Penulis
Intisari-Online.com – Pada tahun 1904, Korea bersekutu dengan Jepang selama perang Rusia-Jepang pertama, dan meminjamkan wilayahnya untuk operasi militer Jepang.
Rupanya ini hanya batu loncatan untuk pendudukan Jepang di Korea, mereka datang dan tidak pernah pergi.
Ini adalah rencana pemerintah untuk menjadikan Jepang sebagai kekuatan dunia, maka ‘keberuntungan’ bagi siapa pun di Korea yang tidak setuju dengan rencana tersebut.
Maka pada tanggal 1 Maret 1919, gerakan Kemerdekaan Korea pun dimulai, dimulai adanya Gerakan 1 Maret dengan demonstrasi yang terdiri dari sebagian besar mahasiswa dan orang Kristen, karena kelompok politik lainnya telah dibubarkan oleh pemerintah Jepang.
Para pemberontak membuat Deklarasi Kemerdekaan, yang ditandatangani oleh 30 perwakilan.
Kemudian mereka meneriakkan Deklarasi Kemerdekaan, dengan ‘Hidup Kemerdekaan Korea’, dan berjalan dengan baik.
Salah satu peserta demonstran adalah seorang gadis muda bernama Yu Gwan Sun, yang lahir pada tahun 1904 di desa kecil dekat Ch’onan, di Ch’ungch’on Selatan.
Tidak diketahui bagaimana kehidupan awalnya, tetapi dia menjadi mahasiswa Universitas Wanita Ewha di Seoul atas rekomendasi gurunya, Alice Sharp.
Sharp adalah seorang misionaris barat yang melihat potensi pada Yu.
Ayah Yu setuju untuk mengambil kesempatan itu dan mengirim Yu ke sekolah itu pada tahun 1916, yang kemudian berhasil dalam studinya dan catatan kontemporer menyebutkan bahwa dia menggunakan liburan musim panasnya untuk mengajar penduduk desa setempat apa yang dipelajarinya.
Tahun 1919 adalah tahun yang penuh gejolak di Korea, pada tanggal 22 Januari, Raja Kojong yang telah turun takhta pada tahun 1907 demi pemerintah Jepang, meninggal.
Desas-desus yang beredar, raja Kojong diracuni oleh Jepang.
Maka masa berkabung untuk raja dimasukkan ke dalam gerakan Kemerdekaan Korea dan menjadi ‘bahan bakar’ Gerakan 1 Maret.
Yu dan mahasiswa lainnya bergabung dalam demonstrasi massal di Pagoda Park di pusat kota Seoul, yang kemudian dibubarkan pihak berwenang dengan banyak siswa dan guru ditangkap. Universitas Ewha ditutup sementara atas perintah Gubernur Jenderal Korea dan Yu pulang, tetapi itu tidak mengakhiri karirnya sebagai pemberontak.
Sesampai di rumah, dia membantu mengorganisir lebih banyak protes yang bekerja sampai jam 3 atau 4 pagi, dengan membagikan bendera Korea kepada penduduk desa.
Protes di Pasar Awunae berkembang menjadi 2.000 demonstran dari empat kota tetangga, yang meneriakkan ‘Hidup Kemerdekaan Korea’ dan mengangkat tangan sambil berteriak ‘Mansei’.
Baca Juga: Kisah Joan of Arc, Pahlawan Wanita Prancis yang Jadi Seorang Martir
Polisi tiba dan tembakan dilepaskan, ketika asap menghilang, orangtua Yu tewas bersama beberapa demonstran lainnya.
Yu ditangkap dan dibawa ke pusat penahanan di Kantor Polisi Militer Jepang di Ch'onan.
Dia ditawari hukuman yang lebih ringan karena masih muda, jika mau mengaku bersalah dan bekerja sama dengan polisi.
Tapi, Yu menolak.
Polisi menggunakan metode ‘persuasif’ dengan menyiksa gadis muda itu, tetapi Yu tetap diam.
Dia dipindahkan ke kantor polisi Gongju dan diadili atas hasutan dan pelanggaran hukum keamanan.
Dalam persidangan, Yu memprotes ketidakadilannya dengan mengatakan, “Negara Anda telah menginvasi negara lain. Anda tidak punya hak untuk menghakimi kesalahan kami.”
Yu dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman lima tahun di Penjara Seodaemun.
Di Penjara Seodaemun, dia adalah salah satu dari banyak wanita yang dipenjara dalam gerakan kemerdekaan.
Para wanita diseret oleh tentara karena mengetahui bahwa mereka akan ditelanjangi dan disiksa sampai mati, tetapi mereka tetap berteriak untuk kemerdekaan.
Sel khusus di penjara ini dibangun untuk menyiksa mereka, masing-masing berukuran sekitar 3,3 meter persegi dan terlalu rendah untuk berdiri.
Ini diberi nama "Gua Yu Guan Sun", untuk menghormati penghuninya yang paling terkenal.
Catatan yang ditemukan pada November 2011 menemukan bahwa dari 45.000 orang yang ditangkap pada protes selama ini, 7.500 di antaranya tewas di tangan Jepang.
Namun, Yu menjadi salah satu korban jiwa, dia disiksa dan dipukuli secara brutal oleh Jepang.
Dia kemudian meninggal di penjara pada 28 September 1920, satu tahun setelah hukumannya.
Kata-kata terakhir yang diucapkannya, ‘Jepang akan jatuh’.
Dia baru berusia enam belas tahun ketika itu.
Dalam kematiannya, dia bahkan tidak diizinkan bermartabat, melansir historynaked.
Petugas penjara Jepang pada awalnya menolak melepaskan jenazahnya untuk dimakamkan, tetapi dipaksa dengan ancaman dari kepala sekolah barat Universitas Wanita Ewha.
Tubuhnya dilepaskan ke sekolah dalam peti minyak Saucony Vacuum Company.
Kemudian jenazahnya dibawa ke sekolah, lalu diputuskan untuk mengkafaninya dengan kain sutra, karena dia adalah pahlawan sejati.
Jepang mengizinkan pemakamannya di gereja secara diam-diam dengan hanya dihadiri oleh teman-teman sekelasnya.
Makamnya berada di pemakaman Itaewon, yang kemudian dihancurkan.
Sebuah kuil dibangun setelah kemerdekaan Korea dan banyak patung Yu di universitas dan sekolah.
Legenda mengatakan bahwa pada tanggal 1 Maret, patung-patung Yu Gwan Sun akan berbaris sambil berteriak “Hidup Kemerdekaan Korea”.
Jika Anda menyebut namanya di salah satu patung, maka kepala patung akan menoleh dan dia akan menatap mata Anda.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari