Burung serak maut
Yang sering saya tanggapi dengan perasaan bercampur-baur ialah petuah nenek tentang bunyi burung serak (gagak) di malam hari.
Kalau saya sudah di tempat tidur tetapi belum pulas, lalu terdengar bunyi burung itu di atas rumah, tersipu-sipu ibu (sesuai ajaran nenek) berteriak kepada saya: "He, lekas miringkan tubuhmu. Kalau kamu terlentang dan kena dilangkahi burung serak, bisa mati!"
Adik saya yang pada waktu itu masih bayi dan sedang tidur nyenyak, cepat-cepat dimiringkan tubuhnya oleh ibu. Ibupun langsung berdiri dan melangkahi adik saya bolak-balik tiga kali sebagai penolak bala.
Kata nenek dan "orang-orang kuno" lain yang percaya akan hal-hal semacam itu, bunyi burung itu di malam haripun mengisyaratkan akan terjadinya malapetaka dalam rumah yang dilewatinya.
Pada suatu malam, ketika saya sudah remaja dan sedang belajar bersama kakak saya di halaman dalam rumah, sekonyong-konyong di atas rumah kami terdengar bunyi burung yang dikatakan pembawa maut itu. Ia malah hinggap di wuwungan dan berteriak-teriak beberapa kali.
Kakak saya merasa terganggu. Lalu ia memaki-maki. "Burung sial, pergi kamu! Kalau tidak, kusambit dengan batu!" Terus-terang saja, saya agak cemas, karena teringat akan ceritera-ceritera "orang doeloe" tentang daya maut burung itu.
Tetapi sampai bertahun-tahun kemudian, tiada malapetaka menyerang keluarga kami.
(Baca juga: Cara Mengusir Sakit Kepala Dalam 5 Menit Tanpa Pil Ataupun Obat Kimia)
"Itu 'kan burung yang kesasar dari hutan," kata ayah ketika besoknya saya ceriterakan peristiwa itu kepada beliau. Kontan saya teringat akan hutan Sunter (pada masa itu di sana belum banyak rumah tinggal, masih seperti hutan lebat), yang pernah saya kunjungi bersama kakak dan beberapa temannya.
Di sana saya dengar bunyi burung serak sahut-menyahut di atas pohon. Tentunya merekapun terbang dan berbunyi di malam hari. Namun tidak terdengar banyak penduduk Sunter yang mati karena kelangkahan!
Ayah tersenyum
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR