(Baca juga: Jahat! Berstatus Punah, Orangutan Langka Ini Justru Dipenggal dan Ditembaki)
Kalau kau percaya benar akan sesuatu, demikian katanya, misalnya, akan hal yang tidak enak yang akan kau alami (berdasarkan sesuatu yang kau anggap sebagai alamat buruk), apa yang kau percaya itu pasti akan terjadi.
Percaya akan sesuatu yang akan terjadi, — katanya lagi — sama dengan mengkhawatirkan. Kalau kekhawatiran itu membulat, lalu menjadi sama dengan mengharap. Mengharap sesuatu dengan kebulatan hati, pasti akan mengakibatkan kenyataan.
Mungkinkah kata-kata tilosofis ini dapat dipakai sebagai penjelasan dalam peristiwa tidak enak yang pernah dialami oleh orang-orang yang percaya akan alamat buruk sebelumnya?
Lalu, bagaimana dengan peristiwa yang menimpa diri saya". Begini duduknya perkara: Pada hari Sabtu tangal 31 Januari 1976, saya berkendaraan sepeda motor dari rumah saya (di bagian Tenggara kota), menuju ke arah utara.
Ke suatu tujuan yang jaraknya dari rumah saya 15 - 17 km. Semalamnya turun hujan besar. Waktu saya berangkat (sekitar jam 10.00 W1B) matahari mengintai agak malu-malu dari balik awan.
Dua hari sebelumnya, yakni pada hari Kamis, saya dihinggapi semacam "depressi" yang saya tidak ketahui sebab-musababnya. Badan terasa lesu dan saya kehilangan kegairahan.
Saya mengambil keputusan untuk diam di rumah selama tiga hari untuk mengatasi perasaan itu. Tetapi pada hari Sabtu yang saya sebutkan di atas, seakan-akan terangsang, saya mengambil sepeda-motor dan meninggalkan rumah meski isteri saya mencoba mencegahnya.
Sebagai akibat hujan deras semalamnya, beberapa jalanan yang harus saya lalui tergenang air. Banjir menyebabkan kemacetan lalulintas. Sejenak timbul pikiran untuk pulang saja.
Tetapi saya melawan pikiran itu dan meneruskan perjaianan sambil mengambil jalan berputar ke sana-sini untuk menghindari banjir dan kemacetan lalulintas.
Setelah membuang banyak waktu, sekitar jam 13.00 W1B saya tiba di Jalan Majapahit. Di sanalah musibah sudah menanti. Terapit di antara dua mobil, roda depan sepeda motor saya terserempet atau menyerempet bagian belakang mobil yang di sebelah kanan.
Saya terbanting keras di atas aspal. Kurang lebih tujuh bulan saya harus berobat-jalan pada dokter ahli-tulang di sebuah rumah sakit, karena tulang pundak saya yang sebelah kanan patah!
Berceritera isteri saya kepada tetangga-tetangga yang menyambangi saya di rumah: "Sudah ada alamat tidak boleh pergi. Malah dia sendiri pun yang memutuskan akan diam di rumah selama tiga hari. Tetapi belum lewat tiga hari, sudah bermotor lagi meski saya mencoba -mencegahnya. Dihalang-halangi lagi oleh banjir di sana-sini dan kemacetan lalulintas. Eh, bukan dia balik pulang saja, malah melanjutkan perjalanan. Cari penyakit sendiri sih!"
(Baca juga: Betapa Senangnya, Pria Ini Membeli Teko Butut yang Harga Aslinya Rp9,2 Miliar Hanya dengan Rp400 Ribu)
Sambil berbaring terlentang dengan ranselverband melibat bahu kanan-kiri, saya merenungkan "pidato" isteri saya tadi. Takhyulkah dia? Atau benarkah hal-hal yang disebutkannya merupakan alamat-alamat tidak baik?
Kalau nenek masih hidup pasti akan dikatakannya: "Nah, itu dia pamali namanya!" Kalau ayah masih ada, beliau mungkin menjawab: "Pak Mali sudah mati!" (Trh)
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Januari 1977)
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR