Advertorial

Gigih Berjuang Wujudkan Mimpi, 3 Orang Ini Sukses Raih Pendidikan Tinggi Meski Orangtua Mereka ‘Tak Berada’

Ade Sulaeman

Penulis

Padahal secara ekonomi  orangtua mereka serba terbatas. Ada yang hanya bekerja sebagai tukang becak, ada yang bekerja sebagai penggali kubur, ada pula yang lahir dari kedua orangtua tunanetra.
Padahal secara ekonomi orangtua mereka serba terbatas. Ada yang hanya bekerja sebagai tukang becak, ada yang bekerja sebagai penggali kubur, ada pula yang lahir dari kedua orangtua tunanetra.

Intisari-Online.com - Berbicara tentang biaya pendidikan biasanya berkorelasi dengan kata ‘mahal’.

Apalagi jika sudah membicarakan tentang pendidikan tingkat tinggi di jenjang perguruan tinggi.

Tidak sedikit orang yang pada akhirnya harus memupus mimpinya untuk berkuliah di perguruan tinggi karena terbentur biaya.

Tapi, lain halnya dengan tiga orang ini. Dengan segala keterbatasan, khususnya pada diri orangtua mereka, ketiga orang ini mampu mengenyam pendidikan tinggi.

(Baca juga: (Foto) Operasi Plastik Tidak Seinstan yang Dibayangkan, Wanita Ini Menderita 3 Bulan Setelah Jalani Operasi)

Raeni Anak Tukang Becak Itu Sudah Lulus S2 di Inggris

Masih ingat dengan Raeni, perempuan asal Kendal, yang menghebohkan media saat wisuda S1 di Universitas Negeri Semarang (Unnes), dua tahun silam? Anak tukang becak yang berhasil menjadi wisudawan terbaik di Universitas Negeri Semarang (Unnes) periode kedua 2014. Saat itu, dia lulus dengan IPK yang nyaris sempurna, yakni 3,96.

Prestasinya tersebut tentu tidak hanya membanggakan sang ayah, Mugiyono. Masyarakat Tanah Air pun turut kagum pada prestasi Raeni.

Kabar Raeni yang menjadi wisudawan terbaik itu pun sempat sampai ke telinga Presiden (saat itu), Susilo Bambang Yudhoyono. Raeni kemudian mendapat undangan khusus untuk bertemu SBY dan Ani Yudhoyono. Tidak hanya itu, presiden juga memberikan hadiah kepada Raeni berupa beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya di luar negeri.

Raeni pun akhirnya memutuskan untuk melanjutkan studi S2-nya di University of Birmingham, Inggris. Ia mengambil program Magister of Science, International Accounting and Finance melalui program beasiswa LPDP.

Lalu, hampir dua tahun berlalu, apa kabar Raeni sekarang? Penelusuran Tribun Jateng, Raeni ternyata sudah menyelesaikan studi S2-nya. Raeni kini berhasil menambah gelarnya sebagai Master of Science.

Ia bahkan sudah kembali ke Tanah Air. Raeni sudah berada di Kendal, sejak akhir Oktober 2016.

(Baca juga: Kisah Pilu Marina Chapman: Dibuang ke Hutan, Dirawat Kera, Lalu Dijadikan Budak Seks)

Kepulangan Raeni ini pun disambut suka cita oleh keluarga, kerabat dan rekan-rekannya. Seperti terlihat pada beranda akun Facebook milik Raeni yang dibanjiri oleh sejumlah tautan yang menyambut kepulangannya.

Sama halnya yang diunggah oleh Dian Setyawati yang memberi sambutan dengan kata-kata hangat. "Masih ingat dengan salah satu sosok inspiratif kita, Raeni, penerima program beasiswa bidik misi yang beberapa tahun lalu diberi kesempatan bertemu dengan Bapak SBY dan Ibu Ani karena prestasinya lulus dengan predikat terbaik, IPK 3,96, di Universitas Negeri Semarang. Alhamdulillah hari ini diberi kesempatan bertemu dengan Raeni lagi setelah setahun ga ketemu. Gelarnya yang dibawa mungkin sudah berbeda, studi Magisternya di Inggris (melalui beasiswa LPDP #tetep) sudah selesai, tapi karakternya tetap sama: bersemangat dan rendah hati."

"Bukankah seharusnya seperti itu. Padi semakin berisi maka semakin merunduk"

Bahkan, beberapa waktu setelah pulang ke Tanah Air, Raeni sempat menjadi bintang tamu pada acara talkshow di stasiun televisi swasta bersama dengan ayahnya.

Nama Raeni mulai dikenal, seusai fotonya yang menumpang becak saat menjelang wisuda menjadi viral di media sosial. Uniknya, lulusan Jurusan Pendidikan Akuntansi Fakultas Ekonomi Unnes itu berangkat menuju ke tempat wisuda, Auditorium Unnes, pada 13 Juni 2014, menumpang becak yang digenjot Mugiyono, ayahnya.

Tanpa memperlihatkan rasa canggung, anak bungsu dari dua bersaudara pasangan Mugiyono dan Sujamah itu naik becak mulai dari tempat indekosnya, sekitar kampus Unnes, menuju lokasi wisuda.

Demikian pula, ketika usai wisuda, peraih beasiswa Bidik Misi itu kembali menumpang becak yang digenjot ayahnya. Bahkan Rektor Unnes Prof Fathur Rokhman pun ikut menumpang menuju rektorat.

Kisah Anak Penggali Kuburan Capai Cita-cita Jadi Dokter dan Kuliah S-3 di Jepang

Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Muhammad Sunardi mampu mewujudkan cita-cita menjadi dokter.

Anak dari penggali kubur ini tidak hanya sudah berprofesi sebagai dokter, namun juga akan melanjutkan studi doktoral di Kobe University Japan pada September 2017.

Di hadapan ratusan pelajar SMA Negeri 1 Pegandon, Sunardi menceritakan kisahnya saat duduk di bangku SD. Dia mengaku sudah mempunyai cita-cita menjadi dokter, namun tidak pernah mengungkapkan keinginannya kepada keluarga.

"Saya sadar ayah saya hanya penggali kuburan dan ibu berjualan intip di pasar, jadi tidak mau kasih tahu takut jadi beban pikiran, cukup niat yang kuat dalam hati, " ujarnya, Senin (4/9/2017).

Karena keterbatasan biaya disertai niat yang bulat, Sunardi selalu mendapatkan beasiswa, mulai Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) sampai pendidikan tinggi di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta.

Bahkan, kini melalui program kerjasama U to U (University to University), ia mampu meraih beasiswa S3 di Kobe University.

Anak ketujuh dari delapan bersaudara pasangan dari orangtua M Jazuli dan Masrofah ini menuturkan, selama kuliah, Sunardi membiasakan tidur awal malam, kemudian bangun dini hari untuk belajar lagi.

Menurut dia, tiap orang mempunyai gaya belajar yang berbeda-beda sehingga para siswa perlu mengeksplorasi gaya belajar yang tepat.

"Semangat juang harus ditanamkan dalam diri kita. Jangan sampai kita rendah diri dengan keadaan, " ujar warga Kampung Kacangan RT1/RW1, Dukuh Kersan, Desa Tegorejo, Kecamatan Pegandon, Kabupaten Kendal ini.

Kepala Sekolah SMAN 1 Pegandon, Eustasia Christine Martati, berharap, sosok Sunardi bisa memberi motivasi para siswanya untuk tetap memiliki semangat menggapai cita-cita meski berasal dari keluarga kurang mampu.

"Mukhamad Sunardi berasal dari keluarga kurang mampu, dan kini dia menyandang gelar dokter yang ia peroleh melalui program bidik misi", ungkapnya.

Kepala Diskominfo Kendal Muryono yang hadir dalam kegiatan tersebut mengatakan, kehadiran dokter Sunardi ini bisa memberikan inspirasi bagi masyarakat Kabupaten Kendal.

"Sukses itu akumulasi dari pretasi, restu orangtua, dan daya juang yang tinggi. Sosok Sunardi bisa sukses karena prestasi akademik dan non-akademiknya bagus, juga perilakunya positif, " ungkapnya.

Perjuangan Retno, Terlahir dari Orangtua Tunanetra, Cari Beasiswa untuk Kuliah dan Lulus Cumlaude

Retno Puji Astuti, terlahir dari kedua orangtua yang tunanetra, sukses membiayai hidup keluarganya, mendapat beasiswa kuliah, dan membanggakan orangtua dengan lulus cumlaude sebagai calon bidan.

Ditemui usai pelepasan wisudawati, Retno baru saja disematkan sebagai lulus cumlaude dengan IPK 3,72.

Lulusan Akademi Kebidanan Yogyakarta (Akbidyo) mengaku bahagia bisa lulus tepat waktu.

Terlebih Retno adalah penerima beasiswa Yayasan sehingga tak mengeluarkan sepersen pun untuk kuliah.

Retno menceritakan, dirinya lulus SMA pada tahun 2011. Memegang tabungan beasiswa sejak kelas 5 SD, Retno pun melanjutkan kuliah entrepreneur selama satu tahun sebagai modal kerja.

"Sejak kecil memang sudah nyari uang sendiri untuk biaya sekolah, dulu pas SD juga dapat uang beasiswa, itu saya tabung buat biaya kuliah," ujar Retno, Rabu (30/8/2017).

Usai kuliah, Retno pun mencari kerja di Jakarta selama satu tahun. Setelahnya, Retno kembali ke Yogyakarta untuk mencari pekerjaan lain.

Sembari bekerja itu, Retno masih terpikirkan untuk melanjutkan kuliah menggapai cita-citanya.

"Sebenarnya masih pingin sekali lanjut kuliah untuk menjadi bidan, itu cita-cita saya tapi memang tidak punya dana," tuturnya.

Lahir dan besar di Jatirejo, Lendah Kulonprogo, Retno merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Wakijo (65) dan Suprih Mulyani (66).

Sejak kecil dirinya sudah hidup mandiri bersama kakak dan adiknya untuk membantu orangtua.

Segala hal ditekuni tanpa mengeluh dan bergantung kepada orangtuanya.

Ayahnya menjadi tunanetra sejak umur 8 tahun, sedang ibunya sejak lahir sudah tidak bisa melihat.

Ayahnya sehari-hari bekerja sebagai pemijat, bila ada panggilan. Sedang ibunya sebagai ibu rumah tangga.

Tidak ingin merepotkan dan hanya mengandalkan orangtua, Retno pun gigih bekerja demi menggapai cita-citanya.

Pada tahun 2014, dia bertemu dengan guru SMA-nya. Ia pun ditawari beasiswa penuh untuk bersekolah menjadi calon bidan.

Tanpa berpikir panjang, Retno pun langsung menyetujui dan mengikuti segala tes yang disediakan yayasan Akbidyo.

Ia pun akhirnya lolos dan dinyatakan mahasiswa diploma ilmu kebidanan dengan status penerima beasiswa yayasan alias gratis biaya kuliah, bahkan Retno mendapat asrama untuk tinggal semasa kuliah.

"Saya sangat bersyukur dapat kesempatan ini, saya buktikan bahwa saya layak dengan berkuliah yang baik dan lulus tepat waktu," tuturnya.

Direktur Akbidyo, Istri Bartini mengaku senang bisa memberikan beasiswa kepada yang layak seperti Retno.

Sebagai bentuk tali asih yayasan, Akbidyo setiap tahunnya memberikan beasiswa penuh kepada satu atau dua orang mahasiswa.

"Biasanya yang kita berikan memang yang berbakat, memiliki potensi, dan sangat perlu dibantu. Retno ini menjadi contoh sebagai siswa yang memiliki potensi," ujar Istri.

Setelah lulus, Istri berharap Retno bisa berkontribusi bagi masyarakat sebagai bidan.

Diceritakannya, Retno setelah lulus juga telah mendapat posisi sebagai staf laboratorium di Akbidyo, sehingga bisa tetap membantu keluarganya.

(Baca juga: Kisah Naif Pria Dengan Organ Intim Terpanjang di Dunia, Bermimpi Taklukkan Industri Film Porno)

Artikel Terkait