tidak meninggalkan kekerasan dan cacat pada tubuh.
Hukuman ini dijalankan pada sebuah kamar gas yang kedap udara. Terpidana diikat di bagian leher, pinggang, tangan, dan pergelangan kaki, dan menggunakan masker.
Di bawah kursi terdapat tabung logam berisi sianida. Kaleng-kaleng logam berisi larutan asam sulfur ditempatkan di bawah tabung.
Ada tiga eksekutor yang masing-masing memegang satu tombol. Ketika tiga tombol itu serentak ditekan, penutup tabung yang berisi sianida akan membuka dan jatuh ke dalam larutan asam sulfur yang ada di bawahnya. Reaksi ini memunculkan gas yang mematikan.
Baca Juga : 56 Tahun Kartosoewirjo Divonis Mati: Tangis Bung Karno saat Tanda Tangani SK Hukuman Mati Sahabatnya Sendiri
Dalam beberapa detik terpidana menjadi tidak sadar bila ia menghirup napas dalam-dalam. Tetapi jika ia menahan napas, kematian bisa tertunda lebih lama.
Dalam proses ini terpidana umumnya mengalami kekejangan hebat. Sebuah monitor yang memantau kerja jantung dipasang di ruang kontrol.
Bila pengawas menyatakan terpidana telah meninggal, amonia dipompakan ke dalam kamar untuk menetralkan gas.
Exhaust fan lantas memindahkan asap gas itu ke dua buah tabung berisi air untuk dinetralkan. Proses ini memerlukan waktu 30 menit sejak kematian berlangsung. Kematian umumnya terjadi dalam 6 – 18 menit sejak gas dimasukkan.
Gantung lebih cepat
Pada hukuman gantung mula-mula tali gantungan disiapkan lengkap dengan talinya. Panjang tali gantungan diukur menurut bobot badan, umur, serta besar tubuh korban.
Biasanya antara 1,5 – 2 m. Di bagian bawah tiang gantungan atau alasnya, yang dibuat lebih tinggi dari lantai, terdapat papan yang bisa membuka ke bawah dengan tiba-tiba.
Menjelang eksekusi, ujung tali dilingkarkan ke leher korban dengan kuat, tapi tidak mencekik, dan simpul besarnya terletak pada sudut dagu.
Baca Juga : Bung Karno Terpaksa Bebaskan Agen Rahasia CIA Dari Hukuman Mati Karena Bujuk Rayu Seorang Wanita Cantik
Pada keadaan ini, panjang tali jauh melebihi jarak antara leher dengan pangkal tali di atas, sehingga korban tidak dalam posisi tergantung.
Begitu eksekusi dilaksanakan, alas akan membuka secara cepat. Korban meluncur ke bawah dan terhenti secara tiba-tiba akibat entakan tali yang telah teregang.
Menurut Dr. Djaja Surya Atmadja pada Intisari April 1990, entakan yang kerasnya sudah diperhitungkan itu akan membuat korban meninggal seketika akibat patahnya tulang leher dan putusnya sumsum tulang belakang.
Soalnya, sumsum tulang belakang merupakan penghubung otak sebagai pusat koordinasi seluruh aktivitas tubuh dengan tubuh yang diaturnya.
Baca Juga : Tuk! Aman Abdurrahman Dijatuhi Vonis Hukuman Mati, Ini 10 Fakta Proses Persidangannya yang Wajib Anda Tahu
Seluruh saraf kita melewati jalur tunggal ini, termasuk saraf pengatur denyut jantung dan pernapasan. Jika jalur ini putus, maka hilang juga koordinasi otak, sehingga jantung, dan paru-paru akan terhenti.
Patahnya tulang leher biasanya terjadi antara ruas ke-2 dan 3 atau ke-3 dan 4. Kadang-kadang pembuluh nadi leher dalam (karotis interna) akan terobek melintang dan bagian rawan gondok di leher pun bisa patah.
Dengan demikian, kematian pada korban hukuman gantung biasanya akan lebih cepat dan relatif tanpa penderitaan jika dibandingkan dengan gantung diri.
Bagitulah, hukuman mati terasa kejam dan memilukan. Tapi itu pasti tidak terpikirkan tatkala mereka melakukan kejahatan.
(K. Tatik Wardayati)
Baca Juga : Urutan Eksekusi Hukuman Mati di Nusakambangan yang Buat Narapidana Tak Kuasa Menahan Tangis