Intisari-Online.com – Dari sejarah kita mengetahui bahwa Kerajaan Majapahit telah melebarkan kekuasaannya hampir di seluruh Nusantara, termasuk di Pulau Bali.
Salah satu kerajaan di Pulau Bali ini pada awalnya berada di bawah kekuasaan Majapahit, namun dapat berkembang pesat hingga berhasil memegang hegemoni di Bali.
Didirikan pada abad ke-14, Kerajaan Gelgel menjadi cikal bakal dari semua kerajaan yang ada di Pulau Bali.
Wilayah kekuasaan Kerajaan Gelgel meliputi Pulau Bali, Lombok, Blambangan, hingga Pasuruan.
Namun, pemberontakan oleh patihnya sendiri, yaitu I Gusti Agung Maruti, membuat riwayat kerajaan ini berakhir pada abad ke-17.
Dalam kitab Babad Dalem, dikisahkan Bali jatuh ke dalam kekuasaan Kerajaan Majapahit pada tahun 1343.
Seorang keturunan brahmana dari Kediri, Sri Kresna Kepakisan, diangkat sebagai penguasa Bali yang berkedudukan di Samprangan, Gianyar.
Pengganti Sri Kresna Kepakisan, Dalem Hile, ternyata bukanlah pemimpin yang cakap.
Para menteri kerajaan pun meminta adik raja, yaitu Ida I Dewa Ketut Angulesir, untuk mendirikan pusat pemerintahan baru di Gelgel.
Kerajaan Gelgel resmi berdiri pada 1383, dengan Ida I Dewa Ketut Angulesir sebagai raja pertama, yang bergelar Dalem Ketut Smara Kapakisan (1383-1458).
Dalam Kitab Negarakertagama disebutkan bahwa pada awal pemerintahan, raja ini sempat menghadap ke Majapahit.
Setelah itu, Dalem Ketut Smara Kapakisan digantikan oleh putra mahkotanya yang memiliki gelar Dalem Warturenggong pada tahun 1458.
Saat Dalem Waturenggong (1458-1550) berkuasa inilah, Kerajaan Majapahit mengalami keruntuhan, itu berarti kerajaan Gelgel tidak lagi menjadi negara bawahan.
Masa kemasaan kerajaan Gelgel ketika sang raja memperluas wilayah kekuasannya hingga ke Lombok, Sumbawa, dan sebagian Jawa Timur.
Pada masa jayanya ini, sosok pendeta Hindu dari Jawa, yaitu Danghyang Nitartha, membawa pembaharuan bagi kehidupan agama Hindu di Bali.
Namun, pada masa pemerintahan Dalem Bekung (1550-1580), yang adalah putra sulung Dalem Waturenggong, masa kemasan Kerajaan Gelgel mulai memudar.
Mengutip dari buku Ensiklopedi Kerajaan-kerajaan Nusantara; Hikayat dan Sejarah, tulisan Ivan Taniputera, dikisahkan bahwa pada masa pemerintahan Dalem Di Made (1605-1651), Kerajaan Gelgel bahkan kehilangan wilayah Blambangan dan Bima pada tahun 1633, kemudian Lombok pada tahun 1640.
Di dalam negeri sendiri pada tahun 1651, terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh patih Gelgel, yaitu Gusti Agung Maruti.
Di bawah pemerintahan Gusti Agung Maruti, wilayah bawahan Gelgel banyak yang melepaskan diri, lalu membentuk pemerintahan sendiri, yaitu Badung, Bangli, Buleleng, Gianyar, Jembrana, Karangasem, Mengwi, dan Tabanan.
Namun, pada 1686, putra Dalem Di Made, yaitu Dewa Agung Jambe berhasil merebut kembali kekuasaan.
Tetapi Dewa Agung Jambe tidak ingin berkuasa di Gelgel, dia memindahkan pusat pemerintahan ke istana Samarapura di Klungkung.
Akhir dari runtuhnya Kerajaan Gelgel ini menandai berakhirnya kekuasaan tunggal di Bali.
Setelah itu Bali terpecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang berdaulat, yaitu Badung, Bangli, Buleleng, Gianyar, Karangasem, Klungkung, Mengwi, dan Tabanan.
Bali tetap beragama Hindu
Dari kedatangan pendeta Hindu di Jawa yang mengubah tatanan keagamaan Hindu di Bali, maka kita ketahui pulau yang sangat eksotik di Indonesia ini mayoritas penduduknya beragama Hindu.
Mengutip dari buku Robert Pringle (2004) A Short History of Bali: Indonesia’s Hindu Realm yang ringkasannya dilansir di bayudardias.staff.ugm.ac.id, dijelaskan mengapa Bali tetap menjadi Hindu pada saat Jawa telah berubah menjadi Islam.
Ada beberapa hal, yang menjelaskan mengapa Bali tetap menjadi Hindu, seperti geografis dan historis.
Bila dijelaskan dari sisi geografis, mungkin kurang masuk akal, karena jarak kedua pulau itu hanya sekitar 2,4 kilometer, yang sangat mudah untuk dijelajahi.
Maka, secara historis, beberapa kemungkinan Bali tetap Hindu, adalah pertama, Bali tidak pernah secara nyata ‘anti Islam’ walalupun memiliki budaya yang berbeda,
Oleh karena itu Bali tidak pernah merasa harus ditundukkan oleh Kerajaan Islam, terutama Kerajaan Mataram di Jawa.
Sebagian kecil pedagang Islam yang datang ke Bali Utara, dan menjadi tentara tetap dapat singgah di Bali.
Sejak runtuhnya Majapahit kemudian Pajang-Jipang-Demak sampai Mataram yang paling kuat, setidaknya ada jeda selama 100 tahun.
Ketika Majapahit runtuh dan Kerajaan Gelgel menguat, Mataram belum terlalu kuat.
Jadi, walaupun Mataram dapat mengusir Gelgel dari Blambangan, kerajaan Gelgel masih terlalu kuat untuk ditaklukkan.
Dan ketika Mataram mulai menguat, sementara Gelgel mulai melemah, datanglah kolonnial Belanda yang membuat Mataram harus membagi konsentrasi.
Kerajaan Mataram sendiri juga dilemahkan oleh konflik-konflik internal.
Saat kekuatan Belanda yang datang ke Nusantara meningkat, Mataram menjadi defensive, sehingga tidak lagi memikirkan ekspansi, justru kerajaan ini semakin kehilangan wilayah kekuasaannya.
Melemahnya Kerajaan Mataram ini membuat penguasa di Bali tidak mendapatkan keuntungan bila memeluk Islam.
Tahun 1690 ketika Gelgel pecah menjadi sembilan kerajaan kecil justru memudahkan Belanda mengontrol Bali di periode akhir masa kolonialisme.
Hanya dalam 60 tahun (1849-1908) sembilan Kerajaan di Bali ditaklukkan oleh Belanda.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari