Advertorial

Tidak Pernah Mau Berdamai dengan VOC, Inilah Sultan Agung Hanyokrokusumo, Penguasa Ketiga Kesultanan Mataram, Murid Sunan Kalijaga, yang Menjadikan Kerajaannya Besar di Nusantara

K. Tatik Wardayati

Editor

Intisari-Online.com – Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo, yang lahir di Kotagede, Mataram pada 1593, merupakan sultan Mataram ketiga yang memerintah pada tahun 1613-1645.

Dia bernama asli Raden Mas Jatmika, atau juga dikenal sebagai Raden Mas Rangsang.

Merupakan putra dari Sunan Anyakrawati dan Dyah Banawati (Ratu Mas Adi).

Ayahnya merupakan raja kedua Mataram, dan ibunya adalah putri Pangeran Benawa, yang adalah raja Kerajaan Pajang terakhir.

Baca Juga: Kisah Danang Sutawijaya, Dirikan Kerajaan Mataram Islam lalu Angkat Dirinya jadi Raja Pertama Setelah Kalahkan Kerajaan Pajang, Tempat Ayah Angkatnya Bertakhta

Namun, ada versi lain yan gmengatakan bahwa Sultan Agung adalah putra Raden Mas Damar (Pangeran Purbaya), yang adalah cucu Ki Ageng Giring.

Dijelaskan bahwa Pangeran Purbaya menukar bayi yang dilahirkan istrinya dengan bayi yang dilahirkan oleh Dyah Banawati, meski cerita dari versi ini kebenarannya harus dibuktikan.

Seorang sultan ini sekaligus sebagai senapati ing ngalaga (panglima perang) yang terampil membangun negerinya dan mengkonsolidasi kesultanannya menjadi kekuatan teritorial dan militer yang besar.

Sultan Agung atau Susuhunan Agung (yang secara harfiah berarti ‘Sultan Besar’ atau ‘Yang Dipertuan Agung’) adalah sebutan gelar dari sejumlah besar literatur, karena riwayatnya sebagai raja Jawa, pejuang, budayawan, dan filsuf peletak fondasi Kejawen.

Baca Juga: Jejak Kebesarannya Masih Terlihat Hingga Kini, Terkuak Mataram Kuno Justru Runtuh Tanpa Jejak, Silsilah yang Membingungkan dan Pemberian Tahta Membuat Kerajaan Ini hanya Bertahan Seumur Jagung

Di bawah kepemimpinan Sultan Agung ini, Mataram berkembang cukup pesat dan menjadi kerajaan besar di Nusantara.

Sebagai penguasa, Sultan Agung berusaha mengembangkan agama Islam di pulau Jawa.

Pengetahuan agama sebagai latar belakang pendidikan yang diterimanya adalah didapat dari beberapa wali.

Yang sangat berperan dan berpengaruh terhadap Sultan Agung, adalah Sunan Kalijaga.

Sunan Kalijaga dijadikan guru dan dianggap sebagai penasihat atau pembimbing Sultan Agung di bidang agama, dari beliau pula Sultan mendapatkan ajaran tentang agama.

Seperti raja Mataram lainnya, Sultan Agung juga memiliki dua garwa padmi (permaisuri) utama, yaitu:

1. Ratu Mas Tinumpak, putri Panembahan Ratu, Sultan Cirebon, yang melahirkan Raden Mas Syahwawrat alias Pangeran Alit. Ratu Mas Tinumpak kemudian mendapatkan gelar Kanjeng Ratu Kulon sebagai permaisuri yang dituakan dan memiliki kedudukan lebih tinggi dari permaisuri yang lain

2. Ratu Ayu Batang, merupakan putri Pangeran Upasanta dari Batang (cucu Ki Juru Martani), yang melahirkan Raden Mas Sayyidin alias Amangkurat I. Ratu Ayu Batang kemudian mendapatkan gelar Kanjeng Ratu Wetan sebagai permaisuri muda.

Baca Juga: Dipercaya Jadi Pelindung para Penguasa Majapahit dan Mataram, Inilah Nyi Roro Kidul, Kokohkan Kekuasaan Raja Usai Lakukan Ini Selama Tiga Hari Tiga Malam

Dari kedua permaisurinya, Sultan Agung memiliki 9 anak, yaitu: Raden Mas Syahwawrat alias Pangeran Alit, Raden Mas Kasim alias Pangeran Demang Tanpa Nangkil, Pangeran Rangga Kajiwan, Raden Bagus Rinangku, GRAy. Winongan, Pangeran Ngabehi Loring Pasar, Raden Mas Sayyidin alias Pangeran Arya Mataram (kemudian bergelar Amangkurat I), GRAy. Wiramantri, dan Raden Mas Alit alias Pangeran Danupaya.

Dari buku Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung (2002) oleh H.J. De Graaf, Sultan Agung dikenal sebagai raja Mataram yang tangkas, cerdas, dan taat agama.

Dia juga dikenal sebagai raja kuat, bijaksana, cakap, dan cerdik dalam menjalankan pemerintahan hingga kehidupan perokonomian Mataram pun berkembang pesat dari hasil bumi yang melimpah.

Wilayah kekuasaan Mataram terus meluas, membuat Sultan Agung dikenal sebagai raja Mataram yang cakap melakukan ekspansi wilayah.

Namun, Sultan Agung ketika itu menyadari bahwa adanya kolonial Belanda di Batavia dapat membahayakan kesatuan negara yang meliputi Pulau Jawa.

Maka, Sultan Agung dengan pasukan Mataramnya berani melawan kolonialisme VOC di Batavia.

Sultan Agung melancarkan taktik untuk merebut Batavia dengan melatih satuan-satuan angkatan perangnya.

Taktik yang dilakukannya untuk merebut Batavia dari VOC, antara lain menjepit Batavia dari darat dan laut, kemudian serangan dilakukan dalam waktu yang tepat dan bersamaan.

Sultan Agung juga membuat angkatan laut Mataram menyamar sebagai pedagang bahan makanan dan membawa beras, ternak, dan bahan lainnya untuk dijual pada VOC.

Baca Juga: Isi Perjanjian Salatiga, Kesepakatan yang Akhirnya Membagi Mataram Jadi Tiga Wilayah Kekuasaan

Kemudian angkatan laut Mataram ini melakukan serangan mendadak terhadap benteng pertahanan di tepi laut, sedangkan serangan dalam kota dilakukan oleh angkatan darah di sebelah selatan.

Maka dengan siasat tersebut, Belanda tidak bisa bergerak, bila VOC lari ke arah timur, akan terbenam ke dalam rawa-rawa, sedang jika lari ke barat akan jatuh ke pangeran Jayakarta dan Banten.

Dari dunia perdagangan, Sultan Agung melakukan siasat untuk melarang penjualan beras ke Batavia mulai tahun 1626.

Oleh karena itu perdagangan beras VOC menjadi macet dan tidak tergantung lagi pada beras dari Mataram.

Telah dua kali Sultan Agung melakukan serangan terhadap VOC, yaitu pada tahun 1628 dan 1629, dan selama itu pula berhasil merebut Benteng Hollandia dari VOC.

Sayangnya, karena perbekalan semakin menipis dan adanya bahaya kelaparan, pasukan Sultan Agung tidak berhasil mempertahankan benteng tersebut.

Namun, tekad dan semangat untuk mengusir VOC menjadi bukti keberhasilan Sultan Agung dalam usaha merebut Batavia.

Hingga akhir hayatnya, Sultan Agung tetap tidak mau berdamai dengan VOC meskipun diberikan tawaran yang cukup menjanjikan.

Sultan Agung mangkat di Mataram (persisnya di Bantul) pada tahun 1645 dan dimakamkan di astana Kasultanan Agung.

Baca Juga: Isi Perjanjian Giyanti yang Memecah Mataram Disepakati di Sini, Inilah Lokasi Terjadinya Pembagian Kekuasaan antara Pakubuwono III dan Pangeran Mangkubumi

Dalam karya sastra, perkembangan bedaya sebagai tarian sakral, gamelang, dan wayang, dikaitkan dengan pencapaian artistik Sultan Agung sebagai budayawan.

Sultan Agung juga dikenal sebagai pembuat kalender Jawa yang masih digunakan hingga saat ini.

Dia juga menulis karya sastra berjudul Serat Sastra Gendhing, yang terdiri dari Pupuh Sinom, Pupuh Asmaradana, Pupuh Dandanggula, dan Pupuh Durma, yang membahas filosofi hubungan sastra dan gendhing.

Di masyarakat Jawa, Sultan Agung dihormati secara kontemporer baik perjuangannya membela tanah air, warisan tradisi atau budaya yang dia sumbangkan untuk negara.

Sementara, atas jasa-jasanya sebagai pejuang dan budayawan, Sultan Agung ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden no. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975.

Baca Juga: Memecah Kerajaan Mataram Jadi Dua, Ini Isi Perjanjian Giyanti, Salah Satunya Membuat VOC Makin Punya Kendali atas Wilayah Mataram

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari

Artikel Terkait