Panembahan Senopati pada waktu bertapa di tepi samudera itu hanya mempunyai satu tujuan untuk meminta kepada Tuhan bagaimana agar diberi keselamatan.
Tarian Bedhaya Ketawang ini biasanya dipertunjukkan oleh sembilan penari wanita, yang memiliki beberapa prasyarat, antara lain penari harus seorang gadis dan tidak sedang haid.
Seandainya salah satu penari sedang haid, maka penari itu tetap diperbolehkan menari namun harus meminta izin kepada Kanjeng Ratu Kidul dengan melakukan caos dhahar di Panggung Sangga Buwana Keraton Surakarta.
Syarat yang lain adalah suci secara batiniah dengan cara berpuasa selama beberapa hari sebelum pergelaran.
Tari Bedhaya Ketawang dalam pertunjukannya diiringi dengan musik gending ketawang gedhe dengan nada pelog, yang menggunakan istrumen kethuk, kenong, gong, kendhang, dan kemanak, yang iramanya terdengar lebih halus.
Tari Bedhaya Ketawang dibagi menjadi tiga babak (adegan), yang di tengah tarian nada gendhing berganti menjadi slendro selama 2 kali, setelah itu nada gendhing kembali lagi ke nada pelog hingga tarian berakhir.
Dalam pertunjukannya, busana yang digunakan oleh penari saat menari Bedhaya Ketawang adalah busana pengantin perempuan Jawa, yaitu dodot ageng atau disebut juga basahan.
Pada rambut penari menggunakan gelung bokor mengkurep, yaitu gelungan yang ukurannya lebih besar dari gelungan gaya Yogyakarta.
Aksesoris perhiasan yang digunakan para penari seperti centhung, garudha mungkur, sisir jeram saajar, cundhuk mentul, dan tiba dhadha (rangkaian bunga yang dikenakan pada gelungan yang memanjang hingga dada bagian kanan).
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari