Penulis
Intisari - Online.com -Kerajaan Mataram Kuno adalah salah satu Kerajaan Hindu Buddha yang jejak kebesarannya masih terlihat sampai sekarang.
Namun tahukah Anda, tidak semua raja yang bertahta di Mataram Kuno adalah pewaris sah.
Bahkan ada pergantian kekuasaan yang tidak wajar yang sampai tercatat di prasasti.
Setidaknya ada dua prasasti yang memuat nama-nama penguasa Mataram, yaitu Prasasti Mantyasih (907 M) dan Prasasti Wanua Tengah III (908 M) yang dikeluarkan di masa Balitung.
Prasasti Mantyasih menyebut ada sembilan penguasa di Kerajaan Mataram Kuno sebelum Balitung.
Dimulai dari Rakai Mataram sang Ratu Sanjaya, Sri Maharaja Rakai Panangkaran, Sri Maharaja Panunggalan, Sri Maharaja Rakai Warak, Sri Maharaja Rakai Garung, Sri Maharaja Rakai Pikatan, Sri Maharaja Rakai Kayuwangi, Sri Maharaja Rakai Watuhumalang.
Terakhir adalah raja yang menulis prasastinya, Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung.
Kemudian berdasarkan Prasasti Wanua Tengah III, ada 13 raja di Mataram yang berkuasa di era Balitung.
Baca Juga: Isi Perjanjian Salatiga, Kesepakatan yang Akhirnya Membagi Mataram Jadi Tiga Wilayah Kekuasaan
Sedikit berbeda dengan Prasasti Mantyasih, Prasasti Wanua Tengah III menyebutkan raja-raja dan hari serta tahun mereka naik tahta.
Rakai Panangkaran naik tahta pada 746 M, kemudian 38 tahun kemudian tepatnya 784 M ia digantikan Rakai Panaraban.
Selanjutnya di tahun 803 M Rakai Panaraban digantikan Rakai Warak Dyah Manara yang menjabat selama 24 tahun.
Tahun 827 M, dia digantikan Dyah Gula yang hanya bertahan tiga tahun saja, dan pada 829 M, Rakai Garung menggantikannya.
18 tahun kemudian pada 847 M, Rakai Pikatan Dyah Saladu naik ke singgasana.
Rake Kayuwangi Dyah Lokapala bertahta delapan tahun kemudian pada 855 M, mengisi kekuasaan 30 tahun lamanya untuk selanjutnya diganti Dyah Tagwas pada 885 M.
Namun Dyah Tagwas tidak lama bertahan, karena hanya tujuh bulan berkuasa, ia malah terusir dari istana.
Ia digantikan Rake Panumwangan Dyah Dawendra yang hanya bertahan dua tahun saja dan kemudian diusir dari istana juga.
Baca Juga: Jejak Kerajaan Mataram Kuno Ditemukan di Kota Semarang
Rake Gurunwangi Dyah Bhadra menggantikannya pada 887 M, yang malah kepayahan dan tidak sampai sebulan memilih melarikan diri dari singgasana.
Akhirnya terjadi kekosongan kekuasaan selama kurang lebih tujuh bulan, dan barulah pada 894 M, Rakai Wungkalhumalang Dyah Jaban bertahta selama 4 tahun.
Ia dimahkotai pada 898 M.
Penulis Raja-raja Mataram Kuno dari Sanjaya Sampai Balitung, Sebuah Rekonstruksi Berdasarkan Prasasti Wanua Tengah III yang termuat di Berkala Arkeologi 1994 memperhatikan mengapa jumlah raja yang dimuat dalam Prasasti Mantyasih dan Wanua Tengah III berbeda, hal ini ternyata disebabkan latar belakang dikeluarkannya prasasti.
Prasasti Mantyasih diterbitkan guna melegitimasi Balitung sebagai pewaris tahta sah.
Raja-raja yang dicantumkan dalam prasastinya juga para raja yang berdaulat penuh atas seluruh kerajaan.
"Dyah Gula, Dyah Tagwas, Dyah Dewendra, dan Dyah Bhadra, tidak pernah berdaulat penuh karena masa pemerintahan yang terlalu singkat," tulis Kusen.
Sementara itu peneliti Balai Arkeologi Yogyakarta, Baskoro Daru Tjahjono, mengatakan awalnya Balitung bukanlah pewaris tahta yang sah.
Disebutkan dalam "Balitung Putra Daerah yang Sukses Menjadi Raja Mataram Kuno" yang dimuat di Berkala Arkeologi vol 28. No 1 2008, Baskoro mengatakan Balitung bukanlah keturunan langsung Dinasti Sailendra.
Ia menjadi raja semata-mata karena mengawini putri raja sebelumnya.
Kemudian Prasasti Wanua Tengah III berhubungan dengan perubahan status sawah di Wanua Tengah, itulah sebabnya semua penguasa yang memiliki sangkut paut dengan perubahan status sawah masuk ke dalam daftar tersebut.
Boechari, seorang epigraf atau pakar analisis prasasti, memandang raja Mataram yang berhasil dimahkotai tidak selalu seorang pewaris sah.
Melalui "Tafsiran Prasasti Wanua Tengah III" yang dimuat di Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti, ia menyebutkan sudah terjadi beberapa kali perebutan kekuasaan di Mataram.
Perebutan kekuasaan terutama melibatkan raja-raja yang hanya memerintah sebentar seperti Dyah Gula, Dyah Tagwas, Rake Panumwangan dan Rake Gurunwangi.
Sebenarnya, dari penyebutan nama-nama mereka di prasasti juga menunjukkan perebutan kekuasaan, pasalnya nama Dyah Gula dan Dyah Tagwas tidak mengandung nama daerah lungguh.
Kedua raja itu tidak disebutkan gelar rakai mereka.
"Mereka itu bukan pemegang suatu jabatan, baik di pusat maupun di tingkat watak," papar Boechari.
Raja-raja wangsa Sailendra bergelar dengan tiga unsur.
Wangsa Sailendra sendiri adalah keluarga raja penguasa Mataram Kuno yang diawali dari Sanjaya.
Tiga unsur gelar ini antara lain pertama, gelar rakai yang diikuti nama daerah lungguh mereka.
Kemudian nama mereka waktu lahir, dan terakhir diikuti gelar penobatan.
Perebutan kekuasaan di tahta Mataram Kuno ini terjadi makin sering sejak pengangkatan Rakai Kayuwangi, yang menurut Boechari menyalahi aturan.
Rakai Kayuwangi adalah putra bungsu Rakai Pikatan dengan permaisuri Pramodawardhani.
Namun perebutan kekuasaan makin membuat kondisi politik tidak menentu setelah kepemimpinan Balitung.
"Situs Liyangan dalam Bingkai Sejarah Mataram Kuno" yang dimuat di Berkala Arkeologi Vol. 37 Edisi No. 2 2017, Sugeng mengatakan putra mahkota Daksa atau Sri Dakosttama Bahubajra Pratipaksaksaya bukanlah anak Balitung, tapi kemungkinan iparnya.
Kemudian bersama Rakai Gurunwangi yang masih kerabat Rakai Pikatan, Daksa bersekongkol merebut kembali tahta kerajaan dari Balitung.
Daksa berhasil dan ia memimpin selama 8 tahun lamanya, akhirnya diangkatlah putra mahkota, Rakai Layang Dyah Tlodhong, yang ternyata bukan pejabat tingkat satu.
Rakai Layang Dyah Tlodhong menggantikan Daksa pada 918/919 M sebelum digantikan Rakai Sumba Dyah Wawa tahun 928 M.
Dyah Wawa ini bukan anak Tlodhong, dan ia malah tidak berhak atas tahta Mataram, pemerintahannya bahkan sangat singkat bahkan berhenti mendadak.
Kemudian tahta jatuh kepada Raja Mpu Sindok yang memindahkan kerajaannya ke bagian timur Jawa, membangun pusat kerajaan di Tamwlang sekaligus membangun wangsa baru, Isana.
Padahal Mpu Sindok masih anggota wangsa Sailendra.